Kota Surabaya dan Sepenggal Kisah Pemanjat Siwalan
A
A
A
ADALAH keseimbangan dalam menata kehidupan kini menjadi tantangan yang baru di kota modern, termasuk di Kota Surabaya, Jawa Timur.
Percepatan laju pertumbuhan kota dengan bangunan modern mengerus kehidupan sejuk yang ada di Kota Pahlawan. Satu generasi penjaga alam dan kesuburan lahan itu mulai hilang, generasi pemanjat siwalan yang sempat tersohor di Kota Pahlawan.
Matahari tepat berada di atas kepala. Angin yang berhembus siang itu berjalan ringan untuk mengibas daun siwalan dan pohon pisang yang ada di Jurang Kuping, Surabaya. Di sepajang jalan, deretan jagung yang belum berbuah mengelilingi semua pematang sawah. Sisa lahan hijau yang ada di Surabaya.
Di tiap sawah ada genangan air yang masih tersisa. Dua hari ini hujan masih asyik turun, membasahi semua pematang.
Suasana di Jurang Kuping memang berbeda dengan kawasan lain di Surabaya. Meskipun panas menyengat, hawa sejuk tetap terasa. Duduk di bawah pohon siwalan yang dikelilingi padi dan jagung begitu nikmat. Suasana yang tak akan didapat lagi di kawasan lain di Surabaya.
Deretan pohon siwalan yang ada pun menarik perhatian. Kumpulan buahnya masih tetap utuh. Pohon yang tumbuh puluhan tahun itu tak tersentuh oleh tangan-tangan manusia. Buahnya tetap penuh dan semakin menua. “Tak ada lagi yang mau ambil. Sudah hilang para pemanjat saat ini,” ujar Slamin, 70, pemanjat pohon siwalan di Rejosari, Kelurahan Benowo, Selasa (9/4/2019).
Matanya masih menatap tajam ke arah pohon siswalan. Rambutnya yang putih tak menyurutkan kemampuannya untuk terus beraktifitas di rumah. Ia masih tangkas untuk beraktifitas.
Otot-otot kakinya terlihat kokoh yang terlihat menyembul ke permukaan kulit. Namun, usia tetap tak bisa dibohongi. Dirinya dalam dua tahun terakhir ini sudah memutuskan untuk berhenti sebagai pemanjat pohon siswalan.
“Sudah 48 tahun ini saya memanjat, kini waktunya untuk berhenti, tak lagi memanjat pohon siwalan,” ucapnya.
Keputusan untuk berhenti memang membuat hatinya getir. Selama 10 tahun terakhir ini dirinya tak bisa menemukan penerus tradisi memanjat siwalan. Kegagalan itu yang selalu menghantuinya di malam hari. Kalau belum juga ada yang memilih profesi dan kemampuan untuk memanjat, maka satu tradisi akan hilang dari bumi Surabaya.
Surabaya dan Sepenggal Kisah Pemanjat Siwalan
Slamin selalu berusaha untuk terus mencari. Namun, para pemuda yang ada di Kecamatan Pakal dan Benowo memilih untuk berprofesi lain. Bekerja di pabrik maupun jadi buruh kasar pelabuhan lebih dianggap mapan dengan gaji bulanan yang bisa diterima secara rutin. Penampilan yang rapi. Dan tentu saja perubahan martabat yang selalu dianggap mapan di mata masyarakat modern.
“Makanya tak ada yang mau lagi jadi pemanjat siwalan. Semua memilih untuk kerja di pabrik, tahun kemarin sempat ada satu. Tapi nggak tahan lama, akhirnya ya ditinggalkan,” ungkapnya.
Makanya, kata Slamin, tiap hari tak ada lagi yang rutin mengambil buah siwalan maupun melakukan sadapan nira untuk menghasilakn minuman khas Surabaya, yakni legen. Kondisi ini memang membuat hati miris. Hilangnya generasi penerus tak bisa dilepaskan dari pergerakan zaman yang sudah meninggalkan kebiasaan lama yang menjadi ciri khas Surabaya.
Jumlah pohon siwalan yang ada di Jurang Kuping sendiri masih ada sekitar 1.000 pohon. Jumlah itu menurun drastis dari tahun-taun sebelumnya yang masih tersisa 10.000 pohon. Semua itu, tak lepas dari pemakaian lahan hijau yang diubah menjadi perkantoran, perumahan serta bangunan lainnya untuk pengembangan kota.
“Punya saya saja masih ada 50 pohon. Tapi yang begitu, tak ada lagi yang memanfaatkan. Jadi umur saya yang sudah tua ini mampunya yang seminggu sekali. Kalau tiap hari memanjat sudah tak kuat lagi,” jelasnya.
Sambil mengenakan kemeja kotak-kotak yang dipadu celana pendek, Slamin bercerita tentang masa kejayaan pemanjat siwalan puluhan tahun silam. Untuk memanjat pohon memang membutuhkan keahlian.
Tinggi pohon siwalan yang mencapai 30 meter lebih membuat nyali bergetar. Apalagi kalau yang memanjat itu belum memiliki jam terbang tinggi. Makanya keahlian untuk memanjat pohon siwalan menjadi tradisi untuk mengukur keberanian dan nyali seseorang.
Rumah produksi legen yang dipakai oleh Slamin berada tepat di belakang kebun siwalan miliknya. Rumahnya terbuat dari kayu dengan lantai tanah yang masih pekat. Ada tiga meja dan deretan bangku panjang yang dijadikan tempat menjual legen.
Kalau ada yang memanjat, katanya, stok legen sebenarnya tak pernah surut. Tiap pohon saja bisa menghasilkan lima liter legen yang siap untuk disajikan. Kalau ada puluhan atau ratusan pohon siwalan, berarti ada ratusan liter tiap hari yang bisa diperoleh. Namun, semua itu tinggal kenangan saja kini.
Makanya harga legen dari Jurang Kuping kerap harganya tinggi. Kualitas legen yang dihasilkan memang berbeda dari daerah lainnya. Salah satu keunggulannya adalah rasa manis yang tak terbuat dari gula.
Sayangnya, produksi legen Jurang Kuping kini seret seiring dengan hilangnya generasi pemanjat siwalan yang juga memproduksi legen dengan citarasa tinggi.
“Es legen satu gelas pak diminum di sini, nanti tolong bungkuskan dua botol legen berukuran 1,5 liter,” sahut Saifuddin ketika masuk di warung Slamin.
Secepat kilat Slamin langsung bergerak ke belakang warung. Dituangnya legen yang disimpan dalam jirigen kecil. Legen yang segar pun disiapkan dalam gelas. Ia langsung menyajikan pada pelanggannya yang sudah menunggu.
“Tapi maaf, untuk dibawa pulang hanya ada 1,5 liter saja. Jadi nggak bisa bawa dua botol besar,” katanya.
Syaifuddin sendiri hanya membalas dengan anggukan. Sejak kecil, Jurang Kuping merupakan wilayah yang kerap dijadikan tempat bermainnya bersama teman-teman di masa kecil. Lokasi yang sejuk dan menyenangkan membuatnya kerasan untuk berlama-lama di sana.
Namun, ketika beranjak dewasa dirinya tak mau menjadi pemanjat siwalan. Baginya, pekerjaan itu sulit dan tak elit untuk dijalani. Saat ini, dirinya lenih memiliki bekerja di perusahaan swasta dengan gaji bulanan yang selalu ada tiap bulan.
“Kalau memanjat siwalan rasanya nggak enak kalau ditanya orang. Apalagi kalau orang tersebut tanya tentang profesi, memberikan jawaban sebagai pemanjat siwalan rasanya kurang keren,” ungkapnya.
Minimnya lahan hijau yang dulu jadi tempat siwalan untuk tumbuh membuat warga Surabaya cemas. Area hijau yang dijadikan tempat untuk mempertahankan pohon dan area persawahan terus berkurang.
Geliat properti yang terus naik membuat lahan hijau yang dulu ditanami siwalan kini mulai habis. Kebutuhan rumah yang tinggi menjadi pembenar hilangnya lahan yang dipakai untuk pohon siwalan. Kini, satu-satunya cara yang bisa dilakukan dengan menanam pohon siwalan di halaman rumah warga.
Total ruang terbuka hijau (RTH) yang ada di Surabaya tersisa 20% dari seluruh lahan yang tersebar di tiap wilayah. Jutaan pohon baru juga dikebut untuk ditanam. Jumlah itu kemungkinan bertambah dengan banyaknya penanaman pohon baru yang dilakukan oleh pemerintah, sekolah dan aktivis peduli lingkungan.
Percepatan laju pertumbuhan kota dengan bangunan modern mengerus kehidupan sejuk yang ada di Kota Pahlawan. Satu generasi penjaga alam dan kesuburan lahan itu mulai hilang, generasi pemanjat siwalan yang sempat tersohor di Kota Pahlawan.
Matahari tepat berada di atas kepala. Angin yang berhembus siang itu berjalan ringan untuk mengibas daun siwalan dan pohon pisang yang ada di Jurang Kuping, Surabaya. Di sepajang jalan, deretan jagung yang belum berbuah mengelilingi semua pematang sawah. Sisa lahan hijau yang ada di Surabaya.
Di tiap sawah ada genangan air yang masih tersisa. Dua hari ini hujan masih asyik turun, membasahi semua pematang.
Suasana di Jurang Kuping memang berbeda dengan kawasan lain di Surabaya. Meskipun panas menyengat, hawa sejuk tetap terasa. Duduk di bawah pohon siwalan yang dikelilingi padi dan jagung begitu nikmat. Suasana yang tak akan didapat lagi di kawasan lain di Surabaya.
Deretan pohon siwalan yang ada pun menarik perhatian. Kumpulan buahnya masih tetap utuh. Pohon yang tumbuh puluhan tahun itu tak tersentuh oleh tangan-tangan manusia. Buahnya tetap penuh dan semakin menua. “Tak ada lagi yang mau ambil. Sudah hilang para pemanjat saat ini,” ujar Slamin, 70, pemanjat pohon siwalan di Rejosari, Kelurahan Benowo, Selasa (9/4/2019).
Matanya masih menatap tajam ke arah pohon siswalan. Rambutnya yang putih tak menyurutkan kemampuannya untuk terus beraktifitas di rumah. Ia masih tangkas untuk beraktifitas.
Otot-otot kakinya terlihat kokoh yang terlihat menyembul ke permukaan kulit. Namun, usia tetap tak bisa dibohongi. Dirinya dalam dua tahun terakhir ini sudah memutuskan untuk berhenti sebagai pemanjat pohon siswalan.
“Sudah 48 tahun ini saya memanjat, kini waktunya untuk berhenti, tak lagi memanjat pohon siwalan,” ucapnya.
Keputusan untuk berhenti memang membuat hatinya getir. Selama 10 tahun terakhir ini dirinya tak bisa menemukan penerus tradisi memanjat siwalan. Kegagalan itu yang selalu menghantuinya di malam hari. Kalau belum juga ada yang memilih profesi dan kemampuan untuk memanjat, maka satu tradisi akan hilang dari bumi Surabaya.
Surabaya dan Sepenggal Kisah Pemanjat Siwalan
Slamin selalu berusaha untuk terus mencari. Namun, para pemuda yang ada di Kecamatan Pakal dan Benowo memilih untuk berprofesi lain. Bekerja di pabrik maupun jadi buruh kasar pelabuhan lebih dianggap mapan dengan gaji bulanan yang bisa diterima secara rutin. Penampilan yang rapi. Dan tentu saja perubahan martabat yang selalu dianggap mapan di mata masyarakat modern.
“Makanya tak ada yang mau lagi jadi pemanjat siwalan. Semua memilih untuk kerja di pabrik, tahun kemarin sempat ada satu. Tapi nggak tahan lama, akhirnya ya ditinggalkan,” ungkapnya.
Makanya, kata Slamin, tiap hari tak ada lagi yang rutin mengambil buah siwalan maupun melakukan sadapan nira untuk menghasilakn minuman khas Surabaya, yakni legen. Kondisi ini memang membuat hati miris. Hilangnya generasi penerus tak bisa dilepaskan dari pergerakan zaman yang sudah meninggalkan kebiasaan lama yang menjadi ciri khas Surabaya.
Jumlah pohon siwalan yang ada di Jurang Kuping sendiri masih ada sekitar 1.000 pohon. Jumlah itu menurun drastis dari tahun-taun sebelumnya yang masih tersisa 10.000 pohon. Semua itu, tak lepas dari pemakaian lahan hijau yang diubah menjadi perkantoran, perumahan serta bangunan lainnya untuk pengembangan kota.
“Punya saya saja masih ada 50 pohon. Tapi yang begitu, tak ada lagi yang memanfaatkan. Jadi umur saya yang sudah tua ini mampunya yang seminggu sekali. Kalau tiap hari memanjat sudah tak kuat lagi,” jelasnya.
Sambil mengenakan kemeja kotak-kotak yang dipadu celana pendek, Slamin bercerita tentang masa kejayaan pemanjat siwalan puluhan tahun silam. Untuk memanjat pohon memang membutuhkan keahlian.
Tinggi pohon siwalan yang mencapai 30 meter lebih membuat nyali bergetar. Apalagi kalau yang memanjat itu belum memiliki jam terbang tinggi. Makanya keahlian untuk memanjat pohon siwalan menjadi tradisi untuk mengukur keberanian dan nyali seseorang.
Rumah produksi legen yang dipakai oleh Slamin berada tepat di belakang kebun siwalan miliknya. Rumahnya terbuat dari kayu dengan lantai tanah yang masih pekat. Ada tiga meja dan deretan bangku panjang yang dijadikan tempat menjual legen.
Kalau ada yang memanjat, katanya, stok legen sebenarnya tak pernah surut. Tiap pohon saja bisa menghasilkan lima liter legen yang siap untuk disajikan. Kalau ada puluhan atau ratusan pohon siwalan, berarti ada ratusan liter tiap hari yang bisa diperoleh. Namun, semua itu tinggal kenangan saja kini.
Makanya harga legen dari Jurang Kuping kerap harganya tinggi. Kualitas legen yang dihasilkan memang berbeda dari daerah lainnya. Salah satu keunggulannya adalah rasa manis yang tak terbuat dari gula.
Sayangnya, produksi legen Jurang Kuping kini seret seiring dengan hilangnya generasi pemanjat siwalan yang juga memproduksi legen dengan citarasa tinggi.
“Es legen satu gelas pak diminum di sini, nanti tolong bungkuskan dua botol legen berukuran 1,5 liter,” sahut Saifuddin ketika masuk di warung Slamin.
Secepat kilat Slamin langsung bergerak ke belakang warung. Dituangnya legen yang disimpan dalam jirigen kecil. Legen yang segar pun disiapkan dalam gelas. Ia langsung menyajikan pada pelanggannya yang sudah menunggu.
“Tapi maaf, untuk dibawa pulang hanya ada 1,5 liter saja. Jadi nggak bisa bawa dua botol besar,” katanya.
Syaifuddin sendiri hanya membalas dengan anggukan. Sejak kecil, Jurang Kuping merupakan wilayah yang kerap dijadikan tempat bermainnya bersama teman-teman di masa kecil. Lokasi yang sejuk dan menyenangkan membuatnya kerasan untuk berlama-lama di sana.
Namun, ketika beranjak dewasa dirinya tak mau menjadi pemanjat siwalan. Baginya, pekerjaan itu sulit dan tak elit untuk dijalani. Saat ini, dirinya lenih memiliki bekerja di perusahaan swasta dengan gaji bulanan yang selalu ada tiap bulan.
“Kalau memanjat siwalan rasanya nggak enak kalau ditanya orang. Apalagi kalau orang tersebut tanya tentang profesi, memberikan jawaban sebagai pemanjat siwalan rasanya kurang keren,” ungkapnya.
Minimnya lahan hijau yang dulu jadi tempat siwalan untuk tumbuh membuat warga Surabaya cemas. Area hijau yang dijadikan tempat untuk mempertahankan pohon dan area persawahan terus berkurang.
Geliat properti yang terus naik membuat lahan hijau yang dulu ditanami siwalan kini mulai habis. Kebutuhan rumah yang tinggi menjadi pembenar hilangnya lahan yang dipakai untuk pohon siwalan. Kini, satu-satunya cara yang bisa dilakukan dengan menanam pohon siwalan di halaman rumah warga.
Total ruang terbuka hijau (RTH) yang ada di Surabaya tersisa 20% dari seluruh lahan yang tersebar di tiap wilayah. Jutaan pohon baru juga dikebut untuk ditanam. Jumlah itu kemungkinan bertambah dengan banyaknya penanaman pohon baru yang dilakukan oleh pemerintah, sekolah dan aktivis peduli lingkungan.
(vhs)