Dilarang pasang baliho, caleg kebakaran jenggot
A
A
A
Sindonews.com - Hampir sebagian besar calon legislatif di tingkat kabupaten/kota resah dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum PKPU No.15 tahun 2013 yang melarang caleg memasang baliho. Aturan itu dituding waton suloyo (asal-asalan) tanpa pertimbangan aspek detail, terutama aspek sosialisasi kepada masyarakat.
Sekretaris DPC Partai Demokrat Karanganyar Tri Haryadi mengatakan, secara filosofis tujuan DPR hingga DPRD adalah untuk mewakili rakyat. Sementara saat kompetisi merebut hati rakyat, justru KPU membatasi dan melarang pemasangan baliho, serta plakat peraga caleg.
“Yang logis sajalah, ada pepatah tak kenal maka tak sayang. Kini caleg berlomba mengenalkan diri kepada masyarakat. Namun justru dilarang, dibatasi oleh KPU. Lalu bagaimana hasil pileg mendatang,” ujarnya, kepada wartawan, Kamis (23/10/2013).
Menurut Tri Haryadi, logika mana yang bisa menjamin dengan membatasi sosialisasi caleg kepada masyarakat, akan menghasilkan kualitas seorang anggota DPR hingga DPRD yang baik, pasalnya rakyat pun tidak mengenal. “Lalu kalau sudah seperti anggota dewan itu akan mewakili siapa?" tukasnya
Menurut Tri Haryadi yang juga Wakil Ketua DPRD Karanganyar, Jawa Tengah, peraturan KPU itu wajib dikaji ulang karena filosofinya sangat bertentangan dengan tujuan luhur pemilu, yaitu hubungan antara sang wakil dan yang diwakili.
Tri Haryadi menduga, munculnya aturan itu bernuansa kapitalisme politik merambah di KPU, yakni akan menguntungkan para caleg incumbent, karena sudah dikenal. Sedangkan caleg baru akan terhalang ruang pengenalan dengan konstituennya.
“Ini sungguh ngeri, perlu perenungan bagi semua caleg se Indonesia dan KPU untuk meralat aturan tersebut,” tandasnya.
Tri Haryadi mengakui, untuk mengenalkan caleg pada konstituen memang bisa secara langsung. Namun apakah waktunya cukup? Sehingga pemasangan baliho dan alat peraga lainnya adalah solusi cepat bebarengan dengan caleg terjun langsung ke masyarakat.
Sekretaris DPC Partai Demokrat Karanganyar Tri Haryadi mengatakan, secara filosofis tujuan DPR hingga DPRD adalah untuk mewakili rakyat. Sementara saat kompetisi merebut hati rakyat, justru KPU membatasi dan melarang pemasangan baliho, serta plakat peraga caleg.
“Yang logis sajalah, ada pepatah tak kenal maka tak sayang. Kini caleg berlomba mengenalkan diri kepada masyarakat. Namun justru dilarang, dibatasi oleh KPU. Lalu bagaimana hasil pileg mendatang,” ujarnya, kepada wartawan, Kamis (23/10/2013).
Menurut Tri Haryadi, logika mana yang bisa menjamin dengan membatasi sosialisasi caleg kepada masyarakat, akan menghasilkan kualitas seorang anggota DPR hingga DPRD yang baik, pasalnya rakyat pun tidak mengenal. “Lalu kalau sudah seperti anggota dewan itu akan mewakili siapa?" tukasnya
Menurut Tri Haryadi yang juga Wakil Ketua DPRD Karanganyar, Jawa Tengah, peraturan KPU itu wajib dikaji ulang karena filosofinya sangat bertentangan dengan tujuan luhur pemilu, yaitu hubungan antara sang wakil dan yang diwakili.
Tri Haryadi menduga, munculnya aturan itu bernuansa kapitalisme politik merambah di KPU, yakni akan menguntungkan para caleg incumbent, karena sudah dikenal. Sedangkan caleg baru akan terhalang ruang pengenalan dengan konstituennya.
“Ini sungguh ngeri, perlu perenungan bagi semua caleg se Indonesia dan KPU untuk meralat aturan tersebut,” tandasnya.
Tri Haryadi mengakui, untuk mengenalkan caleg pada konstituen memang bisa secara langsung. Namun apakah waktunya cukup? Sehingga pemasangan baliho dan alat peraga lainnya adalah solusi cepat bebarengan dengan caleg terjun langsung ke masyarakat.
(san)