Gimin si tukang tambal ban kaya mendadak
A
A
A
Sindonews.com - Ketenangan Gang Ciut mulai terusik. Tiap hari warga yang dulunya tenang dan bersahaja kini dilanda persoalan yang tak kunjung surut. Kecemasan warga dan kecurigaan menjadi bumbu penyedap yang terus dikipas. Perlahan tapi pasti, permusuhan antar warga kini sudah diambang batas.
Rusaknya ketenangan warga itu dipicu oleh rasa iri antar warga. Gimin, yang tiap hari berprofesi sebagai tukang tambal ban kini mendadak kaya. Rumahnya yang dulu paling reot di Gang Ciut mulai dibangun megah seperti istana. Keramik memutar di tiap lantai dan tembok rumahnya. Kayu jati yang mahal menjadi pintu di depan dan bagian tengah rumah. Tak lupa, pagar besi yang sudah dilumuri alumunium membalut tebal di depan rumahnya.
Para warga tak percaya kalau harta yang dipakai untuk membangun rumah berasal dari jerih payahnya bekerja sebagai tukang tambal ban. “Paling-paling pendapatan tiap harinya tak sampai Rp30.000,” cletuk salah satu warga. Sementara warga lainnya hanya mengamini dan mengangukan kepala.
Tak hanya itu, sepeda motor kinclong yang baru keluar dari pabrik kini menghiasi rumah Gimin. Warna merah dari sepeda itu membuat mata warga semakin curiga. “Sudah pasti.....ya, sudah pasti kalau Gimin ini korupsi!”
“Betul. Tak mungkin pegawai rendahan yang tiap harinya jadi tukang tambal ban punya uang banyak.”
“Lha iya, bangun rumah, beli sepeda, beli perabotan.”
“Sudah benar-benar mengakar sekarang ini korupsi. Tak lagi melibatkan pejabat tinggi, tapi pegawai paling rendah juga ikut.”
“Oh, salah kamu. Tak hanya pegawai, profesi paling rendah dengan status sosial yang juga rendah ikut-ikutan korupsi!”
Para warga kini sepakat untuk mencari tahu. Mereka penasaran, uang yang dikorupsi oleh Gimin. Sebagian warga curiga kalau uang mushala yang dikorupsi, ada juga yang curiga uang RW yang tiap bulan dapat setoran dari warga. Kebetulan Gimin juga mendapatkan amanah sebagai bendahara di RW.
Cas-cis-cus warga pun semakin menjadi. Mereka sudah tak betah lagi kalau ada koruptor di Gang Ciut. Apalagi warga sudah sepakat untuk menyatakan perang terhadap korupsi. “Ini tak bisa dibiarkan, kalau terus korupsi bisa-bisa jadi miskin semua warga di sini,” keluh salah satu warga.
Kecemasan yang terjadi di sekitar warga sampailah ke telinga Kaji Shodron. Sesupuh di Gang Ciut itu berencana untuk memanggil semua warga, termasuk Gimin. Pertemuan biar menjadikan kecurigaan warga tak lagi muncul. Kalau dibiarkan berlarut-larut, perpecahan di Gang Ciut akan memuncak.
“Saudara-saudara sekalian tahu apa tidak kami kumpulkan di rumah saya ini?”
“Nggak tahu Wak Kaji!”
“Memang, lama sekali kita tak silaturrahmi, sehingga banyak kecurigaan kini muncul. Makanya itu kenapa kita perlu untuk bertemu dan kembali saling mengenal.”
Para warga pun semakin bingung. Tak biasa Kaji Shodron memberikan suara yang lantang untuk menjelaskan sesuatu. Mereka pun curiga kalau ada masalah besar yang akan terjadi di Gang Ciut. Bisik-bisik antar warga menghiasi pertemuan di rumah Kaji Shodron itu.
“Bapak-ibu sekalian, kita sebagai warga di Gang Ciut tak bisa saling tuduh. Ayo kita kembalikan citra diri kita untuk lebih arif,” kata Kaji Shodron.
“Tapi kita tak mau kalau di kampung kita ada koruptor!”
“Iya, tapi kita tak boleh saling tuduh. Kita jelaskan dulu dan ditanyakan langsung. Biar tidak salah prasangka.”
“Sudah terbukti Wak Kaji, mana mungkin tukang tambal ban bisa bangun istana. Sekarang ini banyak orang yang kaya mendadak dari hasil korupsi.”
“Lha kalian ini enggak tahu kalau Gimin itu dapat warisan Rp5 miliar. Masa uang keluarganya dikorupsi sendiri.”
Para warga kini diam dan meminta maaf pada Gimin atas prasangka yang sudah diberikan. Gimin pun hanya tersenyum sambil mengangukan kepala.
Rusaknya ketenangan warga itu dipicu oleh rasa iri antar warga. Gimin, yang tiap hari berprofesi sebagai tukang tambal ban kini mendadak kaya. Rumahnya yang dulu paling reot di Gang Ciut mulai dibangun megah seperti istana. Keramik memutar di tiap lantai dan tembok rumahnya. Kayu jati yang mahal menjadi pintu di depan dan bagian tengah rumah. Tak lupa, pagar besi yang sudah dilumuri alumunium membalut tebal di depan rumahnya.
Para warga tak percaya kalau harta yang dipakai untuk membangun rumah berasal dari jerih payahnya bekerja sebagai tukang tambal ban. “Paling-paling pendapatan tiap harinya tak sampai Rp30.000,” cletuk salah satu warga. Sementara warga lainnya hanya mengamini dan mengangukan kepala.
Tak hanya itu, sepeda motor kinclong yang baru keluar dari pabrik kini menghiasi rumah Gimin. Warna merah dari sepeda itu membuat mata warga semakin curiga. “Sudah pasti.....ya, sudah pasti kalau Gimin ini korupsi!”
“Betul. Tak mungkin pegawai rendahan yang tiap harinya jadi tukang tambal ban punya uang banyak.”
“Lha iya, bangun rumah, beli sepeda, beli perabotan.”
“Sudah benar-benar mengakar sekarang ini korupsi. Tak lagi melibatkan pejabat tinggi, tapi pegawai paling rendah juga ikut.”
“Oh, salah kamu. Tak hanya pegawai, profesi paling rendah dengan status sosial yang juga rendah ikut-ikutan korupsi!”
Para warga kini sepakat untuk mencari tahu. Mereka penasaran, uang yang dikorupsi oleh Gimin. Sebagian warga curiga kalau uang mushala yang dikorupsi, ada juga yang curiga uang RW yang tiap bulan dapat setoran dari warga. Kebetulan Gimin juga mendapatkan amanah sebagai bendahara di RW.
Cas-cis-cus warga pun semakin menjadi. Mereka sudah tak betah lagi kalau ada koruptor di Gang Ciut. Apalagi warga sudah sepakat untuk menyatakan perang terhadap korupsi. “Ini tak bisa dibiarkan, kalau terus korupsi bisa-bisa jadi miskin semua warga di sini,” keluh salah satu warga.
Kecemasan yang terjadi di sekitar warga sampailah ke telinga Kaji Shodron. Sesupuh di Gang Ciut itu berencana untuk memanggil semua warga, termasuk Gimin. Pertemuan biar menjadikan kecurigaan warga tak lagi muncul. Kalau dibiarkan berlarut-larut, perpecahan di Gang Ciut akan memuncak.
“Saudara-saudara sekalian tahu apa tidak kami kumpulkan di rumah saya ini?”
“Nggak tahu Wak Kaji!”
“Memang, lama sekali kita tak silaturrahmi, sehingga banyak kecurigaan kini muncul. Makanya itu kenapa kita perlu untuk bertemu dan kembali saling mengenal.”
Para warga pun semakin bingung. Tak biasa Kaji Shodron memberikan suara yang lantang untuk menjelaskan sesuatu. Mereka pun curiga kalau ada masalah besar yang akan terjadi di Gang Ciut. Bisik-bisik antar warga menghiasi pertemuan di rumah Kaji Shodron itu.
“Bapak-ibu sekalian, kita sebagai warga di Gang Ciut tak bisa saling tuduh. Ayo kita kembalikan citra diri kita untuk lebih arif,” kata Kaji Shodron.
“Tapi kita tak mau kalau di kampung kita ada koruptor!”
“Iya, tapi kita tak boleh saling tuduh. Kita jelaskan dulu dan ditanyakan langsung. Biar tidak salah prasangka.”
“Sudah terbukti Wak Kaji, mana mungkin tukang tambal ban bisa bangun istana. Sekarang ini banyak orang yang kaya mendadak dari hasil korupsi.”
“Lha kalian ini enggak tahu kalau Gimin itu dapat warisan Rp5 miliar. Masa uang keluarganya dikorupsi sendiri.”
Para warga kini diam dan meminta maaf pada Gimin atas prasangka yang sudah diberikan. Gimin pun hanya tersenyum sambil mengangukan kepala.
(rsa)