Data Global Forest Watch Titik Api Terbesar di Kawasan Hutan
A
A
A
JAKARTA - Kalangan praktisi hukum dan akademisi meragukan pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyebutkan 85% kebakaran terjadi di area konsesi yang dikelola untuk kepentingan bisnis perkebunan. Pasalnya, berdasarkan Data Global Forest Watch (GFW kebakaran di dalam konsesi sawit mencapai 11%, sedangkan luar konsesi mencapai 68%.
Pengamat Hukum Lingkungan dan Kehutanan Dr Sadino mengatakan, tahun ini justru karhutla didominasi oleh kawasan hutan negara yang menjadi tanggung jawab KLHK serta kawasan gambut yang dikelola Badan Restorasi Gambut (BRG).
Data Global Forest Watch (GFW) per 1 Januari 2019 hingga 16 September 2019 jelas menunjukkan di seluruh Indonesia, kebakaran di dalam konsesi sawit mencapai 11%, sedangkan luar konsesimencapai 68%.
“Kawasan hutan negara dan gambut yang terbakar, jauh lebih luas dibandingkan kawasan berizin. Pemerintah harus berani menunjukkan tanggung jawab atas konsesi kelolaannya. Apalagi kegiatannya didanai APBN,” kata Sadino, dalam pernyataan tertulis yang diterima SINDOnews, Jumat (11/10/2019).
Selama ini, kata dia, Pemerintah terlalu arogan dan dengan mudah menunjuk masyarakat dan swasta sebagai penyebab karhutla di semua konsesi, termasuk taman nasional yang menjadi tanggung jawabnya.
“Sikap ini tidak adil dan menunjukkan ada yang tidak beres di Pemerintahan saat ini. Dalam hal ini, masyarakat punya hak untuk menggugat pemerintah,” kata Sadino.
Menurut Sadino, BRG juga harus bertanggung jawab atas kebakaran gambut yang menjadi konsesi kelolaannya. Bahkan, dalam konteks bernegara yang kuat dalam pengawasan lingkungan, semua tanggung karhutla ada di Pemerintah.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Yanto Santosa menyarankan, KLHK sebaiknya mengklasifikasikan masing-masing luasan konsesi terbakar berdasarkan penanggung jawab konsesi lahannya.
Penghitungan tidak hanya dilakukan pada kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), namun juga di konsesi tanah negara seperti areal restorasi ekosistem, areal moratorium, areal kawasan hutan lindung, area kawasan konservasi dan taman nasional.
Dari situ, bisa diklarifikasi besaran persentase lahan terbakar berdasarkan kepemilikan serta penanggung jawab konsesi.
“Kalau penyajian datanya seperti itu, mustahil karhutla di perkebunan sawit dan HTI mencapai 85%,” kata Yanto.
Menurut Yanto, penyajian data juga punya berbagai kepentingan. Kalau dilihat dari jumlah perkara yang ditindak yakni 55 perusahaan, 1 lahan masyarakat, 1 konsesi restorasi, namun mengecualikan penanggung jawab hutan negara, persentase itu memang masuk akal, jika konsesi perusahaan terbakar mencapai 85%.
“Hanya saja, data itu tidak merepresentasikan kondisi karhutla sesungguhnya. Jadi bicara data itu tergantung dari mana melihatnya,” ungkap Yanto.
Pemerintah, saran Yanto harus lebih fair dan bijaksana dalam mengungkapkan satu permasalahan agar tidak menimbulkan masalah baru. Seharusnya, para pejabat pemerintah tidak menganggap jumlah institusi yang ditindak sebagai suatu prestasi, karena kontra produktif bagi iklim investasi Indonesia.
Hal itu, bisa menyulitkan promosi-promosi yang dilakukan Pemerintah Indonesia baik untuk sawit maupun kayu.
Gakum bisa saja menindak instansi yang melanggar setelah ada pembuktian dan tidak perlu menggembar-gemborkan terlebih dulu.
“Tidak ada yang harus ditutup-tutupi, namun tidak semuanya harus diumbar. Sebaiknya internal KLHK tetap melakukan penindakan tanpa harus mengumbar agar iklim investasi tetap kondusif,” ungkap dia.
Sementara itu, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK Raffles B. Panjaitan mengatakan, sejauh ini sebagian besar perusahaan sudah melaporkan kepatuhannya terhadap Permen LHK Nomor 32/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
“Kami akan melakukan evaluasi pada November hingga Desember. Evaluasi juga dilakukan terhadap pemerintah daerah. Sesuai peraturan menteri, pemda baik provinsi hingga kabupaten/kota telah diperintahkan untuk membentuk unit pengelolaan kawasan hutan, juga sarana prasarana, termasuk satuan tugas pengendalian karhutla,” timpalnya.
Di luar kawasan hutan, kata Raffles, pemda memiliki kewenangan mengawasi jalannya kegiatan pengelolaan lahan di masyarakat.
Pengamat Hukum Lingkungan dan Kehutanan Dr Sadino mengatakan, tahun ini justru karhutla didominasi oleh kawasan hutan negara yang menjadi tanggung jawab KLHK serta kawasan gambut yang dikelola Badan Restorasi Gambut (BRG).
Data Global Forest Watch (GFW) per 1 Januari 2019 hingga 16 September 2019 jelas menunjukkan di seluruh Indonesia, kebakaran di dalam konsesi sawit mencapai 11%, sedangkan luar konsesimencapai 68%.
“Kawasan hutan negara dan gambut yang terbakar, jauh lebih luas dibandingkan kawasan berizin. Pemerintah harus berani menunjukkan tanggung jawab atas konsesi kelolaannya. Apalagi kegiatannya didanai APBN,” kata Sadino, dalam pernyataan tertulis yang diterima SINDOnews, Jumat (11/10/2019).
Selama ini, kata dia, Pemerintah terlalu arogan dan dengan mudah menunjuk masyarakat dan swasta sebagai penyebab karhutla di semua konsesi, termasuk taman nasional yang menjadi tanggung jawabnya.
“Sikap ini tidak adil dan menunjukkan ada yang tidak beres di Pemerintahan saat ini. Dalam hal ini, masyarakat punya hak untuk menggugat pemerintah,” kata Sadino.
Menurut Sadino, BRG juga harus bertanggung jawab atas kebakaran gambut yang menjadi konsesi kelolaannya. Bahkan, dalam konteks bernegara yang kuat dalam pengawasan lingkungan, semua tanggung karhutla ada di Pemerintah.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Yanto Santosa menyarankan, KLHK sebaiknya mengklasifikasikan masing-masing luasan konsesi terbakar berdasarkan penanggung jawab konsesi lahannya.
Penghitungan tidak hanya dilakukan pada kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), namun juga di konsesi tanah negara seperti areal restorasi ekosistem, areal moratorium, areal kawasan hutan lindung, area kawasan konservasi dan taman nasional.
Dari situ, bisa diklarifikasi besaran persentase lahan terbakar berdasarkan kepemilikan serta penanggung jawab konsesi.
“Kalau penyajian datanya seperti itu, mustahil karhutla di perkebunan sawit dan HTI mencapai 85%,” kata Yanto.
Menurut Yanto, penyajian data juga punya berbagai kepentingan. Kalau dilihat dari jumlah perkara yang ditindak yakni 55 perusahaan, 1 lahan masyarakat, 1 konsesi restorasi, namun mengecualikan penanggung jawab hutan negara, persentase itu memang masuk akal, jika konsesi perusahaan terbakar mencapai 85%.
“Hanya saja, data itu tidak merepresentasikan kondisi karhutla sesungguhnya. Jadi bicara data itu tergantung dari mana melihatnya,” ungkap Yanto.
Pemerintah, saran Yanto harus lebih fair dan bijaksana dalam mengungkapkan satu permasalahan agar tidak menimbulkan masalah baru. Seharusnya, para pejabat pemerintah tidak menganggap jumlah institusi yang ditindak sebagai suatu prestasi, karena kontra produktif bagi iklim investasi Indonesia.
Hal itu, bisa menyulitkan promosi-promosi yang dilakukan Pemerintah Indonesia baik untuk sawit maupun kayu.
Gakum bisa saja menindak instansi yang melanggar setelah ada pembuktian dan tidak perlu menggembar-gemborkan terlebih dulu.
“Tidak ada yang harus ditutup-tutupi, namun tidak semuanya harus diumbar. Sebaiknya internal KLHK tetap melakukan penindakan tanpa harus mengumbar agar iklim investasi tetap kondusif,” ungkap dia.
Sementara itu, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK Raffles B. Panjaitan mengatakan, sejauh ini sebagian besar perusahaan sudah melaporkan kepatuhannya terhadap Permen LHK Nomor 32/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
“Kami akan melakukan evaluasi pada November hingga Desember. Evaluasi juga dilakukan terhadap pemerintah daerah. Sesuai peraturan menteri, pemda baik provinsi hingga kabupaten/kota telah diperintahkan untuk membentuk unit pengelolaan kawasan hutan, juga sarana prasarana, termasuk satuan tugas pengendalian karhutla,” timpalnya.
Di luar kawasan hutan, kata Raffles, pemda memiliki kewenangan mengawasi jalannya kegiatan pengelolaan lahan di masyarakat.
(sms)