Daging sapi antraks dijual ke pasar
A
A
A
Sindonews.com - Penyebaran penyakit antraks yang mewabah di beberapa wilayah di kabupaten Maros, kian meluas.
Sebelumnya, penyakit antraks telah terjadi di Desa Jene Taesa, Kecamatan Simbang pada bulan Oktober lalu. Saat sekarang penyakit antraks kembali ditemukan di Kecamatan Lau Desa Mattiro Deceng. Sedikitnya enam ekor sapi diduga terkena antraks. Namum oleh pemiliknya sapi tersebut telah dipotong, dan dagingnya dijual ke pasar. Pemilik berdalih mereka tidak mengetahui jika sapinya terkena antraks.
Diduga sudah banyak daging sapi antraks telah di jual di pasar dan warung-warung makan di Maros. Lemahnya pengawasan dari Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan (DPKP) Maros membuat mereka sulit memantau kondisi sapi yang sakit karena bakteri antraks selama ini.
Sudah banyak warga yang sapinya sakit lalu kemudian dipotong dan dijual murah ke pasar melalui padagang sapi lokal agar sapinya tidak mati sia-sia.
"Ini yang sulit terpantau, karena pihak kami sendiri baru tahu terjadi antraks pada suatu desa, ketika ada warga yang melapor," kata tenaga medis DPKP Maros, Ujistiani, Jumat (15/11/2013).
Kepala Lingkungan Bontokadatto, Dusun Mattirodeceng, Kecamatan Lau, Marjan, saat dihubungi mengaku, di daerahnya sudah ada 6 ekor sapi yang diduga berpenyakit antraks di jual ke pedagang.
"Awalnya warga hanya mengira, sapi yang tiba-tiba tidak berdaya itu karena keracunan. Maka dari pada mati sia- sia. Maka pemilik sapi menjualnya dengan sangat murah, antara Rp700 ribu hingga Rp2 Juta perekor," kata Marjan.
Marjan menyebutkan, sapi yang telah dijual adalah sapi milik warga Patahuddin 3 ekor, Dg. Malla 1 Ekor, Syamsuddin 1 Ekor dan sapinya sendiri 1 ekor dijual hanya seharga Rp700 Ribu. Jika sapi itu sehat, maka dijual dengan harga Rp4 juta perekor.
"Yang jual sapi itu, pengembala sapi. Bukan saya. Pengembala mengaku menjual ke ke pasar Maros dan Pangkep," kata Marjan.
Hal serupa juga diakui, warga Dusun Batubassi Desa Jenetaesa, Kecamatan Simbang, Maruddin. Dia mengakui ada tiga ekor sapi yang dalam kondisi sakit telah dia jual ke pasar dan pedagang warung makan di sekitar Bantimurung. Sapi yang disembeli itu dibeli dengan harga murah bahkan ada yang tidak dibeli karena diberi oleh pemilik sapi.
"Waktu itu, saya sama sekali tidak tahu jika sapi itu sakit karena antraks, sapi itu dikira keracunan," kata dia.
Berhubung sapi antraks ini dijual ke pasar bebas, maka penyakit ini menular ke manusia melalui proses pemotongan hewan.
Karena menguliti sapi itu, Maruddin pun terjangki antraks karena melakukan kontak langsung. Sementara Rusli yang membuka usaha warung makan, juga terkena antraks karena membeli daging dari Maruddin. Namun setelah dilakukan penanganan medis oleh Dinas Kesehatan Maros, Rusli mulai membaik.
Sebelumnya, penyakit antraks telah terjadi di Desa Jene Taesa, Kecamatan Simbang pada bulan Oktober lalu. Saat sekarang penyakit antraks kembali ditemukan di Kecamatan Lau Desa Mattiro Deceng. Sedikitnya enam ekor sapi diduga terkena antraks. Namum oleh pemiliknya sapi tersebut telah dipotong, dan dagingnya dijual ke pasar. Pemilik berdalih mereka tidak mengetahui jika sapinya terkena antraks.
Diduga sudah banyak daging sapi antraks telah di jual di pasar dan warung-warung makan di Maros. Lemahnya pengawasan dari Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan (DPKP) Maros membuat mereka sulit memantau kondisi sapi yang sakit karena bakteri antraks selama ini.
Sudah banyak warga yang sapinya sakit lalu kemudian dipotong dan dijual murah ke pasar melalui padagang sapi lokal agar sapinya tidak mati sia-sia.
"Ini yang sulit terpantau, karena pihak kami sendiri baru tahu terjadi antraks pada suatu desa, ketika ada warga yang melapor," kata tenaga medis DPKP Maros, Ujistiani, Jumat (15/11/2013).
Kepala Lingkungan Bontokadatto, Dusun Mattirodeceng, Kecamatan Lau, Marjan, saat dihubungi mengaku, di daerahnya sudah ada 6 ekor sapi yang diduga berpenyakit antraks di jual ke pedagang.
"Awalnya warga hanya mengira, sapi yang tiba-tiba tidak berdaya itu karena keracunan. Maka dari pada mati sia- sia. Maka pemilik sapi menjualnya dengan sangat murah, antara Rp700 ribu hingga Rp2 Juta perekor," kata Marjan.
Marjan menyebutkan, sapi yang telah dijual adalah sapi milik warga Patahuddin 3 ekor, Dg. Malla 1 Ekor, Syamsuddin 1 Ekor dan sapinya sendiri 1 ekor dijual hanya seharga Rp700 Ribu. Jika sapi itu sehat, maka dijual dengan harga Rp4 juta perekor.
"Yang jual sapi itu, pengembala sapi. Bukan saya. Pengembala mengaku menjual ke ke pasar Maros dan Pangkep," kata Marjan.
Hal serupa juga diakui, warga Dusun Batubassi Desa Jenetaesa, Kecamatan Simbang, Maruddin. Dia mengakui ada tiga ekor sapi yang dalam kondisi sakit telah dia jual ke pasar dan pedagang warung makan di sekitar Bantimurung. Sapi yang disembeli itu dibeli dengan harga murah bahkan ada yang tidak dibeli karena diberi oleh pemilik sapi.
"Waktu itu, saya sama sekali tidak tahu jika sapi itu sakit karena antraks, sapi itu dikira keracunan," kata dia.
Berhubung sapi antraks ini dijual ke pasar bebas, maka penyakit ini menular ke manusia melalui proses pemotongan hewan.
Karena menguliti sapi itu, Maruddin pun terjangki antraks karena melakukan kontak langsung. Sementara Rusli yang membuka usaha warung makan, juga terkena antraks karena membeli daging dari Maruddin. Namun setelah dilakukan penanganan medis oleh Dinas Kesehatan Maros, Rusli mulai membaik.
(rsa)