Banjir, petani Ciganjeng setahun tak panen
A
A
A
Sindonews.com - Ratusan petani di wilayah Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Ciamis sudah hampir satu tahun merindukan masa panen. Ratusan hektare sawah di kawasan Ciganjeng, sudah hampir satu tahun digenangi banjir.
Mereka mengeluhkan, banjir yang menggenangi kawasan Ciganjeng dan sekitarnya, merupakan banjir terlama yang dialami.
"Banjir di Ciganjeng memang banjir musiman, setiap hujann turun dipastikan ratusan hektare di Ciganjeng ini terendam banjir," kata petani setempat Wahyu (39), ditemui di lokasi banjir, Selasa (15/1/2013).
Namun, lanjut Wahyu, biasanya sekalipun digenangi banjir dalam setahun sedikitnya petani di Ciganjeng bisa menikmati satu kali masa panen.
"Untuk banjir kali ini, sudah hampir 10 bulan genangan air tidak kunjung surut. Artinya, dalam waktu yang tersisa hanya tinggal dua bulan tidak mungkin tahun ini petani Ciganjeng bisa melalui massa panen," terang Wahyu.
Menurut Wahyu, luar areal sawah yang terendam banjir lebih dari 100 hektare. Yang pasti, lanjut Wahyu, dirinya bersama petani lain sudah sangat merindukan ingin melalui massa panen di Ciganjeng.
"Terus terang pak, petani Ciganjeng ingin ada kepastian. Apakah kawasan ini akan di buat kawasan pertanian atau akan dijadikan kawasan wisata dijadikan danau Ciganjeng," terang Wahyu.
Tokoh masyarakat setempat Hasyim menilai, keluhan petani setempat merupakan luapan yang wajar. Pasalnya, tahun ini petani Ciganjeng sama sekali tidak bisa menikmati massa panen.
"Biasanya petani Ciganjeng tidak pernah bosan melakukan tanam padi, sekalipun harus berkali-kali rusak terendam banjir," kata Hasyim.
Hanya saja, lanjut Hasyim, biasanya sekalipun mereka berkali-kali gagal tanam ada satu kalai tanam yang berhasil penen. Sebetulnya, terang Hasyim, pemerintah melalui pertanian, sudah memperkenalkan sebuah metode baru menanam padi di kawasan banjir Ciganjeng.
"Saat ini, ada sekira 100 meter lahan banjir di Ciganjeng yang dijadikan percontohan menanam padi apung atau lebih dikenal sawah apung," terang Hasyim.
Tapi, tambah Hasyim, percontohan itu belum bisa dipahami petani setempat. Keberadaan sawah apung dinilai belum memasyarakat.
"Dan yang paling penting, pembiayaan untuk membuat sawah apung dinilai terlalu besar dan memberatkan petani. Sebagian petani, menilai operasional untuk wawah apung tidak akan sebanding dengan hasil yang diperoleh," pungkas Hasyim.
Mereka mengeluhkan, banjir yang menggenangi kawasan Ciganjeng dan sekitarnya, merupakan banjir terlama yang dialami.
"Banjir di Ciganjeng memang banjir musiman, setiap hujann turun dipastikan ratusan hektare di Ciganjeng ini terendam banjir," kata petani setempat Wahyu (39), ditemui di lokasi banjir, Selasa (15/1/2013).
Namun, lanjut Wahyu, biasanya sekalipun digenangi banjir dalam setahun sedikitnya petani di Ciganjeng bisa menikmati satu kali masa panen.
"Untuk banjir kali ini, sudah hampir 10 bulan genangan air tidak kunjung surut. Artinya, dalam waktu yang tersisa hanya tinggal dua bulan tidak mungkin tahun ini petani Ciganjeng bisa melalui massa panen," terang Wahyu.
Menurut Wahyu, luar areal sawah yang terendam banjir lebih dari 100 hektare. Yang pasti, lanjut Wahyu, dirinya bersama petani lain sudah sangat merindukan ingin melalui massa panen di Ciganjeng.
"Terus terang pak, petani Ciganjeng ingin ada kepastian. Apakah kawasan ini akan di buat kawasan pertanian atau akan dijadikan kawasan wisata dijadikan danau Ciganjeng," terang Wahyu.
Tokoh masyarakat setempat Hasyim menilai, keluhan petani setempat merupakan luapan yang wajar. Pasalnya, tahun ini petani Ciganjeng sama sekali tidak bisa menikmati massa panen.
"Biasanya petani Ciganjeng tidak pernah bosan melakukan tanam padi, sekalipun harus berkali-kali rusak terendam banjir," kata Hasyim.
Hanya saja, lanjut Hasyim, biasanya sekalipun mereka berkali-kali gagal tanam ada satu kalai tanam yang berhasil penen. Sebetulnya, terang Hasyim, pemerintah melalui pertanian, sudah memperkenalkan sebuah metode baru menanam padi di kawasan banjir Ciganjeng.
"Saat ini, ada sekira 100 meter lahan banjir di Ciganjeng yang dijadikan percontohan menanam padi apung atau lebih dikenal sawah apung," terang Hasyim.
Tapi, tambah Hasyim, percontohan itu belum bisa dipahami petani setempat. Keberadaan sawah apung dinilai belum memasyarakat.
"Dan yang paling penting, pembiayaan untuk membuat sawah apung dinilai terlalu besar dan memberatkan petani. Sebagian petani, menilai operasional untuk wawah apung tidak akan sebanding dengan hasil yang diperoleh," pungkas Hasyim.
(rsa)