Penderita gangguan jiwa di Yogya tinggi
A
A
A
Sindonew.com - Penderita gangguan kesehatan jiwa di kota Yogyakarta dinyatakan tinggi. Data riset kesehatan dasar (Rinkesda), menunjukkan untuk prevalensi gangguan mental emosional 11,3 persen dari jumlah pendudukan. Padahal, untuk batas prevalensi untuk gangguan jiwa 0,5 persen.
Sementara data kependudukan badan pusat statistik (BPS) tahun 2010, dari 387.813 jumlah penduduk Kota Yogyakarta, 32.033 atau 8,25 persen diantaranya mengalami gangguan kesehatan jiwa. Terdiri dari 30.676 orang gangguan mental emosional, dan 1.357 orang ganguan jiwa berat.
Namun khusus untuk yang mengalami gangguan jiwa berat, dari pendataan RSJ Grhasia Yogyakarta tahun 2012, hanya menemukan 568 orang atau 41,86 persen dari jumlah yang ada. Sehingga masih ada 789 orang atau 58,14 persen yang belum diketahui.
“Angka tersebut menunjukkan ada ketimpangan atau gap, sehingga gap itu membutuhkan tindaklanjut, salah satunya dengan deteksi masalah kesehatan jiwa dengan pemberdayaan masyarakat,” kata Kasubbid Fasilitas Pelayanan Medik RSJ Grhasia Yogyakarta Joep Djojodibroto di sela-sela pembekalan kader kesehatan untuk penangganan dini gangguan kesehatan jiwa, di aula Humas Pemkot Yogyakarta, Selasa (26/2/2013).
Menurut Joep, penyebab utama banyaknya masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan jiwa tersebut adalah kemiskinan, kemudian hubungan keluarga, dan pola asuh.
Sedangkan untuk gangguan kesehatan jiwa sendiri, diawali jika pikiran, perilaku dan perasaan sudah tidak produktif. Dan bila dari tahap tersebut, sudah sampai memerlukan bantuan orang lain, dapat dikatakan mengalami gangguan jiwa berat.
“Dari data yang ada kebanyakan warga yang mengalami gangguan kesehatan jiwa ini, adalah usia di bawah 40 tahun, Bahkan dari laporan ada yang masih berusia 15 tahun,” katanya.
Joep mengatakan, dari laporan 18 Puskesmas yang ada di Yogyakarta, warga yang mengalami gangguan kesehatan jiwa tersebut tidak ada yang dipasung. Hanya saja tidak adanya kasus ini, apakah benar-benar tidak ada atau memang tidak terlaporkan ke Puskesmas belum diketahui secara pasti.
Staf Kesehatan Jiwa Masyaratan (Keswma) RSJ Grhasia Yogyakarta Aspi Kristiati mengatakan, bagi yang menderita gangguan jiwa berat tersebut, untuk pemulihannya sangat kecil, yaitu hanya 25 persen.
Untuk itu, lanjut dia, guna mengantisipasi kesehatan jiwa ini perlu adanya pelayanan deteksi dini. Seperti sistem layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat.
“Itulah salah satu alasan pada tahun ini kami kembali membuat program tersebut, dimana untuk wilayah sasarannya adalah kelurahan Prenggan dan Purbayan, Kotagede,” tambahnya.
Aspi menambahkan untuk penanggannya sendiri, jika terdeteksi gangguan ringan, untuk penanggannnya bisa dilayani di Puskesmas, namun bila membutuhkan penanangganan lebih lanjut, maka Puskesmas dapat memberikan rujukan ke rumah sakit daerah atau rumah sakit yang khusus menanggani gangguan kesehatan jiwa.
Sementara data kependudukan badan pusat statistik (BPS) tahun 2010, dari 387.813 jumlah penduduk Kota Yogyakarta, 32.033 atau 8,25 persen diantaranya mengalami gangguan kesehatan jiwa. Terdiri dari 30.676 orang gangguan mental emosional, dan 1.357 orang ganguan jiwa berat.
Namun khusus untuk yang mengalami gangguan jiwa berat, dari pendataan RSJ Grhasia Yogyakarta tahun 2012, hanya menemukan 568 orang atau 41,86 persen dari jumlah yang ada. Sehingga masih ada 789 orang atau 58,14 persen yang belum diketahui.
“Angka tersebut menunjukkan ada ketimpangan atau gap, sehingga gap itu membutuhkan tindaklanjut, salah satunya dengan deteksi masalah kesehatan jiwa dengan pemberdayaan masyarakat,” kata Kasubbid Fasilitas Pelayanan Medik RSJ Grhasia Yogyakarta Joep Djojodibroto di sela-sela pembekalan kader kesehatan untuk penangganan dini gangguan kesehatan jiwa, di aula Humas Pemkot Yogyakarta, Selasa (26/2/2013).
Menurut Joep, penyebab utama banyaknya masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan jiwa tersebut adalah kemiskinan, kemudian hubungan keluarga, dan pola asuh.
Sedangkan untuk gangguan kesehatan jiwa sendiri, diawali jika pikiran, perilaku dan perasaan sudah tidak produktif. Dan bila dari tahap tersebut, sudah sampai memerlukan bantuan orang lain, dapat dikatakan mengalami gangguan jiwa berat.
“Dari data yang ada kebanyakan warga yang mengalami gangguan kesehatan jiwa ini, adalah usia di bawah 40 tahun, Bahkan dari laporan ada yang masih berusia 15 tahun,” katanya.
Joep mengatakan, dari laporan 18 Puskesmas yang ada di Yogyakarta, warga yang mengalami gangguan kesehatan jiwa tersebut tidak ada yang dipasung. Hanya saja tidak adanya kasus ini, apakah benar-benar tidak ada atau memang tidak terlaporkan ke Puskesmas belum diketahui secara pasti.
Staf Kesehatan Jiwa Masyaratan (Keswma) RSJ Grhasia Yogyakarta Aspi Kristiati mengatakan, bagi yang menderita gangguan jiwa berat tersebut, untuk pemulihannya sangat kecil, yaitu hanya 25 persen.
Untuk itu, lanjut dia, guna mengantisipasi kesehatan jiwa ini perlu adanya pelayanan deteksi dini. Seperti sistem layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat.
“Itulah salah satu alasan pada tahun ini kami kembali membuat program tersebut, dimana untuk wilayah sasarannya adalah kelurahan Prenggan dan Purbayan, Kotagede,” tambahnya.
Aspi menambahkan untuk penanggannya sendiri, jika terdeteksi gangguan ringan, untuk penanggannnya bisa dilayani di Puskesmas, namun bila membutuhkan penanangganan lebih lanjut, maka Puskesmas dapat memberikan rujukan ke rumah sakit daerah atau rumah sakit yang khusus menanggani gangguan kesehatan jiwa.
(rsa)