Konflik agraria Banyuasin tertinggi

Selasa, 10 Januari 2012 - 08:49 WIB
Konflik agraria Banyuasin...
Konflik agraria Banyuasin tertinggi
A A A
Sindonews.com - Kabupaten Banyuasin dinilai memiliki potensi konflik lahan tertinggi di Provinsi Sumsel berdasarkan pemetaan Polda Sumsel. Banyuasin memiliki 10 potensi konflik fisik.

“Sengketa lahan saat ini menjadi isu yang terus berkembang dan membahayakan. Karena itu, atas dasar pemetaan yang dilakukan jajaran Polda Sumsel, Banyuasin termasuk wilayah yang berpotensi konflik. Setidaknya ada 10 potensi yang berhasil terdeteksi di sana,” ungkap Kapolda Sumsel Irjen Pol Dik Dik Mulyana Arief Mansur saat meninjau unit layanan masyarakat Satpas Satlantas di Polres Banyuasin, kemarin.

Mengenai kemungkinan mencuatnya potensi konflik lahan di wilayah hukum Sumsel, Dik Dik meminta jajaran kepolisian di tingkat daerah mampu meredam potensi tersebut dengan melakukan pendekatan dari hulu konflik. Penyelesaian permasalahan konflik juga harus melibatkan tokoh masyarakat, pemerintah kota/kabupaten, dan masyarakat desa supaya tidak berkembang menjadi konflik berujung anarkistis.

“Tingginya potensi konflik lahan di Sumsel harus diselesaikan dari akar permasalahan. Jangan sampai jajaran polres atau polsek baru turun setelah terjadi konflik fisik,”katanya.

Adapun ke-10 potensi konflik lahan yang terjadi di Banyuasin didominasi antara masyarakat tani dan perusahaan perkebunan yang disebabkan dugaan penyerobotan kepemilikan lahan. “Karena itu, kapolres beserta jajarannya harus mampu mengantisipasi potensi konflik supaya tidak meledak. Potensi konflik itu menyebar luas di wilayah Banyuasin, terutama wilayah kecamatan dengan luasan perkebunan yang tinggi,” kata dia.

Sedangkan,salah satu langkah yang disiapkan Polda Sumsel untuk meredam potensi konflik di antaranya akan dibangun pusat pelayanan kepolisian di beberapa kabupaten/ kota se-Sumsel. “Dengan semakin dekat polisi dengan masyarakat, kemampuan mengetahui berbagai konflik juga lebih cepat untuk diantisipasi,” tandas dia.

Sementara itu,Kapolres Banyuasin AKBP Ahmad Zaenuddin menilai situasi Kabupaten Banyuasin yang cukup kondusif saat ini bukan jaminan tidak akan terjadi konflik lahan.“ Justru Kabupaten Banyuasin yang didominasi wilayah perkebunan cukup berpotensi terjadinya konflik. Mengenai kondisi yang cukup kondusif saat ini, karena sudah adanya persamaan persepsi antara masyarakat dan pihak perkebunan. Karena itu harus diciptakan pemahaman sadar hukum di tengah masyarakat,”katanya.

Terpisah, Bupati Banyuasin Amiruddin Inoed terus mengupayakan penyelesaian lahan antara masyarakat dan pihak perkebunan melalui pendekatan musyawarah.“Karena peran utama pihak pemerintah yakni menjadi mediasi ketika terjadi konflik kepemilikan lahan.

Sementara, jika sudah terjadi tindakan anarkistis,hal itu menjadi domain pekerjaan para penegak hukum. Untuk meminimalisasi potensi itu, Pemkab mencanangkan pengaturan perda atas SPH dan SKT yang selama ini payung hukumnya belum tersedia,”tandasnya.

Kriminolog Sri Sulastri menilai konflik disebabkan proses pemekaran wilayah yang tidak taat administrasi pemerintahan. “Misalnya,Kabupaten Banyuasin yang merupakan pemekaran dari Musi Banyuasin (Muba) mengakibatkan penginventarisasi batas wilayah dan administrasi pemerintahan desa menjadi lemah,” ungkapnya.

Hal tersebut membuka ruang kepala desa (kades) dan pemerintah setingkatnya mengeluarkan keabsahan tanah, seperti surat penguasaan hak (SPH) dan surat keterangan tanah (SKT) dengan tidak memiliki administrasi lengkap.

Akibatnya, banyak SPH dan SKT terbit tanpa inventaris pemerintah kecamatan hingga kabupaten. “Konflik banyak dipicu akibat proses pemekaran yang tidak memiliki administrasi dan pendataan kepemilikan lahan di pemerintah kabupaten. Jadi, banyak SPH/ SKT yang terbit saling tumpang tindih bahkan berganda,” katanya

Komprehensif
Pengamat hukum Universitas Sriwijaya (Unsri) Prof Amzulian Rifai SH.LLM.Ph.D menilai persoalan konflik lahan membutuhkan itikad baik pemerintah, perusahaan dan masyarakat.

“Konflik pecah karena ada hak-hak yang terganggu. Seiring perjalanan waktu jika tuntutan dipenuhi maka menciptakan rasa percaya masyarakat kepada pemerintahan dan hukum,” ujarnya.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri) ini menuturkan, berlakunya hukum formal atau hukum formal di Indonesia seharusnya tidak kaku dalam memandang sebuah masalah.

“Pemerintah dapat melakukan langkah harmonisasi dan diharap disambut secara baik oleh perusahaan dan masyarakat lokal. Dengan catatan, dalam menjaga iklim investasi sekalipun, pemerintah dapat memperbaiki sistem pertanahan,” tukasnya.

Persoalan Sodong, kata dia, dapat menjadi pembelajaran pemerintah dan masyarakat tidak bisa disalahkan. “Kunci pemecahannya, pemerintah harus berani melakukan perbaikan sistem pertanahan sebelum sanggup melakukan reformasi agraria seperti yang dilakukan oleh negara maju di dunia,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat sosial politik dari Unsri Dr Ardian Saptawan Msi setuju sistem pertanahan harus diperbaiki. Pemerintah, kata Ardian, perlu melakukan pendekatan kepada masyarakat secara langsung dan mengakomodir aspirasi yang berkembang.

“Sebelum izin diberikan, pemerintah harus turun duluan ke lapangan secara langsung. Pertama, memastikan tanah tersebut tidak bermasalah, memiliki peta yang jelas, dan melakukan pendekatan sosial dengan masyarakat lokal,” ujar dia.

Menurutnya, pemerintah juga harus melakukan evaluasi manajemen secara konsisten. “Karena kebijakan pemerintah menjadi ujung tombak bagi masyarakat,” pungkasnya.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0656 seconds (0.1#10.140)