Gedung Kembar di Purwakarta, Eksotisme Masa Lalu yang Masih Abadi
A
A
A
Sisa-sisa eksotisme masih tampak kentara dari dua bangunan cagar budaya di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Berlokasi di Jalan KK Singawinata, kedua bangunan yang dinamai Gedung Kembar itu seolah ingin bercerita dan menyeret alam bawah sadar kita tentang romantisme tempo dulu. Pikiran kita seolah masuk ke lorong waktu hingga menjumpai suasana di lokasi itu pada tahun 1920-an
Entah siapa yang pertama kali menamainya gedung kembar itu. Mungkin karena konstruksi sebangun serta desain sama, maka dinamainya Gedung Kembar. Kedua gedung itu masih berdiri kokoh dan menjadi pintu masuk ke areal Statsiun Kereta Api Purwakarta. Sepintas ibarat gapura besar menyambut para penumpang yang hendak bepergian menggunakan kereta api.
Aura eksotisme itu pun secara cerdas ditangkap oleh pemerintah setempat dengan menjadikannya sebagai salah cagar budaya. Bahkan, di sekitaran Gedung Kembar acapkali digelar beragam acara kesenian, terutama saat akhir pekan.
Pagelaran kesenian itu pun dipadu padankan dengan wisata kuliner di sepanjang Jalan KK Singawinta. Tak heran banyak warga dari dalam luar daerah berjubel di sekitaran Gedung Kembar. Banyak di antara mereka larut dalam suasana malam Purwakarta sembari menikmati kuliner yang dijajakan serta pagelaran kesenian. Apalagi lokasi tersebut tidak begitu jauh dari Air Mancur Sri Baduga, sehingga sangat mudah dijangkau dari berbagai arah.
Cerita ekostisme dan romantisme yang melekat pada Gedung Kembar di masa lalu, tentunya tidaklah berlebihan. Setidaknya, menurut penuturan sejarawan Purwakarta, Ahmad Said Widodo, Gedung Kembar memang menyimpan banyak cerita. Meskipun tidak diketahui nama asli Gedung Kembar, namun menilik dari desain arsitekturnya bergaya kolonial tropis.
Desain seperti itu lebih tua dari art decoration yang muncul setelah tahun 1940-an. Sebab bangunan itu dibangun bertepatan dengan pembanguna rel kereta api yang menghubungkan Batavia-Purwakarta-Bandung, oleh pemerintah kolonial Belanda di awal abad 20.
Berdasarkan sejumlah literatur yang dimilikinya, Gedung Kembar berfungsi semacam home stay bagi Gubernur Jenderal dan pejabat penting Hindia Belanda kala itu. “Jadi para pejabat Belanda yang datang ke Purwakarta atau ke Bandung, pasti transitnya di Gedung Kembar. Ya semacam tempat peristirahatan,”ungkap Said.
Menurut dia, indikasi sebagai tempat peristirahatan sangatlah kuat, karena Stasiun KA Purwakarta menjadi tempat pengisian bahan bakar dan air lokomotif. Selama waktu pengisian itu para pejabat Kolonial Belanda melepas lelah selama perjalanan di Gedung Kembar. Selain itu, dulu di dalam Gedung Kembar terdapat mini bar sebagai fasilitas bagi para pejabat itu.
“Tak jarang mereka menikmati suasana malam di sekitar Gedung Kembar yang eksotis. Mungkin saja Gedung Kembar pun menjadi saksi bisu banyaknya cerita romantis dari orang-orang Belanda pada waktu itu. Apalagi suasana di sekitar itu cukuplah indah. Suasana di dalam pun terasa sejuk meski tak pasang AC. Sebab sudah menjadi karakter bangunan Belanda selalu memiliki pintu jendela tinggi dan besar. Langit-langit pun juga dibuat tinggi sehingga sirkulasi udara sangat maksimal,”ungkapnya.
Rupanya cerita romantisme juga melekat pada warga pribumi. Dulu antara tahun 1946-1980 an, di sekitar salah satu pelataran Gedung Kembar terdapat warung makanan dengan meja dan bangku panjang. Warga Purwakarta sering menyantap makanan di tempat itu. Terlebih sempat pula ada terminal oplet yang lokasinya tidak begitu jauh dari Gedung Kembar.
“Baik warga maupun menumpang kereta api dan oplet selalu menuju tempat kuliner itu untuk mengisi perut kosong. Saking nikmatnya menyantap makanan sehingga menimbulkan semacam bunyi berdecak, dalam istilah Sunda disebut ceplak. Maka di lokasi itu dinamailah Ceplak,” terangnya.
Seiring dengan kemerdekaan Republik Indonesia, Gedung Kembar pun telah berganti-ganti fungsi. Tidak lagi menjadi tempat peristirahatan, melainkan sempat menjadi pertokoan, pos polisi, Kantor Kelurahan Nagri Tengah hingga menjadi sekretariat PWI Purwakarta dan markas ormas.
Dia merasa bersyukur salah satu bangunan cagar budaya itu masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik. Pihaknya pun berharap ada penelitian lebih mendalam tentang Gedung Kembar. Semua nilai sejarah yang ada pada bangunan itu haruslah terungkap dan menjadi ilmu pengetahuan.
Entah siapa yang pertama kali menamainya gedung kembar itu. Mungkin karena konstruksi sebangun serta desain sama, maka dinamainya Gedung Kembar. Kedua gedung itu masih berdiri kokoh dan menjadi pintu masuk ke areal Statsiun Kereta Api Purwakarta. Sepintas ibarat gapura besar menyambut para penumpang yang hendak bepergian menggunakan kereta api.
Aura eksotisme itu pun secara cerdas ditangkap oleh pemerintah setempat dengan menjadikannya sebagai salah cagar budaya. Bahkan, di sekitaran Gedung Kembar acapkali digelar beragam acara kesenian, terutama saat akhir pekan.
Pagelaran kesenian itu pun dipadu padankan dengan wisata kuliner di sepanjang Jalan KK Singawinta. Tak heran banyak warga dari dalam luar daerah berjubel di sekitaran Gedung Kembar. Banyak di antara mereka larut dalam suasana malam Purwakarta sembari menikmati kuliner yang dijajakan serta pagelaran kesenian. Apalagi lokasi tersebut tidak begitu jauh dari Air Mancur Sri Baduga, sehingga sangat mudah dijangkau dari berbagai arah.
Cerita ekostisme dan romantisme yang melekat pada Gedung Kembar di masa lalu, tentunya tidaklah berlebihan. Setidaknya, menurut penuturan sejarawan Purwakarta, Ahmad Said Widodo, Gedung Kembar memang menyimpan banyak cerita. Meskipun tidak diketahui nama asli Gedung Kembar, namun menilik dari desain arsitekturnya bergaya kolonial tropis.
Desain seperti itu lebih tua dari art decoration yang muncul setelah tahun 1940-an. Sebab bangunan itu dibangun bertepatan dengan pembanguna rel kereta api yang menghubungkan Batavia-Purwakarta-Bandung, oleh pemerintah kolonial Belanda di awal abad 20.
Berdasarkan sejumlah literatur yang dimilikinya, Gedung Kembar berfungsi semacam home stay bagi Gubernur Jenderal dan pejabat penting Hindia Belanda kala itu. “Jadi para pejabat Belanda yang datang ke Purwakarta atau ke Bandung, pasti transitnya di Gedung Kembar. Ya semacam tempat peristirahatan,”ungkap Said.
Menurut dia, indikasi sebagai tempat peristirahatan sangatlah kuat, karena Stasiun KA Purwakarta menjadi tempat pengisian bahan bakar dan air lokomotif. Selama waktu pengisian itu para pejabat Kolonial Belanda melepas lelah selama perjalanan di Gedung Kembar. Selain itu, dulu di dalam Gedung Kembar terdapat mini bar sebagai fasilitas bagi para pejabat itu.
“Tak jarang mereka menikmati suasana malam di sekitar Gedung Kembar yang eksotis. Mungkin saja Gedung Kembar pun menjadi saksi bisu banyaknya cerita romantis dari orang-orang Belanda pada waktu itu. Apalagi suasana di sekitar itu cukuplah indah. Suasana di dalam pun terasa sejuk meski tak pasang AC. Sebab sudah menjadi karakter bangunan Belanda selalu memiliki pintu jendela tinggi dan besar. Langit-langit pun juga dibuat tinggi sehingga sirkulasi udara sangat maksimal,”ungkapnya.
Rupanya cerita romantisme juga melekat pada warga pribumi. Dulu antara tahun 1946-1980 an, di sekitar salah satu pelataran Gedung Kembar terdapat warung makanan dengan meja dan bangku panjang. Warga Purwakarta sering menyantap makanan di tempat itu. Terlebih sempat pula ada terminal oplet yang lokasinya tidak begitu jauh dari Gedung Kembar.
“Baik warga maupun menumpang kereta api dan oplet selalu menuju tempat kuliner itu untuk mengisi perut kosong. Saking nikmatnya menyantap makanan sehingga menimbulkan semacam bunyi berdecak, dalam istilah Sunda disebut ceplak. Maka di lokasi itu dinamailah Ceplak,” terangnya.
Seiring dengan kemerdekaan Republik Indonesia, Gedung Kembar pun telah berganti-ganti fungsi. Tidak lagi menjadi tempat peristirahatan, melainkan sempat menjadi pertokoan, pos polisi, Kantor Kelurahan Nagri Tengah hingga menjadi sekretariat PWI Purwakarta dan markas ormas.
Dia merasa bersyukur salah satu bangunan cagar budaya itu masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik. Pihaknya pun berharap ada penelitian lebih mendalam tentang Gedung Kembar. Semua nilai sejarah yang ada pada bangunan itu haruslah terungkap dan menjadi ilmu pengetahuan.
(wib)