Sosok-sosok pencari kehidupan di Kalipancur
A
A
A
DINGINNYA air dan teriknya mentari tidak pernah dihiraukan oleh pencari batu di Kalipancur, Kawasan Kampung Ringin III, Kelurahan Kalipancur, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang.
Sejak mentari terbit dari peraduan hingga menjelang Magrib, para pencari batu di tempat itu selalu berendam di sungai untuk mengais rezeki, mengumpulkan batu-batu, dan di jual.
Kegiatan itu sudah berlangsung puluhan tahun yang lalu. Sungai yang tak jauh dari jembatan Tugu Soeharto, yang menghubungkan Sampangan, Gunungpati, Bendan dan Manyaran, menjadi salah satu sumber penghasilan yang menjanjikan bagi sebagian warga di sana.
Dengan bermodal kreyeng (semacam bakul besar) yang diletakkan di atas topangan seperti bambu, para pencari pasir dan batu di tempat itu mengarungi dinginnya air sungai sejak pukul 08.00 WIB.
Kadang, saat berada di dasar sungai yang cukup dalam, mereka hanya terlihat bagian kepalanya saja yang tertutup topi anyaman bambu. Sementara badan mereka terendam dalam air yang kotor kecoklatan itu.
Setelah mengorak-orek dasar sungai, mereka mengumpulkan sedikit demi sedikit pasir maupun batu yang ada di sana. Setelah kreyeng penuh terisi pasir atau batu, kemudian mereka membawanya ke tepian sungai.
“Wis puluhan tahun aku kerjo koyo ngene iki, meski abot sing penting iso intok dhuwit (sudah puluhan tahun saya bekerja seperti ini, meski berat yang penting mendapatkan uang),” ujar Mbok Juri (55) salah satu warga Kalipancur yang setiap hari bekerja sebagai pencari pasir, di Kalipancur Kota Semarang, Rabu (23/10/2013).
Menurut wanita tamatan Sekolah Rakyat (SR) itu, penghasilan dari mencari pasir dan batu setiap harinya mencapai sekira Rp50.000. Meski sepertinya berat, namun Mbok Juri tidak pernah mengaku keberatan dengan pekerjaannya itu.
”Sing penting uleh penghasilan, meski ora sepadan karo keringete (yang penting bekerja dan dapat penghasilan, meskipun hasilnya tidak sebanding dengan keringatnya),” imbuh ibu dari tiga anak ini tersenyum.
Dengan penghasilan mencari batu dan pasir itulah, Mbok Juri menghidupi keluarganya dan keempat cucunya. Meskipun selalu kekurangan, tapi dia tidak pernah mengeluh dengan kondisi seperti itu.
Menurutnya, dia bersama keluarga sudah terbiasa menjalani hidup yang serba terbatas. Meski begitu, seberapapun hasil pekerjaannya, selalu diusahakan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Sing penting disyukuri, digawe cukup yo cukup, digawe mboten cukup nggih saget (yang penting disyukuri, dibikin cukup ya cukup, tidak ya bisa),” paungkasnya.
Dalam menjalankan pekerjaannya itu, Mbok Juri dibantu suaminya Solikin (57). Sehari-hari, kedua sejoli itu menghabiskan waktu untuk berendam di Kali Pancur yang terletak tidak jauh dari rumahnya itu.
Meski usianya telah lebih dari setengah abad, mereka berdua tetap bekerja keras mencari rezeki di tempat itu. Meski kadang, faktor usia sangat mempengaruhi penghasilan mereka.
“Kalau masih muda, penghasilan kami mungkin akan lebih banyak, bisa hingga satu kubik setiap hari, seperti teman-teman lainnya yang masih muda,” kata Solikin.
Sejak mentari terbit dari peraduan hingga menjelang Magrib, para pencari batu di tempat itu selalu berendam di sungai untuk mengais rezeki, mengumpulkan batu-batu, dan di jual.
Kegiatan itu sudah berlangsung puluhan tahun yang lalu. Sungai yang tak jauh dari jembatan Tugu Soeharto, yang menghubungkan Sampangan, Gunungpati, Bendan dan Manyaran, menjadi salah satu sumber penghasilan yang menjanjikan bagi sebagian warga di sana.
Dengan bermodal kreyeng (semacam bakul besar) yang diletakkan di atas topangan seperti bambu, para pencari pasir dan batu di tempat itu mengarungi dinginnya air sungai sejak pukul 08.00 WIB.
Kadang, saat berada di dasar sungai yang cukup dalam, mereka hanya terlihat bagian kepalanya saja yang tertutup topi anyaman bambu. Sementara badan mereka terendam dalam air yang kotor kecoklatan itu.
Setelah mengorak-orek dasar sungai, mereka mengumpulkan sedikit demi sedikit pasir maupun batu yang ada di sana. Setelah kreyeng penuh terisi pasir atau batu, kemudian mereka membawanya ke tepian sungai.
“Wis puluhan tahun aku kerjo koyo ngene iki, meski abot sing penting iso intok dhuwit (sudah puluhan tahun saya bekerja seperti ini, meski berat yang penting mendapatkan uang),” ujar Mbok Juri (55) salah satu warga Kalipancur yang setiap hari bekerja sebagai pencari pasir, di Kalipancur Kota Semarang, Rabu (23/10/2013).
Menurut wanita tamatan Sekolah Rakyat (SR) itu, penghasilan dari mencari pasir dan batu setiap harinya mencapai sekira Rp50.000. Meski sepertinya berat, namun Mbok Juri tidak pernah mengaku keberatan dengan pekerjaannya itu.
”Sing penting uleh penghasilan, meski ora sepadan karo keringete (yang penting bekerja dan dapat penghasilan, meskipun hasilnya tidak sebanding dengan keringatnya),” imbuh ibu dari tiga anak ini tersenyum.
Dengan penghasilan mencari batu dan pasir itulah, Mbok Juri menghidupi keluarganya dan keempat cucunya. Meskipun selalu kekurangan, tapi dia tidak pernah mengeluh dengan kondisi seperti itu.
Menurutnya, dia bersama keluarga sudah terbiasa menjalani hidup yang serba terbatas. Meski begitu, seberapapun hasil pekerjaannya, selalu diusahakan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Sing penting disyukuri, digawe cukup yo cukup, digawe mboten cukup nggih saget (yang penting disyukuri, dibikin cukup ya cukup, tidak ya bisa),” paungkasnya.
Dalam menjalankan pekerjaannya itu, Mbok Juri dibantu suaminya Solikin (57). Sehari-hari, kedua sejoli itu menghabiskan waktu untuk berendam di Kali Pancur yang terletak tidak jauh dari rumahnya itu.
Meski usianya telah lebih dari setengah abad, mereka berdua tetap bekerja keras mencari rezeki di tempat itu. Meski kadang, faktor usia sangat mempengaruhi penghasilan mereka.
“Kalau masih muda, penghasilan kami mungkin akan lebih banyak, bisa hingga satu kubik setiap hari, seperti teman-teman lainnya yang masih muda,” kata Solikin.
(san)