Sejarah Malioboro, Jalan Imajiner yang Tak Henti Berdenyut

Senin, 16 Maret 2020 - 07:03 WIB
Sejarah Malioboro, Jalan Imajiner yang Tak Henti Berdenyut
Sejarah Malioboro, Jalan Imajiner yang Tak Henti Berdenyut
A A A
Pulang ke kotamu,
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selasa makna
Terhanyut aku akan nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja…


Petikan lagu Kla Project yang pertama kali muncul pada 1990 ini seakan langsung menghipnosis pencinta musik akan keindahan Yogyakarta. Sebuah kota sejarah yang menjadi kota budaya, pariwisata, kota pelajar, dan tak henti bertransformasi, menjadi sederet magnet baru yang lain.

Sebagai kota sarat sejarah, Yogyakarta memiliki sangat banyak tempat yang mengingatkan akan peristiwa-peristiwa penting di masa lampau. Namun di antara setumpuk destinasi budaya itu, ada yang tak boleh ditinggalkan kala menjejak Yogyakarta, yakni Jalan Malioboro.

Banyak musisi dan budayawan yang memiliki kenangan di jalan ikonik Kota Yogya ini. Tak hanya Katon Bagaskara yang tergabung dalam Kla Project, tetapi juga ada Emha Ainun Najib, Ebiet G Ade, dan Jamphe Johnson.

Tidak hanya itu, aneka kuliner malam seperti nasi gudeg seakan menambah suasana romantis di jalan yang tepat membujur dari utara ke selatan menuju Keraton Yogyakarta ini sangat hidup.

Romantisme suasana Malioboro juga menjadikan Pemerintah Kota Yogyakarta terus melakukan penataan hingga konsep semipedestrian kawasan Malioboro dicanangkan. Kemacetan yang mulai sering terjadi, menjadikan agenda uji coba semipedestrian Malioboro semakin kuat.

Dengan demikian, wisatawan bisa dengan leluasa menikmati jantung kota Yogyakarta mulai seberang rel sisi timur Stasiun Tugu hingga perempatan Kantor Pos Besar Yogyakarta.

Belum lagi dengan atraksi seni. Di jalur ini, pengunjung bisa menikmati pengamen jalanan, pelukis, hingga tukang pijat keliling. Bahkan di beberapa sudut, musik calung menggema dengan lagu-lagu hit yang asyik dinikmati.

Pengamat pariwisata dari Akademi Pariwisata Yogyakarta Meitulu Hulu mengatakan, Malioboro merupakan kawasan bersejarah. Untuk menjadikan konsep heritage, untuk menata Malioboro dibutuhkan langkah khusus.

Konsep Pemda DIY bersama Pemkot Yogyakarta dengan uji coba semipedestrian merupakan langkah tepat. Di luar negeri, tandas Meitulu, kota-kota tua dan bersejarah dengan konsep pedestrian sudah hal yang biasa. "Karena Yogyakarta ini merupakan kota pertumbuhan maka masih dianggap luar biasa. Namun, ini menarik dengan konsep semipedestrian,“ ungkapnya.

Dalam agenda semipedestrian, sudah banyak dipuji wisatawan. Sekian wisatawan semakin bebas menikmati Malioboro tanpa lalu kendaraan dan memacetkan, keunikan Malioboro semakin membuat nyaman dengan pedestrian. “Malioboro menjadi terlihat nyaman, wisatawan asyik berjalan di trotoar yang lebar, begitu juga dengan tempat duduknya yang nyaman untuk santai, “ jelasnya.

Malioboro saat ini juga dilengkapi dengan guiding block. Langkah ini menjadikan jalan ini ramah difabel. Selain itu penempatan CCTV di sepanjang jalur dan speaker menjadi kawasan ini makin aman dan nyaman. Imbauan kebersihan seperti pola penyadaran membuang sampah tak henti dilakukan. Perlahan, kesadaran pengunjung dan masyarakat lokal juga tumbuh.

Mengutip okezone.com, dalam bahasa Sanskerta, Malioboro bermakna karangan bunga. Namun, ada sumber lain mengungkapkan bahwa Malioboro adalah ucapan lain dari nama seorang kolonial Inggris yakni Marlborough yang pernah tinggal di Yogyakarta pada 1811–1816. Pendirian Jalan Malioboro bertepatan dengan pendirian Keraton Yogyakarta.

Awalnya Jalan Malioboro ditata sebagai sumbu imajiner antara pantai selatan (Pantai Parangkusumo)-Keraton Yogyakarta-Gunung Merapi. Malioboro mulai ramai pada era kolonial 1790 saat pemerintah Belanda membangun Benteng Vredeburg pada 1790 di ujung selatan jalan ini.

Tak hanya membangun benteng, Belanda juga membangun Dutch Club pada 1822, The Dutch Governor’s Residence pada 1830, Java Bank dan Kantor Pos tak lama setelahnya. Setelah itu, Malioboro berkembang kian pesat karena perdagangan antara orang Belanda dan pedagang Tionghoa. Pada 1887, Malioboro dibagi menjadi dua dengan didirikannya tempat pemberhentian kereta api yang kini bernama Stasiun Tugu Yogya.

Jalan Malioboro juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di sisi selatan Jalan Malioboro, pernah terjadi pertempuran sengit antara pejuang Tanah Air melawan pasukan Belanda yang ingin menduduki Yogyakarta. Pertempuran itu kemudian dikenal dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, yakni keberhasilan pasukan Merah Putih menduduki Yogya selama enam jam dan membuktikan kepada dunia bahwa angkatan perang Indonesia tetap ada.

Hingga kini, Malioboro terus berdenyut seolah tak pernah mati. Dengan tetap mempertahankan konsep aslinya dahulu, Malioboro jadi pusat kehidupan masyarakat Yogyakarta. Tempat-tempat strategis seperti Kantor Gubernur DIY, Gedung DPRD DIY, Pasar Induk Beringharjo, hingga Istana Presiden Gedung Agung juga berada di kawasan ini.

Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Malioboro Ekwanto mengungkapkan, pihaknya berusaha menata jawaban Malioboro lebih nyaman. Langkah yang dilakukan antara lain dengan memberikan fasilitas penerangan, kebersihan, dan pertamanan. “Kita menegur secara halus melalui pengeras suara dengan dukungan CCTV. Misalnya rombongan kaus biru tolong buang sampah di tempatnya, mari bersama menjaga Malioboro tetap bersih dan nyaman dikunjungi. Dan ini membuat rombongan tersadar membuang sampah karena terpantau CCTV,“ terangnya.

Pihaknya juga terus berusaha keras menjadikan ikon Yogyakarta ini tetap menjadi kawasan yang dinikmati wisatawan. Upaya semipedestrian juga diharapkan menjadikan wisatawan lebih nyaman. Selain itu, juga menjadikan kawasan Malioboro bernapas dari kemacetan kendaraan yang setiap hari terjadi. (Suharjono)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.4987 seconds (0.1#10.140)