Rekonstruksi Bencana Palu, Ketua DPRD Sulteng: Perempuan Harus Dilibatkan
A
A
A
PALU - Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Nilam Sari Lawira menyatakan pemulihan pasca bencana di daerahnya, khususnya di Palu, Sigi, dan Donggala harus melibatkan kaum perempuan.
Penanganan bencana dilaksanakan harus berdasarkan cetak biru Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sulawesi Tengah yang telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah. (Baca juga: KRI Spica 934 Temukan Longsoran Dasar Laut di Teluk Palu)
Menurut Nilam, dokumen rencana induk itulah satu-satunya rujukan utama dalam proses pemulihan kembali pasca bencana. Mulai dari gambaran kerusakan secara umum, data kerusakan, data korban, strategi dan pendekatan yang digunakan, maupun gambaran berbagai program yang akan dilaksanakan, berikut taksiran biaya yang diperlukan.
Nilam menekankan kepada pemerintah baik di daerah maupun pusat untuk lebih melibatkan perempuan penyintas atau korban dalam tahap rekonstruksi ini.
"Kami mendorong kelompok perempuan menjadi aktor penting dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Penting dari segi sebagai kelompok yang paling mengalami tingkat kerentanan paling tinggi, sekaligus sebagai indikator capaian keberhasilan," jelas Nilam dalam keterangan tertulisnya, Selasa (3/12/2019). (Baca juga: BNPB: Kerugian Akibat Gempa-Tsunami di Sulteng Capai Rp18,48 Triliun)
Selain itu, isu krusial perempuan harus bisa ditangkap secara jelas dan terukur ketika proses pembangunan berlangsung. Oleh karena itu , semua hal yang berkaitan dengan bagaimana perempuan hadir dalam semua program dan kegiatan harus bisa dicatat secara kuantitatif tidak sekedar kualitatif.
"Dari segi persepektif, menempatkan perempuan penyintas sebagai aktor yang utama tentu kita harus bisa merumuskan indikator sederhana yang bisa diukur. Apakah program dan kegiatan yang sedang berlangsung berdampak kepada manusia atau hanya kepada beton?" paparnya.
Menurut dia, hal tersebut sangat penting yakni bisa membawa semua pengalaman perempuan penyintas ke dalam meja kebijaksanaan. (Baca juga: ACT Bersama Klub Sepakbola Jepang Hibur Ratusan Penyintas Gempa Palu-Donggala)
"Tentu, semua itu tidak cukup hanya sekedar narasi kualitatif, tetapi kita butuh fakta, data dan cerita lengkap dari perempuan penyintas yang telah mengorganisir dirinya," tandasnya.
Penanganan bencana dilaksanakan harus berdasarkan cetak biru Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sulawesi Tengah yang telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah. (Baca juga: KRI Spica 934 Temukan Longsoran Dasar Laut di Teluk Palu)
Menurut Nilam, dokumen rencana induk itulah satu-satunya rujukan utama dalam proses pemulihan kembali pasca bencana. Mulai dari gambaran kerusakan secara umum, data kerusakan, data korban, strategi dan pendekatan yang digunakan, maupun gambaran berbagai program yang akan dilaksanakan, berikut taksiran biaya yang diperlukan.
Nilam menekankan kepada pemerintah baik di daerah maupun pusat untuk lebih melibatkan perempuan penyintas atau korban dalam tahap rekonstruksi ini.
"Kami mendorong kelompok perempuan menjadi aktor penting dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Penting dari segi sebagai kelompok yang paling mengalami tingkat kerentanan paling tinggi, sekaligus sebagai indikator capaian keberhasilan," jelas Nilam dalam keterangan tertulisnya, Selasa (3/12/2019). (Baca juga: BNPB: Kerugian Akibat Gempa-Tsunami di Sulteng Capai Rp18,48 Triliun)
Selain itu, isu krusial perempuan harus bisa ditangkap secara jelas dan terukur ketika proses pembangunan berlangsung. Oleh karena itu , semua hal yang berkaitan dengan bagaimana perempuan hadir dalam semua program dan kegiatan harus bisa dicatat secara kuantitatif tidak sekedar kualitatif.
"Dari segi persepektif, menempatkan perempuan penyintas sebagai aktor yang utama tentu kita harus bisa merumuskan indikator sederhana yang bisa diukur. Apakah program dan kegiatan yang sedang berlangsung berdampak kepada manusia atau hanya kepada beton?" paparnya.
Menurut dia, hal tersebut sangat penting yakni bisa membawa semua pengalaman perempuan penyintas ke dalam meja kebijaksanaan. (Baca juga: ACT Bersama Klub Sepakbola Jepang Hibur Ratusan Penyintas Gempa Palu-Donggala)
"Tentu, semua itu tidak cukup hanya sekedar narasi kualitatif, tetapi kita butuh fakta, data dan cerita lengkap dari perempuan penyintas yang telah mengorganisir dirinya," tandasnya.
(shf)