Catatan dari perbatasan Timor, 1 bahasa beda bangsa

Rabu, 09 Oktober 2013 - 07:28 WIB
Catatan dari perbatasan Timor, 1 bahasa beda bangsa
Catatan dari perbatasan Timor, 1 bahasa beda bangsa
A A A
NEGARA Timor Leste melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 30 Agustus 1999 melalui sebuah referendum. Pemisahan negara bekas provinsi ke-26 NKRI itu menyisahkan kisah pilu. Seperti apa? Ikuti kisahnya dalam catatan dari perbatasan.

Hampir 25 tahun berintegrasi, sejak tahun 1975, fondasi kebersamaan itu dinilai terlalu rapuh untuk tetap kokoh masuk wilayah NKRI, dan akhirnya runtuh di era Presiden Habibie.

Pasca Reformasi 1998, ketika rezim Orde Baru di bawah kediktatoran Soeharto jatuh, tongkat kepemimpinan bangsa diserahkan kepada BJ Habibie. Dari sinilah tonggak sejarah itu lahir.

Habibie kemudian memberikan pilihan kepada rakyat Timor Timur (kini Timor Leste) untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa yang merdeka atau atau tetap berintegrasi dengan NKRI.

Keputusan Habibie ini dianggap sebagai hembusan angin “surga” dari langit oleh pasukan Fretelin pimpinan Xanana Gusmao yang bertahun-tahun mengembara di hutan pedalaman Timor Leste untuk turun gunung.

Keputusan itu pula yang membuat mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas kaget bukan kepalang. Dia kaget lantaran politik luar negeri tentang nasib Provinsi Timor Timur di panggung Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menunjukkan kemajuan.

Dalam sebuah buku memori tentang Ali Alatas, di situ dijelaskan bahwa ketika Presiden Habibie memberi ultimatum bagi rakyat Timor Timur untuk melaksanakan referendum, Ali Alatas meneteskan air mata.

Politikus senior yang kenyang makan asam garam tentang Timor Timur itu, tidak percaya pada apa yang diputuskan teman sejawatnya ketika sama-sama menjadi menteri di era Presiden Soeharto. Kala itu, Habibie adalah Menteri Negara Riset dan Teknologi selama lima Repelita. Begitu pun Ali Alatas menjabat sebagai Menteri Luar Negeri.

Apa lacur, keputusan itu bulat bukan lonjong. Loyalis Xanana Gusmao, termasuk salah satu petinggi negara Timor Leste saat ini, Lu Olo dan pasukannya diizinkan turun gunung dan masuk kota. Hal yang tidak pernah terjadi, karena Fretelin adalah musuh rakyat Timor Timur, dan tentara Nasional Indonesia (TNI).

Sebagai musuh, pasti akan ditangkap kalau kedapatan di kota atau desa. Fretelin dilabeli dengan sebutan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Wajar jika Soeharto menentukan Timor Timur sebagai salah satu daerah operasi militer, selain Aceh dan Irian Jaya (Papua).

Ali Alatas selama puluhan tahun memperjuangkan status Timor Timur di PBB itu membayangkan kondisi terburuk di Timor Timur, jika dilakukan referendum. Dan apa yang dirisaukan mantan Menlu RI ini benar-benar nyata dan terjadi.

Jelang referendum, situasi konflik karena perbedaan ideologi politik sulit dihindari. Pilihan hidup atau mati, menjadi taruhan bagi warga Timor Timur yang memilih merdeka atau setia pada Jakarta.

Di bawah kendali pasukan sekutu PBB yang dipimpin Amerika dan Australia, perang saudara tak kunjung reda. Situasi makin buruk jelang kampanye. Selain bendera Merah Putih, tampak bendera Fretelin ikut dikibarkan.

Bendera itu kini menjadi bendera nasional di negara bekas jajahan Portugis itu. Klimaks dari kemenangan Fretelin yang berhasil melepaskan diri dari NKRI menyebabkan Bumi Timor Lorosae atau sebutan untuk negeri matahari terbit itu membara.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4909 seconds (0.1#10.140)