Penghargaan terhadap batik masih minim
A
A
A
Sindonews.com - Penghargaan pemerintah terhadap seni budaya batik dinilai masih minim. Hal ini dibuktikan dengan belum adanya penghargaan yang sebanding bagi para perajin batik di Indonesia.
"Tak hanya sosialisasi mencintai batik saja yang masih kurang, perhatian pemerintah sendiri masih belum maksimal. Sampai sekarang belum ada standar minimal mutu batik maupun penghasilan bagi para pembuatnya. Pendapatan kita dari seni budaya batik sampai saat ini belum bisa dinikmati," ujar Kepala Dinas Kebudayaan DIY GBPH Yudhaningrat Senin (30/9/2013).
Di sela-sela kegiatan membatik massal di Tugu Yogyakarta oleh 127siswa SD Bopkri Gondolayu, Gusti Yudha panggilan akrabnya menuturkan, penghasilan para pembatik yang minim tersebut juga menjadi faktor utama tidak adanya regenerasi dalam seni budaya batik. Hal ini makin diperparah dengan sulitnya memperjuangkan nasib para pembatik.
"Buruh batik tidak seperti buruh perusahaan yang penghasilannya sudah diatur melalui aturan Upah Minimum Provinsi (UMP). Bagi para buruh batik tidak ada standar minimal sehingga kami juga sulit memperjuangkan nasib mereka," imbuhnya.
Berkaitan dengan kegiatan membatik oleh siswa SD tersebut, menurut Gusti Yudha, seni budaya membutuhkan proses yang panjang. Dengan mendidik anak mencintai seni budaya sejak dini mampu menjadikan mereka ikut melestarikan budaya bangsa.
"Sebagai negara dengan seni budaya yang banyak, Indonesia jangan sampai tertinggal dari negara lain. Negara China dan Malaysia saat ini saja sudah mulai membuat batik versi mereka untuk menyaingi batik kita. Melalui hobi, meski tidak menjadi profesi para anak-anak ini nanti, setidaknya mereka mampu memiliki kesadaran menjaga budaya bangsa," tuturnya.
Sementara itu, Kepala Sekolah SD Bopkri Gondolayu Ester Markis Sarworini SPd mengatakan, pelajaran membatik di sekolahnya sudah menjadi pelajaran muatan lokal. Dalam seminggu, pelajaran membatik diajarkan selama dua jam pelajaran.
"Pelajaran membatik sebenarnya sudah kami ajarkan sejak kelas 1, tapi siswa baru benar-benar diajarkan cara membatik mulai kelas 4. Kelas 1 sampai 3 baru tahap pengenalan membatik," ujarnya.
Diungkapkan Ester, tujuan awal pelajaran membatik diterapkan sejak 3 tahun lalu tersebut ialah untuk mengajarkan para siswa melestarikan budaya bangsa. Dengan satu guru batik dan dibantu wali kelas masing-masing, para siswa SD Bopkri Gondolayu sudah beberapa kali menggelar pameran batik di sekolah mereka.
Kegiatan membatik massal tersebut dilaksanakan untuk memperingati Hari Batik Nasional 2 Oktober dan Ulang Tahun Kota Yogyakarta 7 Oktober, sekaligus memperingati Hari Ulang Tahun SD Bopkri Gondolayu ke-71.
"Tak hanya sosialisasi mencintai batik saja yang masih kurang, perhatian pemerintah sendiri masih belum maksimal. Sampai sekarang belum ada standar minimal mutu batik maupun penghasilan bagi para pembuatnya. Pendapatan kita dari seni budaya batik sampai saat ini belum bisa dinikmati," ujar Kepala Dinas Kebudayaan DIY GBPH Yudhaningrat Senin (30/9/2013).
Di sela-sela kegiatan membatik massal di Tugu Yogyakarta oleh 127siswa SD Bopkri Gondolayu, Gusti Yudha panggilan akrabnya menuturkan, penghasilan para pembatik yang minim tersebut juga menjadi faktor utama tidak adanya regenerasi dalam seni budaya batik. Hal ini makin diperparah dengan sulitnya memperjuangkan nasib para pembatik.
"Buruh batik tidak seperti buruh perusahaan yang penghasilannya sudah diatur melalui aturan Upah Minimum Provinsi (UMP). Bagi para buruh batik tidak ada standar minimal sehingga kami juga sulit memperjuangkan nasib mereka," imbuhnya.
Berkaitan dengan kegiatan membatik oleh siswa SD tersebut, menurut Gusti Yudha, seni budaya membutuhkan proses yang panjang. Dengan mendidik anak mencintai seni budaya sejak dini mampu menjadikan mereka ikut melestarikan budaya bangsa.
"Sebagai negara dengan seni budaya yang banyak, Indonesia jangan sampai tertinggal dari negara lain. Negara China dan Malaysia saat ini saja sudah mulai membuat batik versi mereka untuk menyaingi batik kita. Melalui hobi, meski tidak menjadi profesi para anak-anak ini nanti, setidaknya mereka mampu memiliki kesadaran menjaga budaya bangsa," tuturnya.
Sementara itu, Kepala Sekolah SD Bopkri Gondolayu Ester Markis Sarworini SPd mengatakan, pelajaran membatik di sekolahnya sudah menjadi pelajaran muatan lokal. Dalam seminggu, pelajaran membatik diajarkan selama dua jam pelajaran.
"Pelajaran membatik sebenarnya sudah kami ajarkan sejak kelas 1, tapi siswa baru benar-benar diajarkan cara membatik mulai kelas 4. Kelas 1 sampai 3 baru tahap pengenalan membatik," ujarnya.
Diungkapkan Ester, tujuan awal pelajaran membatik diterapkan sejak 3 tahun lalu tersebut ialah untuk mengajarkan para siswa melestarikan budaya bangsa. Dengan satu guru batik dan dibantu wali kelas masing-masing, para siswa SD Bopkri Gondolayu sudah beberapa kali menggelar pameran batik di sekolah mereka.
Kegiatan membatik massal tersebut dilaksanakan untuk memperingati Hari Batik Nasional 2 Oktober dan Ulang Tahun Kota Yogyakarta 7 Oktober, sekaligus memperingati Hari Ulang Tahun SD Bopkri Gondolayu ke-71.
(lns)