Museum KAA, saksi merdekanya bangsa Asia dan Afrika
A
A
A
Sindonews.com - Saat yang dinantinantikan itu tiba, kalender masehi menunjukkan tanggal 18 April 1955,cuaca cerah dan sejuk konon mengiringi hari bersejarah di Kota Bandung waktu itu.
Sejak pukul 07.00 WIB, kedua bahu Jalan Asia Afrika penuh orang yang berdiri berdesakan. Suasana meriah itu hadir untuk menyambut Konferensi Asia Afrika (KAA), di mana semua delegasi dari kawasan Asia-Afrika hadir guna memperjuangkan kemerdekaan negara-negara di belahan dunia yang masih dijajah bangsa kulit putih. Pada pukul 08.30 WIB, para delegasi keluar dari Hotel Homann dan Hotel Preanger secara berkelompok.
Mereka berjalan kaki menuju Gedung Merdeka dengan mengenakan pakaian nasional negara masing-masing. Suasana meriah semakin semarak tatkala ratusan orang sorak sorai dan tepuk tangan menyambut acara tersebut. Semua kenangan itu tetap ada. Momen bersejarah itu didokumentasikan dalam 7.000 koleksi Museum KAA. Jadi, bagi siapa pun yang mengunjungi museum tersebut, akan tahu tempatnya berpijak.
Kudrat (56), seorang guide Museum KAA mengaku, awalnya Gedung Merdeka merupakan warung kopi warga Tionghoa yang berdiri pada 1895 dengan dinding papan kayu yang khas. Pada 1926, rektor pertama Institut Teknologi Bandung (ITB) Wolff Schoemaker merenovasi gedung yang dibeli orang Belanda ini.
“Sentuhan gedung ini kental sekali dengan nuansa art deco, sangat modern pada masanya. Megahnya gedung merupakan efek visual dari lantainya yang terbuat dari marmer buatan Italia yang mengkilap,” kata Kudrat.
Gedung itu awalnya diberi nama Societit Concordia, tempat minum-minum dan berpesta kalangan atas orang Belanda. Lampu-lampu hias kristal yang tergantung terlihat gemerlapan dan masih bisa ditemukan sampai hari ini di gedung seluas 7.500 meter persegi tersebut. Arsitek AF Albert menambah sentuhan international style dengan bentuk bangunan melingkar dengan kanopi di sudut pertigaan Jalan Asia Afrika dan Jalan Cikapundung Timur. Pada 1949, gedung ini sempat dikuasai Jepang dengan nama Dai Toa Kaman yang dijadikan pusat kebudayaan.
Kepedulian masyarakat dan pemimpin asing akan gedung bersejarah ini mendorong Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmaja untuk mencetuskan Museum KAA dan berhasil diresmikan Presiden Soeharto pada 24 April 1980. Gedung Merdeka dan Museum KAA memiliki satu lantai dengan puluhan ruangan, satu balkon tiga ruangan, dan ruang bawah tanah yang masih dalam penelitian. Gedung ini berdiri megah di Jalan Asia Afrika dengan pintu samping di Jalan Cikapundung Timur dan Jalan Braga.
Menurut Kudrat, kunjungan masyarakat ke museum ini bisa mencapai 10.000 orang per bulan.Bangsa Afrika,seperti Kenya,Nigeria, Sudan,dan Mesir juga sering datang, termasuk juga warga Belanda, Australia, dan Amerika Serikat. Senior guide yang juga tim kreatif Museum KAA, Desmond Arian,mengatakan bahwa koleksi foto dan berbagai dokumentasi peristiwa KAA tersimpan rapi di dalam museum. Jumlahnya mencapai 7.000 koleksi,belum ditambah koleksi perpustakaannya.
Cetakan beberapa media massa kala itu menampilkan gambar hitam putih,tapi tidak mengurangi historis semangat bersatunya bangsa-bangsa melawan penjajahan. Kini, sudah 57 tahun waktu berlalu dan sejarah membuktikan setiap orang memiliki hak yang sama, bahkan bangsa kulit berwarna bisa memimpin dunia.
Tanpa adanya momen ini, Desmon menekankan, tidak akan ada sejarah Amerika Serikat dipimpin seorang afro-America bernama Barack Obama atau seorang bermata sipit, Ban Ki Moon, duduk di kursi tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), meski bangsa Asia paling lambat masuk ke organisasi ini. Museum KAA ini pun diharapkan terus mengembalikan spirit kemerdekaan segala bangsa hingga masa yang akan datang.(azh)
Sejak pukul 07.00 WIB, kedua bahu Jalan Asia Afrika penuh orang yang berdiri berdesakan. Suasana meriah itu hadir untuk menyambut Konferensi Asia Afrika (KAA), di mana semua delegasi dari kawasan Asia-Afrika hadir guna memperjuangkan kemerdekaan negara-negara di belahan dunia yang masih dijajah bangsa kulit putih. Pada pukul 08.30 WIB, para delegasi keluar dari Hotel Homann dan Hotel Preanger secara berkelompok.
Mereka berjalan kaki menuju Gedung Merdeka dengan mengenakan pakaian nasional negara masing-masing. Suasana meriah semakin semarak tatkala ratusan orang sorak sorai dan tepuk tangan menyambut acara tersebut. Semua kenangan itu tetap ada. Momen bersejarah itu didokumentasikan dalam 7.000 koleksi Museum KAA. Jadi, bagi siapa pun yang mengunjungi museum tersebut, akan tahu tempatnya berpijak.
Kudrat (56), seorang guide Museum KAA mengaku, awalnya Gedung Merdeka merupakan warung kopi warga Tionghoa yang berdiri pada 1895 dengan dinding papan kayu yang khas. Pada 1926, rektor pertama Institut Teknologi Bandung (ITB) Wolff Schoemaker merenovasi gedung yang dibeli orang Belanda ini.
“Sentuhan gedung ini kental sekali dengan nuansa art deco, sangat modern pada masanya. Megahnya gedung merupakan efek visual dari lantainya yang terbuat dari marmer buatan Italia yang mengkilap,” kata Kudrat.
Gedung itu awalnya diberi nama Societit Concordia, tempat minum-minum dan berpesta kalangan atas orang Belanda. Lampu-lampu hias kristal yang tergantung terlihat gemerlapan dan masih bisa ditemukan sampai hari ini di gedung seluas 7.500 meter persegi tersebut. Arsitek AF Albert menambah sentuhan international style dengan bentuk bangunan melingkar dengan kanopi di sudut pertigaan Jalan Asia Afrika dan Jalan Cikapundung Timur. Pada 1949, gedung ini sempat dikuasai Jepang dengan nama Dai Toa Kaman yang dijadikan pusat kebudayaan.
Kepedulian masyarakat dan pemimpin asing akan gedung bersejarah ini mendorong Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmaja untuk mencetuskan Museum KAA dan berhasil diresmikan Presiden Soeharto pada 24 April 1980. Gedung Merdeka dan Museum KAA memiliki satu lantai dengan puluhan ruangan, satu balkon tiga ruangan, dan ruang bawah tanah yang masih dalam penelitian. Gedung ini berdiri megah di Jalan Asia Afrika dengan pintu samping di Jalan Cikapundung Timur dan Jalan Braga.
Menurut Kudrat, kunjungan masyarakat ke museum ini bisa mencapai 10.000 orang per bulan.Bangsa Afrika,seperti Kenya,Nigeria, Sudan,dan Mesir juga sering datang, termasuk juga warga Belanda, Australia, dan Amerika Serikat. Senior guide yang juga tim kreatif Museum KAA, Desmond Arian,mengatakan bahwa koleksi foto dan berbagai dokumentasi peristiwa KAA tersimpan rapi di dalam museum. Jumlahnya mencapai 7.000 koleksi,belum ditambah koleksi perpustakaannya.
Cetakan beberapa media massa kala itu menampilkan gambar hitam putih,tapi tidak mengurangi historis semangat bersatunya bangsa-bangsa melawan penjajahan. Kini, sudah 57 tahun waktu berlalu dan sejarah membuktikan setiap orang memiliki hak yang sama, bahkan bangsa kulit berwarna bisa memimpin dunia.
Tanpa adanya momen ini, Desmon menekankan, tidak akan ada sejarah Amerika Serikat dipimpin seorang afro-America bernama Barack Obama atau seorang bermata sipit, Ban Ki Moon, duduk di kursi tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), meski bangsa Asia paling lambat masuk ke organisasi ini. Museum KAA ini pun diharapkan terus mengembalikan spirit kemerdekaan segala bangsa hingga masa yang akan datang.(azh)
()