Mahalnya Kopi Saat Zaman Penjajahan hingga Seharga Terali Penjara
A
A
A
MINUM kopi kini telah menjadi budaya banyak kalangan. Lantaran telah membudaya itu, kini tumbuh subur warung-warung kopi, mulai kelas bawah hingga sekelas kafe.
Kopi juga telah menjadi magnet bagi pelaku ekonomi untuk mengais untung. Beragam kopi bisa dinikmati di negeri ini.
Lantaran memang, Nusantara yang kaya akan ragam tanaman kopi.Sebut saja kopi gayo dari Aceh ; Arabika Kintamani, Bali ; Arabika Toraja ; Arabika Java Ijen Raung ; Liberika Rangsang Meranti, Riau ; Arabika Flores Bajawa dan Robusta Temanggung. Jenis-jenis kopi ini bahkan telah mendunia.
Tak hanya itu saja, ada ratusan jenis kopi yang bermunculan dari masing-masing daerah. Seakan menjadi kekuatan lokal, kopi-kopi baru itu menjadi identitas. Diakui, kopi menjadi komoditas yang mampu menggerakkan banyak kalangan, mulai dari petani hingga pelaku usaha.
Namun dibalik itu, cerita sejarah perdagangan kopi di masa penjajahan kolonial tidaklah secerah saat ini. Seperti yang dikisahkan Ayuhanafiq, penyusur sejarah asal Mojokerto. Di zaman penjajahan, menurutnya, ternyata orang Jawa tidak bisa bebas minum kopi.
Meski tanaman kopi itu ada di sekitarnya namun hanya pihak-pihak tertentu yang bisa menjualnya. Jika tidak hati-hati minum kopi bisa masuk terali besi.
Merunut sejarah, kata Ayuhanafiq, pada suatu hari di desa yang ada di bagian selatan Mojokerto, beberapa orang penduduk pribumi ditangkap. Mereka kemudian dikeler menuju rumah controller (pengawas kecamatan) guna diperiksa. Setelah dicurigai adanya tindak kejahatan, maka penduduk itu dikirimkan ke wilayah perkotaan Mojokerto untuk disidangkan.
Bersidanglah para anggota Landraad (pengadilan pribumi) Kabupaten Mojokerto. Dua orang wanita tua dan dua pria dihadapkan pada dewan hakim. Penduduk desa itu didakwa telah memperdagangkan kopi secara ilegal. Di rumahnya telah ditemukan kopi yang dipetik dari kebunnya dan dijual pada orang lain.
Dalam sidang itu, tiga orang yang menyimpan dan menjual sekurangnya 13 kati biji kopi divonis bersalah dan dijatuhi hukuman kerja paksa selama satu bulan. Sedangkan seorang lainnya dibebaskan sebab biji kopi yang dipetiknya sudah digoreng dan ditumbuk jadi kopi bubuk.
Menurut Yuhan, sapaan akrab Ayuhanafiq, saat itu kopi memang komoditi penting pada masa taman paksa. Perkebunan kopi di Mojokerto ada di daerah pegunungan Anjasmoro wilayah Kawedanan Jabung.
Pada lahan pegunungan itu sekurangnya ada 6 perkebunan (ondermening) yang membudidayakan kopi. ”Perkebunan tersebut dimiliki oleh orang Belanda. Hasil perkebunan itu dijual dalam bentuk biji kopi ke Eropa,” tutur Yuhan.
Sebagian penduduk kemudian ikut menanam kopi secara mandiri di lahan miliknya. Hasilnya akan dijual kepada perkebunan yang memiliki hak monopoli perdagangan kopi di sekitar perkebunan. Tentu saja harga jual ditetapkan oleh pihak perkebunan tersebut dengan nilai yang sangat murah.
Penduduk yang ingin mendapatkan harga jual secara wajar, bisa menjual secara sembunyi. Praktik jual beli gelap itu semakin marak karena orang mulai mengenal nikmatnya minum kopi. Nasib naas rupanya menimpa keempat orang yang telah diajukan ke pengadilan tersebut. Ancaman hukuman bisa saja bertambah dengan denda uang hingga f.1000 gulden.
Ternyata praktik hukuman pada penduduk yang ketahuan menjual biji kopi miliknya itu mulai digugat. Orang Belanda peranakan seperti Multatuli menggugat praktik tanam paksa. ”Gaung protes itu kian menguat hingga menggoyahkan sistem monopoli yang sudah berjalan sejak tahun 1.830 itu,” kata Yuhan kembali berkisah.
Pada 19 Nopember 1866, keluarlah keputusan Hoog Gerechtshof atau Mahkamah Agung yang menghapus hukuman bagi penduduk yang menjual biji kopinya. Berdasarkan keputusan itu pula maka tiga orang penduduk yang telah divonis bersalah itu kemudian dibebaskan dari hukuman.
”Menyusul keputusan itu, lalu dibuatlah ketentuan bahwa penanaman kopi harus melalui izin kepala desa dan diawasi oleh perangkat desa. Aturan itu dibuat untuk mengontrol tanaman kopi agar tidak berlebihan dan harga komoditas andalan pemerintah kolonial tersebut tidak jatuh,” paparnya.
Sejak itu perdagangan kopi rakyat meningkat. Orang awam bebas minum kopi tanpa takut ditangkap aparat. Bukan hanya di rumah, kopi juga mulai dijual di warung-warung rakyat.
Kopi juga telah menjadi magnet bagi pelaku ekonomi untuk mengais untung. Beragam kopi bisa dinikmati di negeri ini.
Lantaran memang, Nusantara yang kaya akan ragam tanaman kopi.Sebut saja kopi gayo dari Aceh ; Arabika Kintamani, Bali ; Arabika Toraja ; Arabika Java Ijen Raung ; Liberika Rangsang Meranti, Riau ; Arabika Flores Bajawa dan Robusta Temanggung. Jenis-jenis kopi ini bahkan telah mendunia.
Tak hanya itu saja, ada ratusan jenis kopi yang bermunculan dari masing-masing daerah. Seakan menjadi kekuatan lokal, kopi-kopi baru itu menjadi identitas. Diakui, kopi menjadi komoditas yang mampu menggerakkan banyak kalangan, mulai dari petani hingga pelaku usaha.
Namun dibalik itu, cerita sejarah perdagangan kopi di masa penjajahan kolonial tidaklah secerah saat ini. Seperti yang dikisahkan Ayuhanafiq, penyusur sejarah asal Mojokerto. Di zaman penjajahan, menurutnya, ternyata orang Jawa tidak bisa bebas minum kopi.
Meski tanaman kopi itu ada di sekitarnya namun hanya pihak-pihak tertentu yang bisa menjualnya. Jika tidak hati-hati minum kopi bisa masuk terali besi.
Merunut sejarah, kata Ayuhanafiq, pada suatu hari di desa yang ada di bagian selatan Mojokerto, beberapa orang penduduk pribumi ditangkap. Mereka kemudian dikeler menuju rumah controller (pengawas kecamatan) guna diperiksa. Setelah dicurigai adanya tindak kejahatan, maka penduduk itu dikirimkan ke wilayah perkotaan Mojokerto untuk disidangkan.
Bersidanglah para anggota Landraad (pengadilan pribumi) Kabupaten Mojokerto. Dua orang wanita tua dan dua pria dihadapkan pada dewan hakim. Penduduk desa itu didakwa telah memperdagangkan kopi secara ilegal. Di rumahnya telah ditemukan kopi yang dipetik dari kebunnya dan dijual pada orang lain.
Dalam sidang itu, tiga orang yang menyimpan dan menjual sekurangnya 13 kati biji kopi divonis bersalah dan dijatuhi hukuman kerja paksa selama satu bulan. Sedangkan seorang lainnya dibebaskan sebab biji kopi yang dipetiknya sudah digoreng dan ditumbuk jadi kopi bubuk.
Menurut Yuhan, sapaan akrab Ayuhanafiq, saat itu kopi memang komoditi penting pada masa taman paksa. Perkebunan kopi di Mojokerto ada di daerah pegunungan Anjasmoro wilayah Kawedanan Jabung.
Pada lahan pegunungan itu sekurangnya ada 6 perkebunan (ondermening) yang membudidayakan kopi. ”Perkebunan tersebut dimiliki oleh orang Belanda. Hasil perkebunan itu dijual dalam bentuk biji kopi ke Eropa,” tutur Yuhan.
Sebagian penduduk kemudian ikut menanam kopi secara mandiri di lahan miliknya. Hasilnya akan dijual kepada perkebunan yang memiliki hak monopoli perdagangan kopi di sekitar perkebunan. Tentu saja harga jual ditetapkan oleh pihak perkebunan tersebut dengan nilai yang sangat murah.
Penduduk yang ingin mendapatkan harga jual secara wajar, bisa menjual secara sembunyi. Praktik jual beli gelap itu semakin marak karena orang mulai mengenal nikmatnya minum kopi. Nasib naas rupanya menimpa keempat orang yang telah diajukan ke pengadilan tersebut. Ancaman hukuman bisa saja bertambah dengan denda uang hingga f.1000 gulden.
Ternyata praktik hukuman pada penduduk yang ketahuan menjual biji kopi miliknya itu mulai digugat. Orang Belanda peranakan seperti Multatuli menggugat praktik tanam paksa. ”Gaung protes itu kian menguat hingga menggoyahkan sistem monopoli yang sudah berjalan sejak tahun 1.830 itu,” kata Yuhan kembali berkisah.
Pada 19 Nopember 1866, keluarlah keputusan Hoog Gerechtshof atau Mahkamah Agung yang menghapus hukuman bagi penduduk yang menjual biji kopinya. Berdasarkan keputusan itu pula maka tiga orang penduduk yang telah divonis bersalah itu kemudian dibebaskan dari hukuman.
”Menyusul keputusan itu, lalu dibuatlah ketentuan bahwa penanaman kopi harus melalui izin kepala desa dan diawasi oleh perangkat desa. Aturan itu dibuat untuk mengontrol tanaman kopi agar tidak berlebihan dan harga komoditas andalan pemerintah kolonial tersebut tidak jatuh,” paparnya.
Sejak itu perdagangan kopi rakyat meningkat. Orang awam bebas minum kopi tanpa takut ditangkap aparat. Bukan hanya di rumah, kopi juga mulai dijual di warung-warung rakyat.
(vhs)