Mitigasi adaptasi kunci hadapi perubahan iklim

Mitigasi adaptasi kunci hadapi perubahan iklim
A
A
A
Sindonews.com – Indonesia sebagai negara kepulauan merasakan langsung dampak dari perubahan iklim dunia yang telah terjadi saat ini. Hal ini pula yang membuat Indonesia menjadi semakin rentan terhadap perubahan iklim. Strategi mitigasi dan adaptasi menjadi kunci utama bagi masyarakat dunia, khususnya Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim.
”Mitigasi dan adaptasi menjadi kunci utama kita hadapi perubahan iklim. Ini sudah dan sedang terjadi, jadi saat ini waktunya kita memikirkan upaya pengurangan resiko perubahan iklim sekaligus melakukan penyesuaian terhadap iklim yang sudah terjadi,” ujar Pengelola Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana (SPS) UGM Sudibyakto menjelaskan, Selasa (27/11/2012).
Sudibyakto mengungkapkan, semakin tinggi suhunya, daya tampung bumi akan semakin kecil. Panas bumi pun mampu mempengaruhi percepatan kerusakan ekosistem karena suhu yang tinggi membuat ekosistem tidak mampu mereduksi panasnya. Saat ini, manusia sudah mulai merasakan dampaknya, seperti banjir air laut (rob) atau perubahan frekuensi dan intensitas hujan.
“Suhu bumi makin hari makin meningkat. Bahkan diperkirakan 100 tahun lagi suhu bumi akan naik satu derajat celsius. Meski terlihat kecil, hal tersebut mampu mempengaruhi semua aspek kehidupan di dunia karena panas bumi memperngaruhi daya tampung bumi sendiri,” tuturnya.
Dikatakan Sudibyakto, pengaruh perubahan iklim di tiap daerah memang berbeda-beda. Untuk wilayah DIY, kondisi perubahan iklim juga mulai dirasakan hingga muncul istilah kondisi hujan kritis Merapi. Perubahan frekuensi dan intensitas hujan di puncak Merapi mempengaruhi terjadinya bencana banjir lahar dingin di wilayah DIY.
”Hujan di puncak Merapi mampu mengubah lava menjadi lahar dingin yang kita tahu mengaliri sungai-sungai yang juga melintasi DIY. Jika sebelumnya lahar dingin bisa terbentuk jika hujan turun 60 milimeter per jam dan berlangsung dua jam tanpa henti, mungkin saat ini kurang dari 60 milimeter per jam saja, lahar dingin sudah terbentuk. Melihat kondisi di puncak Merapi, jelas masih potensial terjadi,” tuturnya.
”Mitigasi dan adaptasi menjadi kunci utama kita hadapi perubahan iklim. Ini sudah dan sedang terjadi, jadi saat ini waktunya kita memikirkan upaya pengurangan resiko perubahan iklim sekaligus melakukan penyesuaian terhadap iklim yang sudah terjadi,” ujar Pengelola Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana (SPS) UGM Sudibyakto menjelaskan, Selasa (27/11/2012).
Sudibyakto mengungkapkan, semakin tinggi suhunya, daya tampung bumi akan semakin kecil. Panas bumi pun mampu mempengaruhi percepatan kerusakan ekosistem karena suhu yang tinggi membuat ekosistem tidak mampu mereduksi panasnya. Saat ini, manusia sudah mulai merasakan dampaknya, seperti banjir air laut (rob) atau perubahan frekuensi dan intensitas hujan.
“Suhu bumi makin hari makin meningkat. Bahkan diperkirakan 100 tahun lagi suhu bumi akan naik satu derajat celsius. Meski terlihat kecil, hal tersebut mampu mempengaruhi semua aspek kehidupan di dunia karena panas bumi memperngaruhi daya tampung bumi sendiri,” tuturnya.
Dikatakan Sudibyakto, pengaruh perubahan iklim di tiap daerah memang berbeda-beda. Untuk wilayah DIY, kondisi perubahan iklim juga mulai dirasakan hingga muncul istilah kondisi hujan kritis Merapi. Perubahan frekuensi dan intensitas hujan di puncak Merapi mempengaruhi terjadinya bencana banjir lahar dingin di wilayah DIY.
”Hujan di puncak Merapi mampu mengubah lava menjadi lahar dingin yang kita tahu mengaliri sungai-sungai yang juga melintasi DIY. Jika sebelumnya lahar dingin bisa terbentuk jika hujan turun 60 milimeter per jam dan berlangsung dua jam tanpa henti, mungkin saat ini kurang dari 60 milimeter per jam saja, lahar dingin sudah terbentuk. Melihat kondisi di puncak Merapi, jelas masih potensial terjadi,” tuturnya.
(azh)