Penuh Khayalan Keraton Dadakan, Waspadai Penipuan
A
A
A
Geger pendirian keraton atau kerajaan baru di sejumlah daerah dalam beberapa waktu terakhir tak perlu terlalu dirisaukan. Rendahnya dukungan historis, politis, dan data logis, menjadikan fenomena ini justru kental akan ilusi kehidupan serta rawan menjadi sarana praktik penipuan.
Meski demikian, masyarakat perlu waspada, khususnya ketika mendapatkan ajakan-ajakan untuk bergabung dalam pendirian keraton atau kerajaan. Sikap kritis dan logis pun harus dikedepankan agar jangan sampai menjadi korban.
Hasil penelusuran menunjukkan, kemunculan Keraton Agung Sejagat di Purworejo (Jawa Tenaga) dan Sunda Empire Earth Empire di Bandung (Jawa Barat) tanpa dilandasi sejarah yang kuat. Bahkan pemimpin-pemimpin mereka seolah berhalusinasi saat menyampaikan program dan harapannya. Penyelidikan polisi juga menguatkan bahwa dokumen-dokumen untuk pendirian kerajaan ternyata ilegal alias palsu.
Wakil Ketua Komisi II DPR Yaqut Cholil Quomas juga menilai munculnya kerajaan-kerajaan baru tersebut tidak perlu ditanggapi serius. (Baca: Soal Kemunculan Kerajaan-Kerajaan, Jokowi: Itu Hiburan Saja)
“Anggap saja orang-orang frustrasi yang ingin mencari jalan keluar atas problem hidup sendiri. Meskipun, tidak tertutup kemungkinan ada yang memainkan ini,” tutur politikus PKB ini.
Kepentingan yang dimaksud, kata Yaqut, misalnya muncul untuk menghadapi terus bergeraknya kelompok pro-khilafah dari eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau dari kelompok-kelompok lain. “Kerajaan-kerajaan ini seolah-olah menjadi jawaban bahwa menyatukan seluruh negara dalam satu kekhalifahan itu cuma gagasan konyol. Karena konyol, dijawablah dengan kekonyolan juga,” kata Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor ini.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily meminta masyarakat waspada terhadap fenomena munculnya kerajaan atau kekaisaran baru. Masyarakat jangan sampai terbuai janji-janji atau harapan-harapan yang berlebihan. “Misalnya bahwa jika masuk kedalam kerajaan-kerajaan mereka akan menciptakan satu harapan baru yang di luar rasionalitas dan logika commonsense,” ujarnya.
Kendati belum terlalu meresahkan, Ace meminta pemerintah mendalami apa motif di balik munculnya kerajaan-kerajaan baru tersebut. Sebab, pemimpin mereka memiliki kemampuan untuk menggerakkan satu atau dua orang bahkan lebih loyalis dengan harapan-harapan baru yang ditawarkan.
Pendalaman tak hanya dari sisi psikologis dan sosiologis, namun juga aspek politis. Menurut dia, selama pemimpin dan anggota kerajaan itu masih memenuhi kesetiaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak merugikan masyarakat, pemerintah cukup melakukan penyelesaian persuasif.
Akibat Pemahaman Sejarah Minim
Budayawan Yogyakarta Djoko Dwiyanto mengatakan, fenomena munculnya kerajaan-kerajaan baru dibeberapa tempat ini merupakan upaya mewujudkan keinginan-keinginan yang tidak sesuai dengan kehidupan sehari hari. Muaranya muncul halusinasi. Gampangnya masyarakat percaya pada ide keraton atau kerajaan baru karena selama ini mereka kurang mengerti sejarah. “Padahal sejarah ada sebuah cerita yang runtut dan tidak terputus,” paparnya.
Di antara tidak adanya ikatan sejarah dalam ide pendirian itu antara lain pada pernyataan pemimpin Keraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo Toto Santoso yang mengaku masih keturunan Kerajaan Majapahit. Toto mengaku berdirinya Keraton Agung Sejagat itu untuk menunaikan janji 500 tahun sejak runtuhnya Kerajaan Majapahit, yaitu pada 1518. “Mereka menciptakan simbol tanpa memperhatikan ikatan sejarah kerajaan,” ungkapKetua Dewan Kebudayaan DIY yang juga dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UGM ini.
Ketua Harian Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) KPH Eddy Wirabhumi juga mempertanyakan keberadaan Keraton Agung Sejagat di Purworejo. Keberadaannya dinilai tidak memiliki sejarah yang dapat dipakai dasar. “Menurut saya tidak usah diperbincangkan lebih lanjut karena akan membuang energi,”kata Eddy, Selasa (14/1). (Baca juga: Raja dan Permaisuri Keraton Agun Sejagat Bukan Suami Istri, Terntawa Warga DKI)
Keraton Agung Sejagat juga berbau mistis dan tidak masuk akal. MAKN pun tak akan mengakui keraton baru ini karena memiliki aturan baku dimana yang menjadi anggota adalah raja, sultan, pemangkuadat, dan lainnya yang memilikibasis historis kuat. MAKN pun memiliki tekad berkontribusi kepada bangsa dan negara masak ini dan masa mendatang.
Sebelumnya, masyarakat Purworejo dihebohkan dengan keraton baru yang mendadak berdiri. Terlebih kerajaan dengan nama Keraton Agung Sejagat itu mengklaim memiliki daerah kekuasaan seluruh negara di dunia. Keraton yang berdiri di Desa PogungJurutengah, Kecamatan Bayan, Purworejo itu dipimpin seorang raja bergelar Rangkai Mataram Agung. Sebagai pendamping adalah istrinya yang biasa dipanggil Kanjeng Ratu. Keraton Agung Sejagat kini memiliki 425 pengikut setia.
Meski lemah secara historis ,menurut sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Drajat Trikartono, fenomenaterkait seperti ini diprediksiakan terus muncul di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa. Pengusung ide ini menilai pemimpin Jawa urutannya dari Majapahit. Dari tinjauan sosiologis, keberadaannya terkait fatalisme atau tragedikebudayaan. “Ini sebenarnya (seorang) fatalis saja, ini satu keyakinan dan kepercayaan. Kalau dibuktikan secara akademis memang tidak bisa,” kata Drajat. Agar tidak terus muncul, langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menjunjung aspek rasionalitas dan membangun pendidikan.
Kapolda Jateng Irjen Rycko Amelza Dahniel mengatakan, lantaran ada penolakan warga polisi akhirnya membentuk tim untuk melakukan penyelidikan. Apalagi, dari sisi yuridis juga diduga terjadi praktik penipuan terhadap pengikut untuk menyetorkan sejumlah uang. Selain itu polisi menjerat Toto dengan pasal menebar kebohongan ke publik.
Gubernu Jateng Ganjar Pranowo meminta masyarakat tidak sembarang mendirikan kerajaan atau keraton. Diamewajibkan seluruh masyarakat yang ingin mendirikan kerajaan untuk melapor.
Selain di Purworejo, kabar berdirinya keraton juga muncul di Sukoharjo, yakni Keraton Pajang dan Keraton Djipang diCepu, Blora. Namun, kedua kerajaan ini telah mengantongi izin resmi dari pemerintah.
Di Bandung juga muncul Kelompok Sunda Empire atau Kekaisaran Sunda alias Kekaisaran Matahari. Sunda Empire menjadi perbincangan di media sosial karena pernah memakai sarana dan prasarana Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Kepala Seksi Hubungan Eksternal Kelembagaan UPI Yana Setiawan mengatakan seluruh sivitas akademika UPI tidak terkait dengan organisasi Sunda Empire.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengimbau seluruh warga Jabar mengedepankan logika dan akal sehat menyikapifenomena bermunculannyakomunitas dengan latar belakang yang tidak jelas. “Jangan percaya terhadap hal-hal yang tidak masuk ke dalamlogika akal sehat,” ujar Emil.
Meski demikian, masyarakat perlu waspada, khususnya ketika mendapatkan ajakan-ajakan untuk bergabung dalam pendirian keraton atau kerajaan. Sikap kritis dan logis pun harus dikedepankan agar jangan sampai menjadi korban.
Hasil penelusuran menunjukkan, kemunculan Keraton Agung Sejagat di Purworejo (Jawa Tenaga) dan Sunda Empire Earth Empire di Bandung (Jawa Barat) tanpa dilandasi sejarah yang kuat. Bahkan pemimpin-pemimpin mereka seolah berhalusinasi saat menyampaikan program dan harapannya. Penyelidikan polisi juga menguatkan bahwa dokumen-dokumen untuk pendirian kerajaan ternyata ilegal alias palsu.
Wakil Ketua Komisi II DPR Yaqut Cholil Quomas juga menilai munculnya kerajaan-kerajaan baru tersebut tidak perlu ditanggapi serius. (Baca: Soal Kemunculan Kerajaan-Kerajaan, Jokowi: Itu Hiburan Saja)
“Anggap saja orang-orang frustrasi yang ingin mencari jalan keluar atas problem hidup sendiri. Meskipun, tidak tertutup kemungkinan ada yang memainkan ini,” tutur politikus PKB ini.
Kepentingan yang dimaksud, kata Yaqut, misalnya muncul untuk menghadapi terus bergeraknya kelompok pro-khilafah dari eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau dari kelompok-kelompok lain. “Kerajaan-kerajaan ini seolah-olah menjadi jawaban bahwa menyatukan seluruh negara dalam satu kekhalifahan itu cuma gagasan konyol. Karena konyol, dijawablah dengan kekonyolan juga,” kata Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor ini.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily meminta masyarakat waspada terhadap fenomena munculnya kerajaan atau kekaisaran baru. Masyarakat jangan sampai terbuai janji-janji atau harapan-harapan yang berlebihan. “Misalnya bahwa jika masuk kedalam kerajaan-kerajaan mereka akan menciptakan satu harapan baru yang di luar rasionalitas dan logika commonsense,” ujarnya.
Kendati belum terlalu meresahkan, Ace meminta pemerintah mendalami apa motif di balik munculnya kerajaan-kerajaan baru tersebut. Sebab, pemimpin mereka memiliki kemampuan untuk menggerakkan satu atau dua orang bahkan lebih loyalis dengan harapan-harapan baru yang ditawarkan.
Pendalaman tak hanya dari sisi psikologis dan sosiologis, namun juga aspek politis. Menurut dia, selama pemimpin dan anggota kerajaan itu masih memenuhi kesetiaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak merugikan masyarakat, pemerintah cukup melakukan penyelesaian persuasif.
Akibat Pemahaman Sejarah Minim
Budayawan Yogyakarta Djoko Dwiyanto mengatakan, fenomena munculnya kerajaan-kerajaan baru dibeberapa tempat ini merupakan upaya mewujudkan keinginan-keinginan yang tidak sesuai dengan kehidupan sehari hari. Muaranya muncul halusinasi. Gampangnya masyarakat percaya pada ide keraton atau kerajaan baru karena selama ini mereka kurang mengerti sejarah. “Padahal sejarah ada sebuah cerita yang runtut dan tidak terputus,” paparnya.
Di antara tidak adanya ikatan sejarah dalam ide pendirian itu antara lain pada pernyataan pemimpin Keraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo Toto Santoso yang mengaku masih keturunan Kerajaan Majapahit. Toto mengaku berdirinya Keraton Agung Sejagat itu untuk menunaikan janji 500 tahun sejak runtuhnya Kerajaan Majapahit, yaitu pada 1518. “Mereka menciptakan simbol tanpa memperhatikan ikatan sejarah kerajaan,” ungkapKetua Dewan Kebudayaan DIY yang juga dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UGM ini.
Ketua Harian Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) KPH Eddy Wirabhumi juga mempertanyakan keberadaan Keraton Agung Sejagat di Purworejo. Keberadaannya dinilai tidak memiliki sejarah yang dapat dipakai dasar. “Menurut saya tidak usah diperbincangkan lebih lanjut karena akan membuang energi,”kata Eddy, Selasa (14/1). (Baca juga: Raja dan Permaisuri Keraton Agun Sejagat Bukan Suami Istri, Terntawa Warga DKI)
Keraton Agung Sejagat juga berbau mistis dan tidak masuk akal. MAKN pun tak akan mengakui keraton baru ini karena memiliki aturan baku dimana yang menjadi anggota adalah raja, sultan, pemangkuadat, dan lainnya yang memilikibasis historis kuat. MAKN pun memiliki tekad berkontribusi kepada bangsa dan negara masak ini dan masa mendatang.
Sebelumnya, masyarakat Purworejo dihebohkan dengan keraton baru yang mendadak berdiri. Terlebih kerajaan dengan nama Keraton Agung Sejagat itu mengklaim memiliki daerah kekuasaan seluruh negara di dunia. Keraton yang berdiri di Desa PogungJurutengah, Kecamatan Bayan, Purworejo itu dipimpin seorang raja bergelar Rangkai Mataram Agung. Sebagai pendamping adalah istrinya yang biasa dipanggil Kanjeng Ratu. Keraton Agung Sejagat kini memiliki 425 pengikut setia.
Meski lemah secara historis ,menurut sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Drajat Trikartono, fenomenaterkait seperti ini diprediksiakan terus muncul di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa. Pengusung ide ini menilai pemimpin Jawa urutannya dari Majapahit. Dari tinjauan sosiologis, keberadaannya terkait fatalisme atau tragedikebudayaan. “Ini sebenarnya (seorang) fatalis saja, ini satu keyakinan dan kepercayaan. Kalau dibuktikan secara akademis memang tidak bisa,” kata Drajat. Agar tidak terus muncul, langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menjunjung aspek rasionalitas dan membangun pendidikan.
Kapolda Jateng Irjen Rycko Amelza Dahniel mengatakan, lantaran ada penolakan warga polisi akhirnya membentuk tim untuk melakukan penyelidikan. Apalagi, dari sisi yuridis juga diduga terjadi praktik penipuan terhadap pengikut untuk menyetorkan sejumlah uang. Selain itu polisi menjerat Toto dengan pasal menebar kebohongan ke publik.
Gubernu Jateng Ganjar Pranowo meminta masyarakat tidak sembarang mendirikan kerajaan atau keraton. Diamewajibkan seluruh masyarakat yang ingin mendirikan kerajaan untuk melapor.
Selain di Purworejo, kabar berdirinya keraton juga muncul di Sukoharjo, yakni Keraton Pajang dan Keraton Djipang diCepu, Blora. Namun, kedua kerajaan ini telah mengantongi izin resmi dari pemerintah.
Di Bandung juga muncul Kelompok Sunda Empire atau Kekaisaran Sunda alias Kekaisaran Matahari. Sunda Empire menjadi perbincangan di media sosial karena pernah memakai sarana dan prasarana Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Kepala Seksi Hubungan Eksternal Kelembagaan UPI Yana Setiawan mengatakan seluruh sivitas akademika UPI tidak terkait dengan organisasi Sunda Empire.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengimbau seluruh warga Jabar mengedepankan logika dan akal sehat menyikapifenomena bermunculannyakomunitas dengan latar belakang yang tidak jelas. “Jangan percaya terhadap hal-hal yang tidak masuk ke dalamlogika akal sehat,” ujar Emil.
(ysw)