Rumah Tua Raden Saleh Menjawab Tantangan Kedokteran

Jum'at, 14 Februari 2020 - 06:27 WIB
Rumah Tua Raden Saleh Menjawab Tantangan Kedokteran
Rumah Tua Raden Saleh Menjawab Tantangan Kedokteran
A A A
JAKARTA - Taman luas dengan rerumputan hijau dan pepohonan rindang serta nyanyian kicauan burung menjadi atmosfer yang menenangkan di tengah impitan gedung-gedung tinggi pencakar langit Ibu Kota. Taman tersebut dikelilingi oleh bangunan rawat inap yang usianya sudah tua namun tetap terawat.

Keunikan lokasi inilah yang diangkat Rumah Sakit (RS) PGI Cikini dengan motonya A Garden Hospital with Loving Touch. Berjalan ke depan, tampak sebuah bangunan bergaya kolonial berlantai dua di mana bagian plafonnya sudah terlihat rusak dengan cat yang memudar. Itulah kediaman si pelukis naturalis Raden Saleh. Bangunan di pinggir Jalan Raden Saleh Raya, Jakarta Pusat itu dibiarkan seperti aslinya yang dibeli pada Juni 1897. “Karena ini cagar budaya maka tidak boleh sembarangan direnovasi. Harus mendapat izin dari pemerintah provinsi di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta,” beber dr Alphinus R Kambodji, plt direktur ketua RS PGI Cikini.

Tidak main-main, pihakrumah sakit pernah mendapat teguran lantaran mengecat bangunan tersebut tanpa mengantongi izin. Jadilah gedung tua itu tetap berdirikukuh walau sudah lapuk dimakan usia. Namun, justru disitulah kelebihan rumah sakit yang melestarikan bangunan sejarah tersebut. Tidak sedikit wisatawan asing, khususnya dari Negeri Belanda, yang sengaja datang untuk melihat bangunan warisan kolonial itu. “Pernah ada orang Belanda yang datang dan melihat bangunan rawat inap, dia bilang masih seperti dulu karena tidak banyak berubah. Kebetulan dia lahir di rumahsakit ini dan bapaknya dulu juga dokter di sini,” beber Mely, kepala humas RS PGI Cikini.

Ya, PGI Cikini merupakan salah satu rumah sakit tertua di Indonesia, yang berdiri pada 1898. Dari keterangan dr Alphinus, cikal bakal RS ini lahir ketika pada 15 Maret 1895, dimana seorang pendeta asal Belanda bernama Dominee Cornelis de Graaf dan istrinya Adriana J de Graaf Kooman mendirikan Vereeniging Voor Ziekenverpleging In Indie (perkumpulan orang sakit di Indonesia). “Keduanya mencari dana untuk mengawali pekerjaan pelayanan ini dan memperoleh sumbangan senilai 100.000 gulden dari Ratu Emma (Ratu Belanda saat itu),” jelasnya.

Dari sumbangan ini, lantas dibelilah rumah Raden Saleh. Kemudian, kegiatan pelayanan kesehatan dialihkan ke gedung ini. “Tahun 1989, pelayanan ditingkatkan menjadi RS dan diresmikan sebagai Rumah Sakit Diakones (pelayanan)yang pertama di Indonesia,” ungkap dr Alphinus. Mengingat sebagian besar sumbangan yang diterima berasal dari Ratu Emma, maka disematkanlah nama dengan Koningin Emma Ziekenhuis (Rumah Sakit Ratu Emma).

RS ini dulunya sempat dijadikan rumah sakit untuk Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Yayasan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini kemudian diubah namanya menjadi Yayasan Rumah Sakit DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia) Tjikini. Barulah pada 31 Maret 1989, Yayasan RS DGI Tjikini disempurnakan menjadi Yayasan Kesehatan PGI Cikini hingga kini.

Selama 122 tahun pun bukanlah waktu yang singkat bagi RS ini untuk terus mempertahankan eksistensinya di tengah maraknya persaingan rumah sakit swasta modern yang semakin ketat, di mana mereka berlomba-lomba menghadirkan layanan terpadu ataupun teknologi teranyar. Menanggapi hal ini, dr Inolyn Pandjaitan SpPD-KHOM tidak menampik bahwa PGI Cikini memang membutuhkan banyak perbaikan di sana-sini. Merekapun tengah berusaha untuk menjawab tantangan modernisasi dalam bidang medis. Kemajuan teknologi di dunia medis memang tidak bisa dibendung. RS PGI Cikini pun harus menyesuaikan diri. “Kami memang sedang mengusahakan itu bisa terlihat dari layanan dan fasilitas yang ada. Misalnya kami punya aplikasi sendiri yang memudahkan pasien reservasi online,” tutur Plt Direktur Medik RS PGI Cikini ini.

Dengan lokasi yang strategis dan cukup luas di tengah kota, tentu menjadi nilai plus tersendiri bagi RS ini. “Kami masih perlu kerja sama dengan pihak lain untuk mengembangkan rumah sakit ini,” timpal dr Alphinus.

Kendati digempur oleh modernisasi rumah sakit baik di tingkat lokal maupun negeri jiran, PGI Cikini tidak serta-merta ngotot untuk mengejar profit. “Kami berangkat dari Rumah Sakit Diakones, karenanya tidak berorientasi keuntungan, tapi lebih menitikberatkan pada pelayanan. Di sini kami mengakomodasi pasien BPJS,” tandas dr Inolyn.

Layanan Didukung Guru Besar

Pelayanan, mungkin hal itu pula yang menjadi resep bertahannya PGI Cikini sampai sekarang yang tidak lekang oleh waktu. Usia rumah sakit boleh tua. Demikian bangunannya boleh lapuk dimakan usia. Namun, pelayanan yang diberikan harus tetap prima. Berpegang pada prinsip ini, RSPGI Cikini sibuk berbenah diri dan menjawab tantangan zaman di bidang kedokteran.

Salah satunya dengan menghadirkan tiga layanan unggulan, yaitu ginjal dan hipertensi, hematologi dan onkologi, serta jantung dan pembuluh darah. Selain itu, rumah sakit ini juga memiliki layanan di antaranya hemodialisa, CAPD, laser batu ginjal/ESWL, laboratorium katerisasi, HCU, dan ICU. Tidak hanya menonjolkan layanan unggulan, rumah sakit yang mendapatkan akreditasi terakhir Paripurna ini, juga dijalankan oleh tenaga medis yang andal. “Ada 32 dokter umum, 51 dokter spesialis, dan 37 subspesialis, serta 229 perawat dan 14 tenaga bidan,” kata dr Alphinus.

Yang tidak kalah menarik adalah jajaran guru besar yang menjadi keunggulan rumah sakit lawas tersebut. Mereka diantaranya Prof Dr dr Endang Susalit SpPD KGH dan Prof Wiguno di bidang penyakit dalam ginjal hipertensi. Dibagian hematologi, ada Prof Drdr Karmel Tambunan SpPDKHOM.

Beberapa guru besar lainnya meliputi reumatologist, pulmonologist, internist-endocrinologist, internist-cardiologist, dan sebagainya. Begitu banyak ahli di RS ini membuat PGI Cikini juga menjadi center of learning untuk para tenaga medis. Pihak RS PGI juga beberapa kali mengundang pembicara tamu bahkan dari luar negeri untuk berbagi informasi terkini atau saling bertukar ilmu. Ke depan, RS ini menargetkan menjadi rumah sakit HOLISTIC yang merupakan kepanjangan dari Hospital based on Love with Integrity, Solidarity, Trusted, and Integrated Care. PGI Cikini juga bermimpi memiliki layanan Palliative Care, yaitu sebuah day care bagi para lanjut usia di mana di tempat ini pasien lansia bisa menjadi wadah bagi kaum sepuh ini memiliki hidup yang lebih berkualitas.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5688 seconds (0.1#10.140)