Warga Blokade Jalan Trans Papua Barat
A
A
A
Sindonews.com - Masyarakat adat di 5 Distrik Kabupaten Manokwari, meliputi Mubrani, Kebar, Senopi, Amberbaken dan Distrik Sidey, memblokade jalan Trans Papua Barat yang menghubungkan Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Sorong, sejak Selasa (24/4). Pemandangan ini terjadi di sejumlah distrik di Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Tambrauw.
Aksi ini juga didukung tandatangan kepala suku besar pedalaman Arfak, Ketua Dewan Adat Papua wilayah III Mnukwar dan sejumlah tokoh masyarakat.
Salah satu pemilik ulayat di Distrik Mubrani, Arius Manim menyebut, aksi pemalangan ini melibatkan ratusan warga dan dipusatkan di Kampung Arfu, Distrik Mubrani. Tujuannya, menolak tegas hasil Rapat Paripurna DPR-RI tanggal 12 April 2013 yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat.
“Kita juga minta DPR-RI menghentikan seluruh proses pembentukan Undang-undang pengganti UU 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw,” jelasnya, Rabu (25/4/2013).
Menurut dia, jika revisi UU No. 56 Tahun 2008 dilakukan, maka wilayah adat suku Mpur dan Meyach 5 distrik yang merupakan Suku Besar Arfak Kabupaten Manokwari, akan digiring masuk wilayah Kabupaten Tambrauw.
Sementara akses ke Kabupaten Tambrauw, terutama infrastruktur jalan dan sarana transportasi lainnya tidak tersedia dan mahal, dibanding akses menuju wilayah Kabupaten Manokwari.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No.127/PUU-VII/2009 perihal Pengujian UU No. 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw dinilai cacat hukum. Alasannya, para pemohon dalam sidang di MK dinilai melakukan penipuan atau memalsukan identitasnya.
“Jika UU Pengganti UU No. 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat dipaksa, maka setiap konflik horizontal yang akan terjadi menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan DPRRI,” tegas Pemilik ulayat Distrik Kebar, Aser Aruan.
Menurut warga, aksi ini akan terus berlangsung hingga ada tanggapan dari pemerintah pusat.
Kapolres Manokwari, AKBP Ricko Taruna Mauruh yang dikonfirmasi, mengaku akan mengupayakan negosiasi agar aksi tersebut tidak dilanjutkan. Hal tersebut merugikan banyak pihak, terutama masyarakat setempat yang hendak beraktifitas dari dan kembali Manokwari.
Aksi ini juga didukung tandatangan kepala suku besar pedalaman Arfak, Ketua Dewan Adat Papua wilayah III Mnukwar dan sejumlah tokoh masyarakat.
Salah satu pemilik ulayat di Distrik Mubrani, Arius Manim menyebut, aksi pemalangan ini melibatkan ratusan warga dan dipusatkan di Kampung Arfu, Distrik Mubrani. Tujuannya, menolak tegas hasil Rapat Paripurna DPR-RI tanggal 12 April 2013 yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat.
“Kita juga minta DPR-RI menghentikan seluruh proses pembentukan Undang-undang pengganti UU 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw,” jelasnya, Rabu (25/4/2013).
Menurut dia, jika revisi UU No. 56 Tahun 2008 dilakukan, maka wilayah adat suku Mpur dan Meyach 5 distrik yang merupakan Suku Besar Arfak Kabupaten Manokwari, akan digiring masuk wilayah Kabupaten Tambrauw.
Sementara akses ke Kabupaten Tambrauw, terutama infrastruktur jalan dan sarana transportasi lainnya tidak tersedia dan mahal, dibanding akses menuju wilayah Kabupaten Manokwari.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No.127/PUU-VII/2009 perihal Pengujian UU No. 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw dinilai cacat hukum. Alasannya, para pemohon dalam sidang di MK dinilai melakukan penipuan atau memalsukan identitasnya.
“Jika UU Pengganti UU No. 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat dipaksa, maka setiap konflik horizontal yang akan terjadi menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan DPRRI,” tegas Pemilik ulayat Distrik Kebar, Aser Aruan.
Menurut warga, aksi ini akan terus berlangsung hingga ada tanggapan dari pemerintah pusat.
Kapolres Manokwari, AKBP Ricko Taruna Mauruh yang dikonfirmasi, mengaku akan mengupayakan negosiasi agar aksi tersebut tidak dilanjutkan. Hal tersebut merugikan banyak pihak, terutama masyarakat setempat yang hendak beraktifitas dari dan kembali Manokwari.
(rsa)