Deklarasi Balibo, dongengan integrasi rakyat Timor
A
A
A
LAHIR tanpa embrio, Balibo yang terletak di Kabupaten Maliana, sering disebut-sebut sebagai terbitnya fajar integrasi. Di hutan belantara inilah, naskah integrasi itu ditandatangani.
Letaknya dekat dengan Pos Pengamanan Lintas Batas Negara (Pamtas) Batugede. Jarak dari Pos Pamtas Batugede ke Balibo sekira 12 kilometer, atau 15 kilometer sebelum Kota Maliana. Tempat ini dekat dengan Desa Silawan, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sejarah mencatat, integarsi Balibo lahir pada tahun 1975 sebagai akibat dari perbedaan haluan politik beberapa partai yang dibentuk setelah Portugal hengkang. Partai-partai pun didirikan. Tujuannya adalah untuk mencari format baru atau konsep pemerintahan rakyat demokratis di wilayah Timor.
Beberapa tokoh yang memiliki jasa besar dalam melahirkan deklarasi itu adalah Arnaldo dos Reis Araujo dan Franscico X. Lopes da Cruz. Mereka adalah sutradara di balik ide integrasi. Sementara dari Indonesia, tercatat Gubernur NTT El-Tari dan Frans Seda. Keduanya merupakan putera NTT yang mewakili Jakarta.
Pasca lahirnya integrasi, banyak bermunculan partai-partai. Diantaranya adalah Partai Klibur Oan Timor Asuwain (KOTA), Uniao Democratica Timorense (UDT), Associacao Popular Democratica de Timor Pro Referendo (APODETI), dan partai Frente Revolucionaria do Timor-Leste Independente (Fretilin).
Masing-masing partai itu memiliki paham dan arah yang berbeda tentang Timor Timur. Partai Fretelin berjuang untuk merdeka dari penjajahan Portugal selama 450 tahun, dan Indonesia. Sementara partai lokal yang lain menginginkan bersatu dengan NKRI.
Perbedaan ideologi inilah yang kemudian memunculkan sebuah alur cerita baru, tentang perang saudara di Timor Timur. Bak kobaran api yang kian membara dan sulit dipadamkan. Rakyat Timor Timur saling menghancurkan satu sama lain.
Pertentangan antara paham yang pro dan kontra terhadap integrasi semakin tajam setelah Timor Timur dilegatimasi dalam Undang-undang No.7 tahun 1976 tanggal 17 Juli 1976. Dalam undang-undang itu disebutkan, penyatuan Timor Timur kedalam NKRI dan sekaligus pembentukan Timor Timur sebagai provinsi ke-27.
Secara simbolis Presiden Republik Indonesia Soeharto menyerahkan duplikat bendera pusaka kepada Arnaldo dos Reis Araujo dan Franscico X. Lopes da Cruz, dan salinan teks Proklamasi Republik Indonesia kepada Lopes da Cruz.
Sejalan dengan itu, kubu Fretelin memilih mengembara dan meneruskan perjuangan kemerdekaan Timor Timur dengan bergerilya di hutan. Sementara Arnaldo dos Reis Araujo menjabat sebagai gubernur pertama di Timor Timur. Sedang Lopez da Crus diangkat menjadi diplomat RI dengan misi khusus di PBB.
Sayangnya, integrasi itu bukan ending dari cerita ini, tetapi Fretelinlah yang menutup rapat-rapat buku sejarah integrasi itu. Fretelin kemudian membuka lembaran baru, setelah memenangkan referendum pada tahun 1999.
Integrasi Balibo pada akhirnya kehilangan makna. Ibarat kawin paksa, status bekas Propinsi ke-27 NKRI itu pun mengambang dan tidak pernah diakui di PBB. Namun, belakangan muncul rumor, naskah penandatangan itu dilakukan di Bali Beach Hotel Denpasar, yang kemudian diadopsi menjadi Balibo.
Letaknya dekat dengan Pos Pengamanan Lintas Batas Negara (Pamtas) Batugede. Jarak dari Pos Pamtas Batugede ke Balibo sekira 12 kilometer, atau 15 kilometer sebelum Kota Maliana. Tempat ini dekat dengan Desa Silawan, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sejarah mencatat, integarsi Balibo lahir pada tahun 1975 sebagai akibat dari perbedaan haluan politik beberapa partai yang dibentuk setelah Portugal hengkang. Partai-partai pun didirikan. Tujuannya adalah untuk mencari format baru atau konsep pemerintahan rakyat demokratis di wilayah Timor.
Beberapa tokoh yang memiliki jasa besar dalam melahirkan deklarasi itu adalah Arnaldo dos Reis Araujo dan Franscico X. Lopes da Cruz. Mereka adalah sutradara di balik ide integrasi. Sementara dari Indonesia, tercatat Gubernur NTT El-Tari dan Frans Seda. Keduanya merupakan putera NTT yang mewakili Jakarta.
Pasca lahirnya integrasi, banyak bermunculan partai-partai. Diantaranya adalah Partai Klibur Oan Timor Asuwain (KOTA), Uniao Democratica Timorense (UDT), Associacao Popular Democratica de Timor Pro Referendo (APODETI), dan partai Frente Revolucionaria do Timor-Leste Independente (Fretilin).
Masing-masing partai itu memiliki paham dan arah yang berbeda tentang Timor Timur. Partai Fretelin berjuang untuk merdeka dari penjajahan Portugal selama 450 tahun, dan Indonesia. Sementara partai lokal yang lain menginginkan bersatu dengan NKRI.
Perbedaan ideologi inilah yang kemudian memunculkan sebuah alur cerita baru, tentang perang saudara di Timor Timur. Bak kobaran api yang kian membara dan sulit dipadamkan. Rakyat Timor Timur saling menghancurkan satu sama lain.
Pertentangan antara paham yang pro dan kontra terhadap integrasi semakin tajam setelah Timor Timur dilegatimasi dalam Undang-undang No.7 tahun 1976 tanggal 17 Juli 1976. Dalam undang-undang itu disebutkan, penyatuan Timor Timur kedalam NKRI dan sekaligus pembentukan Timor Timur sebagai provinsi ke-27.
Secara simbolis Presiden Republik Indonesia Soeharto menyerahkan duplikat bendera pusaka kepada Arnaldo dos Reis Araujo dan Franscico X. Lopes da Cruz, dan salinan teks Proklamasi Republik Indonesia kepada Lopes da Cruz.
Sejalan dengan itu, kubu Fretelin memilih mengembara dan meneruskan perjuangan kemerdekaan Timor Timur dengan bergerilya di hutan. Sementara Arnaldo dos Reis Araujo menjabat sebagai gubernur pertama di Timor Timur. Sedang Lopez da Crus diangkat menjadi diplomat RI dengan misi khusus di PBB.
Sayangnya, integrasi itu bukan ending dari cerita ini, tetapi Fretelinlah yang menutup rapat-rapat buku sejarah integrasi itu. Fretelin kemudian membuka lembaran baru, setelah memenangkan referendum pada tahun 1999.
Integrasi Balibo pada akhirnya kehilangan makna. Ibarat kawin paksa, status bekas Propinsi ke-27 NKRI itu pun mengambang dan tidak pernah diakui di PBB. Namun, belakangan muncul rumor, naskah penandatangan itu dilakukan di Bali Beach Hotel Denpasar, yang kemudian diadopsi menjadi Balibo.
(san)