Komite sekolah perlu instrumen lembaga audit
A
A
A
Sindonews.com – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Makassar kembali mengusulkan kebijakan dan menawarkan solusi terhadap sepak terjang komite sekolah yang dinilai tidak mencerminkan keberpihakan kepada peningkatan mutu pendidikan di Kota Makassar.
Anggota Komisi D bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pendidikan, Stefanus Swardi Hiong, mengemukakan, selain membuat produk legislasi pendidikan, dan membuat formulasi untuk membatasi ruang gerak komite sekolah yang dinilai keluar dari tugas dan fungsi pokok (Tufoksinya) saat ini.
Hal urgen yang perlu dipikirkan secepatnya adalah membuat internal audit di dalam struktur kepengurusan tiap komite sekolah.
“Internal audit ini merupakan hal mendesak, sebagaimana realita yang terjadi jika pihak penyelenggara pendidikan dan elemen di dalamnya yaitu komite sekolah melakukan tipu muslihat kepada orang tua siswa dengan menyalahgunakan wewenang untuk membuat proyek pembangunan tapi ujung-ujungnya ternyata pungli,” ujar Politikus PDI Perjuangan kepada KORAN SINDO, kemarin.
Menurut Swardi, mekanisme dan cara kerja internal audit tersebut sifatnya sebagai kontrol terhadap kinerja komite sekolah, seperti apa melihat program yang telah tertuang dalam pentunjuk teknis (Juknis) dan petunjuk pelaksanaan (Juklak), kemudian audit internal tersebut bekerja mengukur, menguji apakah sudah terarah sesuai tifoksi yang dimaksud.
“Kalau ada kebocoran atau penggunaan anggaran tidak jelas, ya internal audit menerapkan sanksi adminstrasi berupa evaluasi bahkan bisa mengusulkan jeratan pidana kepada person yang berada di dalam komite itu jika pelaggaran yang dilakukan berat berupa korupsi,” tandasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua Dewan Pendidikan Sulsel, Adi Suryadi Culla, menyambut baik usulan tersebut. Menurutnya, untuk merekonstruksi dan mereformasi struktur komite sekolah memang perlu agar ada rambu-rambu yang bisa dijadikan kesepatan bersama di dalam peran komite sebagai pendukung majunya kualitas pendidikan di sekolah.
“Karena pengamalan yang terjadi, komite sekolah banyak mendapat sorotan publik, terhadap berbagai macam kasus yang mencuat ke permukaan, terutama kasus pungli. Apalagi selama ini, belum aturan main soal pertanggungjawaban komite sekolah dalam program mereka menggunakan anggaran,” tuturnya.
Pakar politik dan sosial Universitas Hasanuddin (Unhas) ini mengaku, dibutuhkan akuntabilitas dan tranfransi dalam kinerja komite, agar bisa menjalankan perannya dengan profesional di sekolah.
“Memang perlu ada instrumen pengawasan yang melembaga, entah itu dibuatkan formulasi legislasi, atau dengan intrumen audit. Pokoknya ini akan menjadi program dewan pendidikan, dan saya akan kordinasikan ini dinas pendidikan, dan akademisi, kami juga mengharapkan imput dan dukungan dari masyararakat,” urainya.
Ombudsman RI perwakilan Sulawesi Selatan melansir dari hasil investigasi di beberapa sekolah, terdapat 50 sekolah yang terdiri dari tingkat SD, SMP dan SMA terindikasi telah melakukan praktek pungli tersebut dengan motif atau modus yang berbeda-beda.
Menurutnya ada di masa penerimaan mahasiswa baru, ada juga dengan alasan proyek peningkatan infrastruktur sekolah.
“Terakhir kami menandatangi SMAN 10 Makassar, di sini kami temukan pungli sebesar Rp500.000 yang dilakukan oleh komite dan didukung oleh kepala sekolah dengan memungut biaya kepada semua siswa, kelas 1, 2, dan 3 dengan alasan proyek pembangunan kolam ikan dan taman baca,” bebernya.
Di lain pihak, jajaran Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 10 Makassar mengatakan, tudingan yang dilayangkan oleh Ombdusman dinilai tidak realistis.
Sebab, sumbangan sukarela dari orang tua siswa sebesar Rp500.000 untuk peningkatan infrastruktur dinilai tidak sampai pada angka fantastis sebesar Rp2 miliar.
“Kalkulator apa yang mereka pakai sampai sebesar itu pungutannya. Jadi, saya no comment saja, karena biasa lain dibilang lain juga disampaikan ke publik, kalau kami melakukan pungutan yang nilainya mencapai Rp2 miliar, di mana logikanya? 360 siswa dikali dengan Rp500.000 lalu nilainya mencapai Rp2 miliar, tidak masuk akal,” bantahnya.
Anggota Komisi D bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pendidikan, Stefanus Swardi Hiong, mengemukakan, selain membuat produk legislasi pendidikan, dan membuat formulasi untuk membatasi ruang gerak komite sekolah yang dinilai keluar dari tugas dan fungsi pokok (Tufoksinya) saat ini.
Hal urgen yang perlu dipikirkan secepatnya adalah membuat internal audit di dalam struktur kepengurusan tiap komite sekolah.
“Internal audit ini merupakan hal mendesak, sebagaimana realita yang terjadi jika pihak penyelenggara pendidikan dan elemen di dalamnya yaitu komite sekolah melakukan tipu muslihat kepada orang tua siswa dengan menyalahgunakan wewenang untuk membuat proyek pembangunan tapi ujung-ujungnya ternyata pungli,” ujar Politikus PDI Perjuangan kepada KORAN SINDO, kemarin.
Menurut Swardi, mekanisme dan cara kerja internal audit tersebut sifatnya sebagai kontrol terhadap kinerja komite sekolah, seperti apa melihat program yang telah tertuang dalam pentunjuk teknis (Juknis) dan petunjuk pelaksanaan (Juklak), kemudian audit internal tersebut bekerja mengukur, menguji apakah sudah terarah sesuai tifoksi yang dimaksud.
“Kalau ada kebocoran atau penggunaan anggaran tidak jelas, ya internal audit menerapkan sanksi adminstrasi berupa evaluasi bahkan bisa mengusulkan jeratan pidana kepada person yang berada di dalam komite itu jika pelaggaran yang dilakukan berat berupa korupsi,” tandasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua Dewan Pendidikan Sulsel, Adi Suryadi Culla, menyambut baik usulan tersebut. Menurutnya, untuk merekonstruksi dan mereformasi struktur komite sekolah memang perlu agar ada rambu-rambu yang bisa dijadikan kesepatan bersama di dalam peran komite sebagai pendukung majunya kualitas pendidikan di sekolah.
“Karena pengamalan yang terjadi, komite sekolah banyak mendapat sorotan publik, terhadap berbagai macam kasus yang mencuat ke permukaan, terutama kasus pungli. Apalagi selama ini, belum aturan main soal pertanggungjawaban komite sekolah dalam program mereka menggunakan anggaran,” tuturnya.
Pakar politik dan sosial Universitas Hasanuddin (Unhas) ini mengaku, dibutuhkan akuntabilitas dan tranfransi dalam kinerja komite, agar bisa menjalankan perannya dengan profesional di sekolah.
“Memang perlu ada instrumen pengawasan yang melembaga, entah itu dibuatkan formulasi legislasi, atau dengan intrumen audit. Pokoknya ini akan menjadi program dewan pendidikan, dan saya akan kordinasikan ini dinas pendidikan, dan akademisi, kami juga mengharapkan imput dan dukungan dari masyararakat,” urainya.
Ombudsman RI perwakilan Sulawesi Selatan melansir dari hasil investigasi di beberapa sekolah, terdapat 50 sekolah yang terdiri dari tingkat SD, SMP dan SMA terindikasi telah melakukan praktek pungli tersebut dengan motif atau modus yang berbeda-beda.
Menurutnya ada di masa penerimaan mahasiswa baru, ada juga dengan alasan proyek peningkatan infrastruktur sekolah.
“Terakhir kami menandatangi SMAN 10 Makassar, di sini kami temukan pungli sebesar Rp500.000 yang dilakukan oleh komite dan didukung oleh kepala sekolah dengan memungut biaya kepada semua siswa, kelas 1, 2, dan 3 dengan alasan proyek pembangunan kolam ikan dan taman baca,” bebernya.
Di lain pihak, jajaran Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 10 Makassar mengatakan, tudingan yang dilayangkan oleh Ombdusman dinilai tidak realistis.
Sebab, sumbangan sukarela dari orang tua siswa sebesar Rp500.000 untuk peningkatan infrastruktur dinilai tidak sampai pada angka fantastis sebesar Rp2 miliar.
“Kalkulator apa yang mereka pakai sampai sebesar itu pungutannya. Jadi, saya no comment saja, karena biasa lain dibilang lain juga disampaikan ke publik, kalau kami melakukan pungutan yang nilainya mencapai Rp2 miliar, di mana logikanya? 360 siswa dikali dengan Rp500.000 lalu nilainya mencapai Rp2 miliar, tidak masuk akal,” bantahnya.
(lns)