Perang Saudara di Puncak Papua Renggut 6 Nyawa, Bupati Temui Dua Kubu
A
A
A
PUNCAK - Pertikaian berdarah antara keluarga Mon dengan Hagabal di Distrik Ilaga Utara, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua sedang dalam proses perdamaian.
Distrik Ilaga Utara terkena langsung dampak dari perang saudara tersebut.
Perang saudara yang terbawa dari Kabupaten Timika, Kwangki Narama, hingga Puncak ini telah menyebabkan setidaknya 6 warga tewas.
Sejumlah warga lainnya luka-luka terkena anak panah. Kondisi yang tegang membuat murid sekolah dasar di wilayah tersebut tidak dapat melakukan aktivitas belajar.
Kedua pihak saling curiga dan menjaga daerahnya dengan senjata busur dan anak panah. Pertikaian ini telah berlangsung sejak Maret 2019 yang mengakibatkan terganggunya keamanan di kabupaten tertinggi di Indonesia ini.
Guna mengakhiri perang saudara, Bupati Puncak Willem Wandik melakukan pertemuan dengan pihak Mom dan Hagabal. Pertemuan dilaksanakan di Kampung Mayuberi dan Kampung Oleiki, Distrik Ilaga Utara pada Rabu, 7 Agustus 2019 lalu.
Pertemuan dihadiri Kapolres Puncak Jaya dan Puncak AKBP Ari Purwanto dan Dandim 1714 Puncak Jaya dan Puncak Letkol Inf Agus Sunaryo.
Pertemuan awal dilakukan dengan pihak keluarga korban Hagabal dan Labene yang lebih banyak jatuh korban. Pertemuan ini berlangsung di Kampung Mayuberi.
Dalam pertemuan tersebut bupati menyerahkan bantuan dana kepada pihak korban untuk menuju tahapan perdamaian.
Bupati juga bertatap muka dengan keluarga korban, sekaligus mendengar apa yang menjadi permintaan dari keluarga korban.
Selanjutnya rombongan bupati berjalan kaki melewati medan perang, dan melewati lereng gunung menuju ke kubu keluarga Mom.
Saat pertemuan, bupati meminta kepada Suku Mom untuk menahan diri, tidak lagi angkat busur dan panah hingga tahapan proses adat perdamaian selesai.
Menurut Willem Wandik, pertikaian saudara ini berawal di Timika pada Maret 2019 lalu.
“Saat itu jatuh korban antara dua belah pihak, dan pemerintah daerah sudah mengambil tindakan untuk mendamaikan kedua bela pihak,” katanya.
Tetapi ternyata ada provokator yang tidak puas dengan prosesi perdamaian di Timika dan membawa perang ini ke Kabupaten Puncak.
Hingga akhirnya pecah perang saudara di Ilaga Utara yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa lagi.
Bupati menambahkan, tahapan perdamainan ini sudah di laksanakan selama satu minggu. “Kami telah bertemu dengan tokoh gereja, TNI, Polri, serta sudah dilakukan prosesi adat. Mereka memfasilitasi perdamaian ini,” paparnya.
Bupati juga mengajak masyarakat Puncak untuk berhenti mengangkat busur dan panah, dan lebih mengedepankan penyelesaian masalah dengan menggunakan hukum.
“Ketimbang dengan angkat panah, karena yang menderita nantinya anak dan istri,” tandasnya.
Sementara itu Kapolres Puncak Jaya AKBP Ari Purwanto menyambut baik niat dari kedua pihak yang ingin berdamai ini. “Sempat diwarnai persebatan yang cukup alot,” katanya.
Distrik Ilaga Utara terkena langsung dampak dari perang saudara tersebut.
Perang saudara yang terbawa dari Kabupaten Timika, Kwangki Narama, hingga Puncak ini telah menyebabkan setidaknya 6 warga tewas.
Sejumlah warga lainnya luka-luka terkena anak panah. Kondisi yang tegang membuat murid sekolah dasar di wilayah tersebut tidak dapat melakukan aktivitas belajar.
Kedua pihak saling curiga dan menjaga daerahnya dengan senjata busur dan anak panah. Pertikaian ini telah berlangsung sejak Maret 2019 yang mengakibatkan terganggunya keamanan di kabupaten tertinggi di Indonesia ini.
Guna mengakhiri perang saudara, Bupati Puncak Willem Wandik melakukan pertemuan dengan pihak Mom dan Hagabal. Pertemuan dilaksanakan di Kampung Mayuberi dan Kampung Oleiki, Distrik Ilaga Utara pada Rabu, 7 Agustus 2019 lalu.
Pertemuan dihadiri Kapolres Puncak Jaya dan Puncak AKBP Ari Purwanto dan Dandim 1714 Puncak Jaya dan Puncak Letkol Inf Agus Sunaryo.
Pertemuan awal dilakukan dengan pihak keluarga korban Hagabal dan Labene yang lebih banyak jatuh korban. Pertemuan ini berlangsung di Kampung Mayuberi.
Dalam pertemuan tersebut bupati menyerahkan bantuan dana kepada pihak korban untuk menuju tahapan perdamaian.
Bupati juga bertatap muka dengan keluarga korban, sekaligus mendengar apa yang menjadi permintaan dari keluarga korban.
Selanjutnya rombongan bupati berjalan kaki melewati medan perang, dan melewati lereng gunung menuju ke kubu keluarga Mom.
Saat pertemuan, bupati meminta kepada Suku Mom untuk menahan diri, tidak lagi angkat busur dan panah hingga tahapan proses adat perdamaian selesai.
Menurut Willem Wandik, pertikaian saudara ini berawal di Timika pada Maret 2019 lalu.
“Saat itu jatuh korban antara dua belah pihak, dan pemerintah daerah sudah mengambil tindakan untuk mendamaikan kedua bela pihak,” katanya.
Tetapi ternyata ada provokator yang tidak puas dengan prosesi perdamaian di Timika dan membawa perang ini ke Kabupaten Puncak.
Hingga akhirnya pecah perang saudara di Ilaga Utara yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa lagi.
Bupati menambahkan, tahapan perdamainan ini sudah di laksanakan selama satu minggu. “Kami telah bertemu dengan tokoh gereja, TNI, Polri, serta sudah dilakukan prosesi adat. Mereka memfasilitasi perdamaian ini,” paparnya.
Bupati juga mengajak masyarakat Puncak untuk berhenti mengangkat busur dan panah, dan lebih mengedepankan penyelesaian masalah dengan menggunakan hukum.
“Ketimbang dengan angkat panah, karena yang menderita nantinya anak dan istri,” tandasnya.
Sementara itu Kapolres Puncak Jaya AKBP Ari Purwanto menyambut baik niat dari kedua pihak yang ingin berdamai ini. “Sempat diwarnai persebatan yang cukup alot,” katanya.
(shf)