Atasi Gunung Es Kekerasan Perempuan dan Anak

Senin, 26 Agustus 2019 - 17:35 WIB
Atasi Gunung Es Kekerasan...
Atasi Gunung Es Kekerasan Perempuan dan Anak
A A A
Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan selama ini mirip fenomena gunung es. Tampak kecil di atas permukaan tapi besar begitu diteluri di dalam permukaan. Dibutuhkan inovasi untuk melindungi perempuan dan anak perempuan dari kekerasan. Di tangan para wanita inilah, sesungguhnya masa depan Indonesia digantungkan.

Kegelisahan ini ditangkap Bupati Pasuruan HM Irsyad Yusuf. Bersama Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (KB-PP), pria yang akrab disapa Gus Irsyad ini menawarkan Program Sadari Kekerasan Perempuan dan Anak dengan Jemput Bola (Sakera Jempol).

"Berdasarkan data dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak, terdapat pengaduan kasus kekerasan anak dan perempuan 45 kasus pada tahun 2013, 29 kasus pada tahun 2014, meningkat menjadi 53 kasus pada tahun 2015. Sedangkan kasus KDRT 85 kasus pada tahun 2013, 56 kasus tahun 2014 dan 58 kasus pada tahun 2015. Jadi ada tren yang naik, inilah latar belakang Sakera Jempol," kata Bupati Pasuruan HM Irsyad Yusuf menjelaskan program Sakera Jempol.

Nama Sakera Jempol dipilih karena merupakan nama yang sangat populer di Kabupaten Pasuruan. Sakera adalah nama seorang tokoh pejuang yang lahir di kelurahan Raci Kota Bangil, Pasuruan, Jatim, Indonesia. Ia berjuang melawan penjajahan Belanda pada awal abad ke-19. Pemilihan nama Sakera diharapkan memudahkan bagi Pemkab Pasuruan untuk mempromosikan program penanganan kekerasan perempuan dan anak.

Pelaksanan inovasi ini merujuk pada Surat Keputusan Bupati Pasuruan Nomor 260/560/HK/424.013/2014 tentang Pembentukan Pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (PPT-PPA) yang mempunyai tugas untuk menanggulangi tindakan kekerasan perempuan dan anak.Adapun pendekatan strategis inovasi ini melalui; Sarana sosialisasi pencegahan tindakan kekerasan perempuan dan anak dengan Fanspage plus molin;Pemberian Kartu Hotline jempol (Hotline dengan jemput bola); Reaksi Penanganan dengan Four fast (4 cepat); Ada jempol (advokasi dengan jemput bola).

Menurut Irsyad, permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam hal pencegahan kasus antara lain kurangnya kesadaran masyarakat khususnya masyarakat pedesaan untuk melaporkan tanda-tanda tindakan kekerasan pada perempuan dan anak sejak dini. Mereka lebih memilih menyembunyikan karena merupakan aib keluarga khususnya kasus pelecehan seksual dan lebih memilih penyelesaian secara adat atau kekeluargaan.

Program ini memiliki beberapa instrumen pencegahan, deteksi dini dan penanggulangan. Sosialisasi pencegahan dilakukan dengan media sosial bagi masyarakat yang terjangkau tehnologi informasi serta menggunakan mobil perlindungan perempuan dan anak yang menjangkau pedesaan dan segmentasi yang tak bisa mengakses medias sosial dengan melibatkan organisasi kewanitaan.

"Kemudian dilakukan pemberian Kartu Hotline Jempol. Para kader, tokoh masyarakat, tokoh agama, perangkat desa, dan populasi kunci kami beri kontak person atau kartu nama. Jika ditemukan tanda-tanda terjadi tindakan kekerasan perempuan dan anak bisa langsung menghubungi petugas sesuai yang ada di kartu nama. Cara ini juga mengajak warga pro aktif melakukan pencegahan," terangnya.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah menjadi perhatian secara nasional. Untuk diketahui, Komnas Perempuan menemukan sejumlah pola kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan sepanjang 2018 hingga 2019.

Dikutip dari catatan tahunan Komnas Perempuan (CATATAHU 2019) terdapat sejumlah temuan, pola dan trend kekerasan, yaitu, kekerasan di ranah privat (korban dan pelaku berada dalam relasi perkawinan, kekerabatan, atau relasi intim lainnya) baik dalam lingkup rumah tangga maupun di luar rumah tangga. Kasus ini masih merupakan kasus yang dominan dilaporkan. Kasus yang tertinggi dilaporkan adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), kedua, Kekerasan dalam Pacaran (KDP), dan ketiga Incest. Pelaporan kasus perkosaan dalam perkawinan juga mengalami peningkatan pada 2018.

Mayoritas kasus perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dilaporkan ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta P2TP2A (sebanyak 138 kasus), selebihnya dilaporkan ke organisasi masyarakat dan lembaga lainnya. Meningkatnya pelaporan kasus perkosaan dalam perkawinan ini mengindikasikan implementasi UU Penghapusan KDRT (UU P-KDRT) masih memiliki sejumlah persoalan, terutama pada bagian pencegahan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga dan penanganan KDRT sendiri.

Meski UU P-KDRT telah 14 tahun diberlakukan, namun hanya 3 persen dari kasus KDRT yang dilaporkan ke lembaga layanan yang sampai ke pengadilan.

Selain incest dan marital rape, hal lain yang menarik perhatian dari kekerasan di ranah privat, adalah meningkatnya pengaduan kasus kekerasan dalam pacaran ke institusi pemerintah (1750 dari 2073 kasus). Bentuk kekerasan tertinggi dalam relasi pacaran ini adalah kekerasan seksual.

Relasi pacaran adalah relasi yang tidak terlindungi oleh hukum, sehingga jika terjadi kekerasan dalam relasi ini, korban akan menghadapi sejumlah hambatan dalam mengakses keadilan. Hal yang patut diapresiasi adalah, ditanganinya 1750 kasus kekerasan dalam relasi pacaran oleh pemerintah, meskipun tidak ada payung hukum yang melindunginya. Respons yang baik ini diharapkan meminimalisasi kekerasan dalam relasi pacaran.

Kepala Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (KB-PP) Kabupaten Pasuruan Yetti Purwaningsih mengatakan, seluruh kasus dan pengaduan sampai dengan tahun 2018 telah menurun secara signifikan, yakni 15 kasus yang terdiri dari 3 kasus KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) dan 12 kasus kekerasan pada anak.

“Seluruh korban sudah kita damping supaya bisa segera pulih dan bisa beraktivitas sedia kala dan itu akan terus kita damping meskipun kita masih membuka ruang konseling sampai jemput bola ke semua lapisan masyarakat,” imbuhnya.

Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Henda Sulkhah menambahkan, ada beberapa program Sakera Jempol yang terus dikembangkan, di antaranya Fanspage Plus Molin (Mobil Perlindungan Perempuan dan Anak ) dan Torlin (Motor Perlindungan Perempuan dan Anak) untuk menjangkau wilayah yang tidak bisa diakses Molin, Hotline Jempol (Hotline Jemput Bola), Four Past (cepat, terdeteksi, cepat terlapor, cepat tertangani dan cepat terehabilitasi), maupun Ada Jempol (Advokasi Jemput Bola) yang merupakan pendampingan terhadap korban kekerasan pada perempuan dan anak di Kabupaten Pasuruan.

“Sakera jempol merupakan sistem yang sederhana, unik namun komprehensif dan aplikatif, mulai dari promotif, prefentif hingga rehabilitative dari korban kekerasan perempuan dan anak yang mampu menjawab permasalahan terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal ini terbukti dari tiga indikator, yakni penurunan KDRT, peningkatan laporan kasus yang mengindikasikan bahwa kesadaran akan pentingnya melaporkan kasus kekerasan menjadi lebih baik. Dan tidak membutuhkan biaya yang sangat besar namun dampaknya jauh lebih besar. Kita bersyukur banyak perubahan yang terjadi sesuai dengan harapan kita,” ungkapnya. (edi purwanto)
(alf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6651 seconds (0.1#10.140)