Hikayat Asal Usul Kota Banyuwangi, Jawa Timur

Jum'at, 08 November 2019 - 05:31 WIB
Hikayat Asal Usul Kota...
Hikayat Asal Usul Kota Banyuwangi, Jawa Timur
A A A
JAKARTA - Konon dikisahkan pada zaman dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana di ujung timur Jawa Timur.

Sang Raja mempunyai seorang putra yang gagah dan pemberani bernama Raden Banterang. Raden Banterang suka berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdi dalemnya.

Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang bersama beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Saat berjalan sendirian, Raden Banterang melihat seekor kijang melintas di depannya.

Dia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Akibatnya Raden Banterang terpisah dengan para pengiringnya. "Kemana seekor kijang tadi?" tanya Raden Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya.

"Akan ku cari terus sampai dapat," kata dia bertekad dalam.

Selanjutnya, Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya.

"Hem, segar nian air sungai ini," ucap Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya.

Setelah itu, dia meninggalkan sungai. Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.

"Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah dia seorang manusia? Jangan-jangan setan penunggu hutan," kata Raden Banterang bertanya-tanya.

Lantas Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. Lalu dia bertanya, "Kau manusia atau penunggu hutan?"

"Saya manusia," jawab gadis itu sambil tersenyum.

Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya.

"Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung. Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan," kata si Gadis Cantik.

Mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.

Beberapa waktu kemudia, suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. "Surati! Surati!" seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping.

Setelah mengamati wajah lelaki itu, dia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya.

Surati menceritakan, dia mau diperistri Raden Banterang karena telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya.

Rupaksa pun marah mendengar jawaban adiknya,. Dia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. "Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu," pesan Rupaksa.

Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang disebabkan karena Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki berpakaian compang-camping.

"Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri," kata lelaki itu.

"Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan," kata lelaki itu.

Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius. Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki misterius itu. Dia pun segera pulang ke istana.

Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraduan istrinya. Raden mencari ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di hutan.

"Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!" kata Raden Banterang kepada istrinya.

"Begitukah balasanmu padaku?" tandas Raden Banterang.”Jangan asal tuduh.

"Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!" kata Surati.

Raden Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.

Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya.

"Lelaki itu adalah kakak kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda," Surati menjelaskan kembali agar Raden Banterang luluh hatinya.

Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan dirinya.

"Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa," ucap Surati mengingatkan.

"Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda tolaK!".

Mendengar alasan tersebut, Raden Banterang tetap berkeras hati, bahkan menganggap istrinya berbohong.

"Kakanda! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!" seru Surati.

Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.

Tak lama kemudian terjadi sebuah keajaiban. Bau harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar.

"Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!" Betapa menyesalnya Raden Banterang. Membuat Fi meratapi kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.

Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama Kota Banyuwangi.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0944 seconds (0.1#10.140)