Percikan amarah bakar Indonesia di 2012

Kamis, 27 Desember 2012 - 12:51 WIB
Percikan amarah bakar...
Percikan amarah bakar Indonesia di 2012
A A A
DI PENGHUJUNG tahun 2012 ini, masalah konflik sosial ternyata belum juga selesai dan tak kunjung ada habisnya. Tercatat selama setahun belakangan, Indonesia mengalami 104 kali konflik sosial yang terjadi sepanjang tahun ini. Bentrok antarwarga diketahui merupakan pemicu konflik yang paling sering terjadi di sepanjang tahun ini.

Dalam catatan, sejumlah konflik sosial yang termasuk dalam data Kemendagri antara lain konflik di
Kecamatan Kalianda dengan sejumlah warga Desa Balinuraga, Kecamatan Waypanji, Kabupaten Lampung Selatan.

Dalam kasus ini, soal pelecehan seksual diduga sebagai pemicu konflik. Akibatnya belasan korban jiwa melayang, puluhan rumah dibakar, belum ditambah kerugian materil lainnya seperti kendaraan dan lain sebagainya.

Dilihat dari akar penyebabnya, kasus Lampung dapat dikatakan bersifat klasik. Di dalamnya melibatkan tipe konflik yang bernuansa primordial, seperti yang terjadi di Sampit, Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar).

Sejak kehadirannya, etnis Bali berbeda dengan orang Jawa. Mereka dipandang membawa persoalan
tersendiri bagi sebagian masyarakat Lampung. Kuncup kompleksitas permasalahan ini mencakup "legitimasi kehadiran" masyarakat Bali yang dipandang masih bermasalah karena menempati wilayah yang belum sepenuhnya diizinkan ataupun karena perbedaan adat kebiasaan dan agama.

Tidak mengherankan jika kedua etnis itu kerap masih merasa asing satu dan lainnya. Hal ini terjadi terutama di Lampung Selatan dan Lampung Utara. Tentu saja, persoalan primordial ini tidak berdiri sendirian. Dalam kasus Lampung, persoalan tersebut juga ditambah dengan adanya disparitas ekonomi.

Kaum pendatang, terutama Bali, merupakan komunitas yang cukup sejahtera, sementara etnis Lampung tidak cukup baik kondisinya sebagai "tuan rumah".

Selain masalah Lampung, di sepanjang tahun 2012, konflik di Papua juga cukup mencuat. Terdapat ribuan korban berjatuhan di tanah cendrawasih akibat konflik tersebut.

Menurut Intelektual Muda Papua Natalis Pigay, faktor penyebab konflik di Papua adalah persoalan integrasi yang meninggalkan penderitaan bagi rakyat Papua. Kemudian, ditambah dengan pembangunan yang gagal sampai saat ini.

"Menyebabkan rakyat Papua melawan dan melawan, mereka menampilkan simbol-simbol kebangsaan, lagu kebangsaan, bahwa mereka menggugat proses integrasi," ujar Natalis, dalam diskusi 'Papua yang Tak Kunjung Reda', di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 16 Juni 2012.

Menurut Natalis, mencuatnya konflik di Papua juga didorong oleh pendekatan keamanan yang represif.
Pada akhirnya, rakyat Papua menjadikan masalah kemiskinan, dan kebodohan sebagai mainstream sebuah perjuangan.

Konflik papua juga semakin meruncing saat salah satu pimpinan Komite Nasional Papua Barat, Mako Tabuni ditembak hingga tewas.

"Seharusnya ditangkap, diadili, dihukum mati tidak masalah, asal melalui proses pengadilan. Jangan
ditembak langsung, itu menimbulkan ketidakpercayaan. Pendekatan kemanan yang keji menimbulkan luka yang dalam bagi masyarakat," jelasnya.

Konflik di Sampang, Madura antara Islam Sunni dan Syiah juga pecah di tahun 2012 ini, tepatnya 26
Agustus 2012. Padahal akar konflik tersebut bukanlah murni karena persoalan keyakinan. Kerusuhan
tersebut murni berlatar belakang konflik keluarga yang tak lain adalah keluarga tokoh masyarakat
setempat, Tajul Muluk dan Rois.

Keduanya merupakan kakak beradik, anak pasangan Kyai Mamun bin KH Achmad Nawawi dengan Ummah. Tajul Muluk merupakan tokoh sentral dalam penyebaran ajaran Syiah. Keluarga Kyai Mamun merupakan tokoh terpandang di wilayah Karang Gayam.

Tajul Muluk merupakan anak kedua dari delapan bersaudara. Saudara tertuanya bernama Iklil Al-Milal,
yang rumahnya turut dibakar masa anti syiah pada insiden kerusuhan tersebut. Sedangkan, adik Tajul
secara berurutan yakni Rois Al-Hukama, Fatimah Az-Zahra, Ummu Hani, Budur Makzuzah, Ummu Kultsum, dan Ahmad Miftahul Huda.

Diakui Ibunda Tajul Muluk, Umi Ummah, konflik terjadi antara Tajul Muluk dengan sang adik Rois.
Keduanya memang terlibat konflik pribadi sejak beberapa tahun silam. Apa masalah tersebut?

Ummah enggan membeberkan masalah tersebut. Tapi kata Ummah, persoalan itu sangat pribadi.

"Masalah itu berawal dari masalah yang sangat pribadi, terus menjurus kepada masalah keyakinan, hingga Rois pernah mengatakan bahwa keluarga kafir,” kata Ummah di Sampang, kepada Sindo TV, Rabu 29 Agustus 2012.

Perempuan paruh baya yang sempat ikut mengungsi bersama warga Syiah di GOR Sampang, Madura, mengatakan, dia sempat mengingatkan kedua anaknya agar menyelesaikan konflik. Dia juga sudah mengingatkan keduanya untuk berdamai. Akan tetapi, mereka malah memilih cara carok untuk
menyelesaikan masalah. Sejak itulah konflik tersebut muncul hingga menjadi besar bahkan hingga
menimbulkan korban jiwa.

Berdasarkan Informasi yang beredar, persoalan pribadi antara Tajul Muluk dan Rois terjadi sejak tahun
2005. Tajul Muluk pernah bercerita persoalan pribadi dirinya dengan KH Rois yang berpaham sunni
sengaja digiring ke konflik berlatar sehingga mengakibatkan bentrokan. Padahal, konflik tersebut
dilatarbelakangi persoalan asmara di antara keduanya.

Ketika itu, Tajul Muluk ingin membantu tetangganya yang akan meminang salah satu santriwati yang
mondok di pesantren KH Rois. Tapi, ternyata Rois juga ingin menikahi santriwati yang disebut-sebut
bernama Halima itu. Sejak saat itulah konflik bermula. Rois tidak senang pujaan hatinya hendak dipinang oleh tetangga Tajul Muluk, Rois mengira dalang dari semuanya adalah Tajul Muluk. Pasalnya, Tajul-lah yang akan menjadi penghulu di pernikahan Halima dengan pemuda tetangga Tajul Muluk itu.

Selain konflik-konflik di atas, masih banyak data konflik yang terjadi disepanjang tahun 2012 ini. Sebut saja, konflik penyerangan Ahmadiyah di beberapa wilayah. Konflik penyerangan kantor kepolisian akibat sms teror yang beredar, dan masih banyak lagi kasus lain.

Menurut Kasubdit Penanganan Konflik Sosial, Ditjen Kesbangpol, Kementerian Dalam Negeri Tri Jaladara, dari 104 peristiwa konflik sosial tersebut, bentrokan antarwarga merupakan pemicu konflik yang paling besar mencapai 33,6 persen, disusul isu keamanan sebanyak 26 kali peristiwa atau mencapai 25 persen.

"Pemicu bentrokan biasanya karena sengketa lahan dan konflik organisasi kemasyarakatan. Masing-
masing sebanyak 13 peristiwa atau 12,5 persen, sedangkan isu SARA hanya 10 peristiwa atau 9,6 persen menjadi pemicu konflik. Sementara isu kesenjangan sosial hanya satu peristiwa, konflik pada institusi pendidikan dan ekses konflik politik masing-masing tiga peristiwa," jelas Tri Jaladara pada pertemuan Forum Komunikasi Kelitbangan (FKK) Kementerian/Lembaga yang diselenggarakan Kementerian Sosial, di Jakarta, Senin 19 November 2012.

Konflik sosial yang terjadi pada 2012 menurutnya, meningkat dibandingkan 2011 yang hanya tercatat 77 peristiwa namun pemicu konflik tertinggi masih disebabkan bentrokan antarwarga yaitu sebanyak 32 peristiwa disusul isu keamanan sebanyak 11 peristiwa.

Dia menyebutkan, faktor umum terjadinya konflik sosial karena motif sosial yakni karena adanya sikap
kurang saling menghormati antarsesama warga masyarakat yang berbeda latar belakang sosial.

Faktor umum lainnya yaitu motif ekonomi karena adanya perbedaan kemampuan antarwarga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga bila terjadi gesekan kepentingan dalam mendayagunakan sumberdaya ekonomi dapat bereskalasi menjadi konflik sosial.

Motif politik juga menjadi faktor umum konflik sosial yang disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan politik sehingga bila terjadi gesekan kepentingan dalam proses perebutan kekuasaan politik juga dapat memicu konflik sosial.

Konflik sosial di masyarakat kini menjadi ancaman yang berpotensi mengganggu keutuhan dan mengikis semangat nasionalisme bangsa. Kemajemukan masyarakat Indonesia kini bukan lagi dianggap sebagai kekayaan, namun bisa menjelma menjadi bibit permusuhan yang dapat memecah belah bangsa.

Selain itu, pemerintah dinilai tidak serius menangani hal yang timbul pasca konflik di beberapa daerah di Indonesia. Hal itulah yang kemudian menjadi penyebab konflik seperti di beberapa daerah terus berulang.

Komisi Untuk Korban Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menguatkan hal itu. Mereka menyebut ada 32 konflik horizontal yang terjadi tahun 2012 ini. Angka tersebut di luar peristiwa serangan dari suatu kelompok mayoritas kepada minoritas dan juga tawuran antar pelajar dan mahasiswa.

Berikut wilayah sebaran konflik horisontal menurut Kontras:

- Lampung, 5 kali bentrok, 13 korban jiwa, dan 10 korban luka.

- Aceh, 5310 korban,

- Papua 68.146 korban,

- Sulawesi Tengah 15.427 korban,

- Kalimantan Timur 100 korban,

Total 3.228.193 korban dari konflik sosial dengan nuansa ketegangan komunal sepanjang 2012.

Menurut Kontras, maraknya konflik sosial yang terjadi di kalangan masyarakat dikarenakan jarangnya
pendekatan langsung yang dilakukan para pemimpin negara ke komunitas akar rumput. Selain itu,
absennya penegakan hukum, membuat pelik masalah ini, karena tak memberikan efek jera bagi para pelaku kekerasan.

Upaya yang menjadi standar penyelesaian, umumnya lebih bersifat simbolik dan tidak diikuti upaya memelihara rekonsiliasi dan perdamaian.

"Kebijakan yang ada saat ini justru tumpang tindih dan saling berlawanan. Hal itu terlihat dari Undang-
undang nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial yang lebih menitikberatkan pada aktivitas penghentian konflik, dengan memobilisasi kekuatan sektor keamanan secara masif," jelas Koordinator Kontras Haris Azhar, di Kantor Kontras, Jakarta, Senin 26 November 2012.

Meskipun dalam UU itu disinggung tentang pentingnya membangun sistem deteksi dini konflik, namun pemerintah nampaknya luput pula dalam memaksimalkan upaya sistem deteksi dini yang komprehensif dan signifikan untuk mengelola dinamika sosial politik yang khas di masing-masing wilayah Indonesia.

Maka itu, saat ini diperlukan sebuah evaluasi mengenai antisipasi dan mekanisme koreksi penanganan konflik sosial yang tidak efektif selama ini.

Menurut Dosen Fisipol UGM Dr Muhammad Najib Azca, konflik sosial memang rawan terjadi pada negara yang menganut sistem demokrasi. Karena menurutnya, demokrasi membuka ruang kebebasan untuk berekspresi, beraspirasi, dan mengaktualisasikan dirinya secara maksimal.

Penyebab konflik sosial di Indonesia, yang notabene sebagai negara penganut sistem demokrasi menurutnya ada tiga. Pertama, faktor pendorong yang berupa perubahan sosial-ekonomi, migrasi penduduk, kebijakan dan desentralisasi. Kedua, faktor pemicu konflik sosial, seperti pesta minuman keras. Ketiga, faktor akar, seperti kesenjangan sosial-ekonomi dan kemiskinan struktural.

Dari ketiga faktor tersebut, menurutnya, faktor akar lah yang menjadi faktor penting yang harus diselesaikan negara.

“Karena akar konflik biasanya tidak tampak, bersifat struktural, dan menjadi sumber utama konflik sosial,” jelasnya.

Lantas apakah konflik sosial akan terus terjadi di tahun 2013 mendatang? Apakah terus akan banyak
korban dan nyawa yang melayang sia-sia karena onani emosi yang dipaksa dikeluarkan akibat hal-hal yang sepele? Dan apakah pemerintah mampu mencari solusi untuk meredam konflik yang ada?.

Dalam pemaparan data di atas, tahun 2012 ini, konflik banyak dipicu soal politik dan sumber
daya alam. Politik sudah bawa-bawa agama, etnik dan sumber daya alam.Tergambar jelas, di balik kisruh sumber daya alam dan tapal batas ada kepentingan politik saat pemilu.

Maka itu, untuk menyelesaikan hal ini, elite politik seharusnya juga bertanggung jawab. Kepemimpinan nasional juga dibutuhkan untuk meredam ketegangan masyarakat.
(rsa)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.8866 seconds (0.1#10.140)