Cerita Pendatang yang Sembunyi di Gereja untuk Hindari Kerusuhan Wamena
A
A
A
MALANG - Ada kisah kerukunan antar agama di balik kerusuhan di Wamena, Papua, di mana dua orang pengungsi asal Sampang yang mendarat di Lanud Abdul Rachman Saleh, Malang, mengaku sempat bersembunyi di dalam gereja.
Dua pengungsi bernama Nasir (55) dan Rohmah (45) mengungkapkan selama 12 tahun tinggal menetap di Wamena, menurut mereka peristiwa ini merupakan kerusuhan terparah yang pernah dialami. Sepasang suami istri yang berjualan ayam ini mengaku trauma melihat masyarakat pendatang seperti dirinya dilukai, dibunuh, bahkan dibakar hidup - hidup.
"Ngeri bagaimana sekelompok orang yang tak dikenal datang membawa parang dan bahan bakar langsung melukai dan membakar warga yang ditemuinya," ujar Rohmah kepada wartawan di Lanud Abdul Rachman Saleh, Malang, Kamis 3 Oktober 2019.
Rohmah menceritakan saat kerusuhan Wamena pecah, ia sempat terjebak di dalam rumahnya. Dirinya melihat bagaimana massa membabibuta melukai dan membunuh para warga pendatang yang ditemuinya. Bahkan para warga pendatang pun ada yang dibakar hidup-hidup di kediamannya.
"Saat terkepung massa itu kami berada di dalam rumah. Kami menerobos pagar belakang rumah kemudian lari. Saya lihat bagaimana rumah saya dibakar massa. Setelah itu kami nekat menyeberangi sungai menuju sebuah gereja. Kami sembunyi di sana (gereja). Di dalamnya sudah ada banyak orang semua Islam, Kristen campur," jelas Rohmah.
Berhari-hari bersembunyi di gereja, Rohmah sekeluarga akhirnya dijemput oleh aparat TNI untuk dibawa ke Kodim setempat. Selang dua hari di Kodim, ia dibawa ke Jayapura. "Setelah dari Jayapura kemudian diterbangkan ke sini (Lanud Abdul Rachman Saleh, Malang)," lanjutnya.
Rohmah dan Nasir menjadi bagian dari 107 orang, dimana 14 di antaranya merupakan anak-anak pengungsi Wamena yang tiba di hari kedua Kamis 3 Oktober 2019 di Lanud Abdul Rachman Saleh, Malang. Mereka menaiki pesawat hercules milik TNI.
Para pengungsi berasal dari berbagai daerah di antaranya Pasuruan, Sumpang, Lumajang, Surakarta, Sampang, Ponorogo, Jember, Jombang, Nganjuk, Medan, Salatiga, Sidoarjo, hingga Semarang.
Dua pengungsi bernama Nasir (55) dan Rohmah (45) mengungkapkan selama 12 tahun tinggal menetap di Wamena, menurut mereka peristiwa ini merupakan kerusuhan terparah yang pernah dialami. Sepasang suami istri yang berjualan ayam ini mengaku trauma melihat masyarakat pendatang seperti dirinya dilukai, dibunuh, bahkan dibakar hidup - hidup.
"Ngeri bagaimana sekelompok orang yang tak dikenal datang membawa parang dan bahan bakar langsung melukai dan membakar warga yang ditemuinya," ujar Rohmah kepada wartawan di Lanud Abdul Rachman Saleh, Malang, Kamis 3 Oktober 2019.
Rohmah menceritakan saat kerusuhan Wamena pecah, ia sempat terjebak di dalam rumahnya. Dirinya melihat bagaimana massa membabibuta melukai dan membunuh para warga pendatang yang ditemuinya. Bahkan para warga pendatang pun ada yang dibakar hidup-hidup di kediamannya.
"Saat terkepung massa itu kami berada di dalam rumah. Kami menerobos pagar belakang rumah kemudian lari. Saya lihat bagaimana rumah saya dibakar massa. Setelah itu kami nekat menyeberangi sungai menuju sebuah gereja. Kami sembunyi di sana (gereja). Di dalamnya sudah ada banyak orang semua Islam, Kristen campur," jelas Rohmah.
Berhari-hari bersembunyi di gereja, Rohmah sekeluarga akhirnya dijemput oleh aparat TNI untuk dibawa ke Kodim setempat. Selang dua hari di Kodim, ia dibawa ke Jayapura. "Setelah dari Jayapura kemudian diterbangkan ke sini (Lanud Abdul Rachman Saleh, Malang)," lanjutnya.
Rohmah dan Nasir menjadi bagian dari 107 orang, dimana 14 di antaranya merupakan anak-anak pengungsi Wamena yang tiba di hari kedua Kamis 3 Oktober 2019 di Lanud Abdul Rachman Saleh, Malang. Mereka menaiki pesawat hercules milik TNI.
Para pengungsi berasal dari berbagai daerah di antaranya Pasuruan, Sumpang, Lumajang, Surakarta, Sampang, Ponorogo, Jember, Jombang, Nganjuk, Medan, Salatiga, Sidoarjo, hingga Semarang.
(nag)