Sulteng-Sulbar rebutan Desa Ngovi dan Bulava

Kamis, 28 Februari 2013 - 19:52 WIB
Sulteng-Sulbar rebutan Desa Ngovi dan Bulava
Sulteng-Sulbar rebutan Desa Ngovi dan Bulava
A A A
Sindonews.com - Pemerintah Sulawesi Tengah (Sulteng) mengklaim Desa Ngovi dan Bulava yang berada di antara kedua provinsi antara Sulteng dan Sulbar, masuk dalam wilayah Kabupaten Donggala (Sulteng).

Pengakuan itu disampaikan Pemprov Sulteng pada Komisi I DPRD Sulbar, di Kantor Gubernur Sulteng. Kedua delegasi tetap bertahan pada argumennya, sehingga akhirnya menyerahkan permasalahan ini pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Dari Pemprov Sulteng hadir Sekretaris Daerah (Sekda) Sulteng Amjad Lawasa, Bupati Donggala Habir Ponulele, dan Ketua Komisi I DPRD Sulteng yang pernah menjadi Ketua DPRD Donggala Ridwan Yali Djama.

Sedangkan dari Komisi I DPRD Sulbar hadir Ketua Komisi I Marigun Rasyid, Wakil Ketua Komisi Tahir Madanni, sejumlah anggota Komisi I, perwakilan dari Biro Pemerintahan Sulbar, dan Asisten I Pemkab Matra Makmur.

Pengakuan secara hukum Pemprov Sulteng ini berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 1991. Tapi secara de facto atau kenyataan di lapangan, Pemprov Sulteng tetap mengklaim kedua desa tersebut masuk dalam wilayah Sulteng. Sebab, menurut mereka, masyarakat setempat yang menghendaki demikian.

Amjad Lawasa yang memimpin pertemuan mengatakan, semua yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan di dua desa tersebut dilayani oleh Kabupaten Donggala. Pengurusan KTP, KK, dan sejumlah perizinan lainnya dilakukan oleh warga di dua desa tersebut di Donggala.

"Malah kini Desa Ngovi dan Bulava dimasukkan ke dalam wilayah Kecamatan Rio Pakava yang merupakan bagian dari wilayah Donggala," sebut Amjad, Kamis (28/2/2013).

Amjad menambahkan, hingga saat ini sudah digelar lima kali pertemuan untuk mencari titik temu terkait polemik tapal batas ini, tetapi hasilnya tetap gagal.

"Kondisi di lapangan yang selalu menjadi persoalan. Pada salah satu pertemuan kita serahkan ke masyarakat untuk menyelesaikan. Tapi tidak bisa terselesaikan. Lalu, diserahkan ke Kemendagri, juga belum bisa tuntas sampai sekarang. Prinsipnya, kita semua ingin persoalan ini bisa segera terselesaikan dan tidak ada satu pihak pun yang dirugikan. Penyelesaiannya harus menguntungkan kedua belah pihak," kata Amjad.

Sementara Marigun mengatakan, kedatangan mereka ke Palu bukan untuk menuntut Pemprov Sulteng segera menyelesaikan permasalahan tapal batas ini. Tapi mencari tahu kendala yang dihadapi sehingga persoalan ini belum terselesaikan. Hasilnya untuk menambah data dan referensi yang bisa dijadikan acuan untuk dibahas bersama Pemprov Sulbar.

"Karena sebenarnya yang harus menyelesaikan permasalahan ini adalah Pemda, bukan DPRD. Kami ingin membantu mendorong percepatan penyelesaian masalah tapal batas ini sehingga tidak berlarut-larut. Sebab persoalan ini menjadi penghambat tidak selesainya Perda RTRW (rencana tata ruang wilayah) Sulbar. Intinya, kami ingin masalah ini segera selesai dan tidak ada satu pihak pun yang tersakiti," jelas Marigun.

Sedang Habir Ponulele mengungkapkan, Pemkab Donggala pernah mengirim surat ke Kemendagri untuk meminta agar meninjau kembali Permendagri No 51 Tahun 1991 tersebut.

"Tapi, hingga saat ini belum ada jawaban. Secara keadatan dan budaya, kami sama dengan di Mamuju Utara. Sejumlah nama desa di Mamuju Utara diambil dari nama di Sulteng. Kami selalu merasa satu dengan daerah itu. Kami ingin persoalan ini bisa selesai dengan baik," kata Habir.

Pada akhir pertemuan disepakati, dibentuk forum bersama antara Pemprov Sulbar dan Pemprov Sulteng dengan melibatkan DPRD kedua provinsi. Forum ini nantinya yang akan membahas secara lebih khusus permasalahan tapal batas.
(rsa)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3802 seconds (0.1#10.140)
pixels