Kampung Maspati, Tempat Ngopi Pejuang dan Dapur Perlawanan
A
A
A
PEKIK pidato Bung Tomo masih tetap berada di langit-langit Surabaya sampai sekarang.
Saudara-saudara, tukang-tukang becak; saudara-saudara, bakul-bakul soto, bakul-bakul tahu; saudara-saudara, tukang rombengan; saudara-saudara wong-wong kampung Suroboyo; saudara-saudara, arek-arek Suroboyo, pemuda-pemuda Suroboyo; habiskanlah lawan kita, pertahankan kota kita ini. Tuhan akan bersama kita; insya Allah saudara-saudara, kemenangan akhir pasti akan mencapainya; Allahu Akbar Allahu Akbar.
Suaranya yang khas tak akan pernah mati dalam selimut panjang sejarah. Sebuah pergolakan yang selalu dikenang dengan Pertempuran 10 November 1945 itu mengilhami banyak pergerakan serupa di berbagai wilayah Indonesia.
Gerakan massa yang tanpa garis komando mampu memukul mundur tentara sekutu. Mereka bukan prajurit yang terlatih dengan senapan di tangan atau cekatan dalam melempar bom. Mereka hanya penjual soto, tukang becak, bakul tahu, pembuat tempe, penjahit, tukang las, buruh angkut pasar yang tak pernah tahu cara membidik senapan dengan benar.
Mereka sudah jenuh dengan penindasan, hatinya bergetar ketika pejuang itu memiliki kesamaan dalam satu tujuan, merdeka. Mereka hanya punya bambu runcing, besi panjang dan sisa-sisa kayu yang dipakai untuk berdagang maupun bekerja sehari-hari.
Dengan modal nekat itu, mereka mampu menunjukan pada dunia bahwa persatuan mampu mengalahkan imperialis yang sistematis dengan perlengkapan senjata lengkap. Kesamaan nasib dan rasa yangt kuat ingin merdeka membawa meraka jauh ke medan perjuangan.
Para pejuang itu tinggal di gang-gang kecil yang ada di Surabaya. Dari dulu, Kota Pahlawan selau dikenal dengan banyak kampung kecil yang menjadi tempat blusukan dan kumpul arek-arek Suroboyo. Salah satunya di kampung Maspati. Pemukiman di Kelurahan Bubutan, Kecamatan Bubutan itu banyak dihuni keluarga para pejuang kemerdekaan, khususnya mereka yang turut serta di pertempuran 10 November 1945.
Kampung Maspati berada tidak jauh dari monumen Tugu Pahlawan Surabaya. Di kampung tersebut, masih banyak dijumpai bangunan-bangunan asli perkampungan Surabaya zaman dahulu yang masih berdiri kokoh, yang kini dihuni anak cucu para pejuang Surabaya.
Pagi menjelang 10 November tahun ini, jalanan di kampung Maspati lebih sejuk dari sebelumnya. Di tiap rumah kini terdapat banyak pohon yang sengaja ditanam pemilik rumah untuk membuat sejuk suasana kampung. Pot-pot kecil berwarna cokelat pun menegaskan kampung yang asri. Ada bunga matahari, anggrek, markisa, lidah buaya sampai berbagai jenis tanaman toga.
Jalanan pun tak lagi bergelombang. Jalan kampung yang lebarnya tiga meter itu sudah dipaving dengan cat warna kuning dan hijau di tiap ujungnya. Sisa embun di permukaan daun masih terlihat, beberapa kali suara Burung Kutilang dan Terucuk yang berhenti di batang pohon mangga saling bersahutan.
Rumah-rumah di kampung itu masih mempertahankan ornamen lama. Beberapa ukiran Jawa menghiasi tembok rumah warga. Kampung pejuang yang kecil itu tetap terlihat bersih dengan tatanan tempat sampah serta saluran air yang ditata rapi. Dalam sebuah cerita, Bung Tomo sendiri bersama para pejuang 10 November kerap berkumpul di Maspati untuk mengobarkan semangat perjuangan arek-arek Suroboyo.
Seorang warga kampung Maspati Sabar Swastono mengatakan, kampung Maspati memang pemukiman lawas di Surabaya. Banyak para pahlawan yang dulu ikut perang 10 November tinggal di sini. Mereka pun sering berdiskusi serta menyiapkan strategi berperang di kampung ini.
“Di sini ditemukan sejumlah Punden dan barang bersejarah yang hingga kini disimpan oleh keluarga para pejuang di kampung Maspati ini,” kata dia.
Kampung Lawas Maspati, kata dia, berada di wilayah RW 8 di enam RT. Kampung tersebut dihuni oleh sekitar 350 kepala keluarga dengan 1.600 jiwa. Meski berada di gang sempit, Kampung Maspati tetap dibuat nyaman dengan banyaknya tanaman. Banyak wisatawan yang ingin tahu sejarah panjang pergerakan di Indonesia datang ke Maspati.
Ketika pertempuran 10 November berlangsung, di Kampung Maspati ada bangunan bekas pabrik roti milik Haji Iskak. Di tempat itu, dijadikan dapur umum untuk para pejuang yang bertempur di medan perang. Perbekalan logistik perang pun disiapkan dengan pasokan makanan yang cukup.
Seorang petualang asal Belanda yang singgah pada awal abad ke-17, Artus Gijsels menyebutkan kalau Surabaya sebagai “Amsterdam from the East” atau kembaran Kota Amsterdam dari timur. Sejumlah jalan kampung yang membagi kawasan tersebut bak lorong-lorong waktu yang membawa pejalan ke tempo dulu.
Ada kilasan sejarah dari masa di mana para Patih Kerajaan Mataram dan istal kuda kerajaan berada di kampung lawas Maspati. Hingga seperti yang terasa di teras rumah bekas kediaman Raden Soemomihardjo, tokoh Keraton Surakarta yang dipanggil “ndoro mantri” oleh warga Maspati. Juga di bekas sekolah Ongko Loro atau sekolah desa di masa pendudukan Belanda.
Dari Kampung Maspati itu, Bung Tomo dan pejuang 10 November lainnya mendapatkan banyak inspirasi untuk membangkitkan semangat perjuangan. Para pemuda di kampung lawas itu juga ikut bangkit dalam pertempuran dengan sekutu. Mereka tak gentar terhadap musuh yang bersenjata lebih lengkap.
Saat ini, Kampung Maspati akan dijadikan cagar budaya di Kota Pahlawan. Kampung bersejarah itu akan dijadikan destinasi wisata sejarah bagi para pelancong dari dalam maupun luar negeri.
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya membuatkan jalur wisata sejarah yang nantinya menempatkan Maspati sebagai kawasan yang patut untuk didatangi. Sejarah sudah memberikan torehan yang kuat di kampung Maspati dalam membakar bara perjuangan arek-arek Suroboyo.
Saudara-saudara, tukang-tukang becak; saudara-saudara, bakul-bakul soto, bakul-bakul tahu; saudara-saudara, tukang rombengan; saudara-saudara wong-wong kampung Suroboyo; saudara-saudara, arek-arek Suroboyo, pemuda-pemuda Suroboyo; habiskanlah lawan kita, pertahankan kota kita ini. Tuhan akan bersama kita; insya Allah saudara-saudara, kemenangan akhir pasti akan mencapainya; Allahu Akbar Allahu Akbar.
Suaranya yang khas tak akan pernah mati dalam selimut panjang sejarah. Sebuah pergolakan yang selalu dikenang dengan Pertempuran 10 November 1945 itu mengilhami banyak pergerakan serupa di berbagai wilayah Indonesia.
Gerakan massa yang tanpa garis komando mampu memukul mundur tentara sekutu. Mereka bukan prajurit yang terlatih dengan senapan di tangan atau cekatan dalam melempar bom. Mereka hanya penjual soto, tukang becak, bakul tahu, pembuat tempe, penjahit, tukang las, buruh angkut pasar yang tak pernah tahu cara membidik senapan dengan benar.
Mereka sudah jenuh dengan penindasan, hatinya bergetar ketika pejuang itu memiliki kesamaan dalam satu tujuan, merdeka. Mereka hanya punya bambu runcing, besi panjang dan sisa-sisa kayu yang dipakai untuk berdagang maupun bekerja sehari-hari.
Dengan modal nekat itu, mereka mampu menunjukan pada dunia bahwa persatuan mampu mengalahkan imperialis yang sistematis dengan perlengkapan senjata lengkap. Kesamaan nasib dan rasa yangt kuat ingin merdeka membawa meraka jauh ke medan perjuangan.
Para pejuang itu tinggal di gang-gang kecil yang ada di Surabaya. Dari dulu, Kota Pahlawan selau dikenal dengan banyak kampung kecil yang menjadi tempat blusukan dan kumpul arek-arek Suroboyo. Salah satunya di kampung Maspati. Pemukiman di Kelurahan Bubutan, Kecamatan Bubutan itu banyak dihuni keluarga para pejuang kemerdekaan, khususnya mereka yang turut serta di pertempuran 10 November 1945.
Kampung Maspati berada tidak jauh dari monumen Tugu Pahlawan Surabaya. Di kampung tersebut, masih banyak dijumpai bangunan-bangunan asli perkampungan Surabaya zaman dahulu yang masih berdiri kokoh, yang kini dihuni anak cucu para pejuang Surabaya.
Pagi menjelang 10 November tahun ini, jalanan di kampung Maspati lebih sejuk dari sebelumnya. Di tiap rumah kini terdapat banyak pohon yang sengaja ditanam pemilik rumah untuk membuat sejuk suasana kampung. Pot-pot kecil berwarna cokelat pun menegaskan kampung yang asri. Ada bunga matahari, anggrek, markisa, lidah buaya sampai berbagai jenis tanaman toga.
Jalanan pun tak lagi bergelombang. Jalan kampung yang lebarnya tiga meter itu sudah dipaving dengan cat warna kuning dan hijau di tiap ujungnya. Sisa embun di permukaan daun masih terlihat, beberapa kali suara Burung Kutilang dan Terucuk yang berhenti di batang pohon mangga saling bersahutan.
Rumah-rumah di kampung itu masih mempertahankan ornamen lama. Beberapa ukiran Jawa menghiasi tembok rumah warga. Kampung pejuang yang kecil itu tetap terlihat bersih dengan tatanan tempat sampah serta saluran air yang ditata rapi. Dalam sebuah cerita, Bung Tomo sendiri bersama para pejuang 10 November kerap berkumpul di Maspati untuk mengobarkan semangat perjuangan arek-arek Suroboyo.
Seorang warga kampung Maspati Sabar Swastono mengatakan, kampung Maspati memang pemukiman lawas di Surabaya. Banyak para pahlawan yang dulu ikut perang 10 November tinggal di sini. Mereka pun sering berdiskusi serta menyiapkan strategi berperang di kampung ini.
“Di sini ditemukan sejumlah Punden dan barang bersejarah yang hingga kini disimpan oleh keluarga para pejuang di kampung Maspati ini,” kata dia.
Kampung Lawas Maspati, kata dia, berada di wilayah RW 8 di enam RT. Kampung tersebut dihuni oleh sekitar 350 kepala keluarga dengan 1.600 jiwa. Meski berada di gang sempit, Kampung Maspati tetap dibuat nyaman dengan banyaknya tanaman. Banyak wisatawan yang ingin tahu sejarah panjang pergerakan di Indonesia datang ke Maspati.
Ketika pertempuran 10 November berlangsung, di Kampung Maspati ada bangunan bekas pabrik roti milik Haji Iskak. Di tempat itu, dijadikan dapur umum untuk para pejuang yang bertempur di medan perang. Perbekalan logistik perang pun disiapkan dengan pasokan makanan yang cukup.
Seorang petualang asal Belanda yang singgah pada awal abad ke-17, Artus Gijsels menyebutkan kalau Surabaya sebagai “Amsterdam from the East” atau kembaran Kota Amsterdam dari timur. Sejumlah jalan kampung yang membagi kawasan tersebut bak lorong-lorong waktu yang membawa pejalan ke tempo dulu.
Ada kilasan sejarah dari masa di mana para Patih Kerajaan Mataram dan istal kuda kerajaan berada di kampung lawas Maspati. Hingga seperti yang terasa di teras rumah bekas kediaman Raden Soemomihardjo, tokoh Keraton Surakarta yang dipanggil “ndoro mantri” oleh warga Maspati. Juga di bekas sekolah Ongko Loro atau sekolah desa di masa pendudukan Belanda.
Dari Kampung Maspati itu, Bung Tomo dan pejuang 10 November lainnya mendapatkan banyak inspirasi untuk membangkitkan semangat perjuangan. Para pemuda di kampung lawas itu juga ikut bangkit dalam pertempuran dengan sekutu. Mereka tak gentar terhadap musuh yang bersenjata lebih lengkap.
Saat ini, Kampung Maspati akan dijadikan cagar budaya di Kota Pahlawan. Kampung bersejarah itu akan dijadikan destinasi wisata sejarah bagi para pelancong dari dalam maupun luar negeri.
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya membuatkan jalur wisata sejarah yang nantinya menempatkan Maspati sebagai kawasan yang patut untuk didatangi. Sejarah sudah memberikan torehan yang kuat di kampung Maspati dalam membakar bara perjuangan arek-arek Suroboyo.
(wib)