Kompensasi pembantaian Belanda potensi adu domba

Kamis, 12 September 2013 - 19:37 WIB
Kompensasi pembantaian Belanda potensi adu domba
Kompensasi pembantaian Belanda potensi adu domba
A A A
Sindonews.com – Pemerintah Belanda melalui Duta Besar untuk Indonesia sudah meminta maaf kepada para keluarga korban pembantaian tentara Belanda di bawah pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling dalam perang Kemerdekaan RI (1945-1949).

Selain itu, Belanda juga memberikan kompensasi kepada 10 orang keluarga atau ahli waris/janda korban sebesar 20.000 euro atau Rp297 juta per korban.

Sepuluh orang yang mendapat ganti rugi itu, di antaranya, tujuh orang warga Bulukumba, satu orang dari Para-pare, satu orang dari Pinrang, dan satu orang dari Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar).

Namun permintaan maaf dan pemberian kompensasi kepada keluarga korban itu justru dianggap sebagai penghinaan terhadap harkat dan martabat sebagai bangsa yang merdeka dan melanggar kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Sekretaris Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat (KKMSB), Salman Dianda Anwar, mengaku permintaan maaf kepada orang per orang tidaklah cukup.

Belanda jutru harus melakukan permintaan maaf kepada Indonesia dan mengakui Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945.

Bukan pada 27 Desember 1949 yang ketika itu dilakukan pelimpahan kewenangan kepada Republik Indonesia (RIS) sebagai salah satu hasil konfrensi meja bundar (KMB).

Menurut Salman, pemberian kompensasi kepada 10 orang warga Sulsel dan Sulbar tersebut sangat tidak sebanding.

Sebagaimana pendataan yang dilakukan oleh Tim Advokasi Keluarga Korban dan Ahli Waris bersama dengan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) dan KKMSB, jumlah korban pembantaian Wensterling di Galung Lombok, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), atau yang dikenal korban pembantaian 40.000 jiwa mencapai 700 orang.

“Bagaimana mungkin hanya satu yang mendapatkan. Sementara, korban pembantaian paling kejam itu mencapai 700 orang. Inikan sama saja dengan penghinaan harkat dan martabat sebagai warga Indonesia,” tandas Salman.

Selain itu, menurut Salman, kompensasi hanya untuk 10 orang tentu akan menimbulkan ketidakadilan dan keributan seperti di Rawagede.

Selain itu, akan sangat ironis apabila ada di antara penerima kompensasi adalah keluarga atau janda dari para pejuang.

“Bukankah mereka gugur dalam mempertahankan kemerdekaan, dan sekarang jandanya menerima uang sebagai warga negara Belanda. Itukan akan menjadi sia-sia,” jelas Salman tadi malam.

Bukan hanya itu, Salman juga menilai bahwa pemberian kompensasi tersebut tidak jelas apa dasarnya. Karena, korban Westerling bukan Cuma 10 orang tapi mencapai puluhan ribu.

Terpisah, salah seorang korban Westerling Samaunding (80) yang saat ini masih hidup mengaku tidak pernah mendapatkan kompensasi dari Pemerintah Belanda. Bahkan, dirinya tidak pernah terpikir terhadap hal tersebut.

Samaudding saat ini tinggal di Dusun Lawarang, Desa Lekopadis, Kecamatan Tinambung, Polman.

Samaudding adalah salah satu korban westerling yang masih bertahan hidup. Samaudding sempat terkena peluru saat peristiwa Galung Lombok itu terjadi.
(lns)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5271 seconds (0.1#10.140)