Ini Kata Kemenag soal Pemecatan Dosen IAIN Bukittinggi Hayati
A
A
A
JAKARTA - Pemecatan Hayati Syafri dosen Bahasa Inggris di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Sumatera Barat oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI terus berbuntut panjang. Setelah Hayati bermaksud melakukan perlawanan dengan banding dan melayangkan gugatan ke PTUN, kini giliran Kemenag melakukan klarifikasi.
Kepala Biro Humas Data dan Informasi Kemenag RI, Mastuki mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan jika Hayati melakukan upaya hukum jika keberatan terhadap putusan pemecatan dirinya.
"Banding ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek) ataupun ke PTUN memang hak dari pegawai yang bersangkutan. Disilakan menggunakan hak jika ada keberatan terhadap putusan tersebut," kata Mastuki kepada SINDOnews, Selasa (26/2/2019). (Baca juga: Yakin Pemberhentiannya karena Bercadar, Dosen Ini Lakukan Perlawanan)
Sementara berkenaan dengan PNS lain yang tak masuk kerja, Mastuki menegaskan sebaiknya laporkan disertai bukti-bukti yang ada.
"Pasti Inspektorat Jenderal Kemenag akan merespon dan menindakanjutinya. Karena tiap kasus prlanggaran disiplin pegawai ditangani dengan aturan yang sama. Tak ada pembedaan. Jika memang kasusnya memenuhi syarat, pasti keputusannya sama," ujar Mastuki.
Sebelumnya Inspektorat Jenderal Kementerian Agama membenarkan bahwa Hayati Syafri diberhentikan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di IAIN Bukuttinggi yang tercatat sebagai dosen Bahasa Inggris.
"Hayati Syafri diberhentikan sebagai ASN karena melanggar disiplin pegawai. Keputusan ini didasarkan pada rekam jejak kehadirannya secara elektronik melalui data finger printnya di kepegawaian IAIN Bukittinggi," kata Kasubbag Tata Usaha dan Humas Itjen Kementerian Agama, Nurul Badruttamam, dalam pernyataan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (26/2/2019).
"Berdasarkan hasil audit Itjen, ditemukan bukti valid bahwa selama tahun 2017 Hayati Syafri terbukti secara elektronik tidak masuk kerja selama 67 hari kerja," sambungnya.
Penegasan Nurul ini sekaligus mengklarifikasi rumor bahwa Hayati diberhentikan karena cadar. Menurut Nurul, hal itu tidak benar karena pertimbangan pemberhentian Hayati semata alasan disiplin.
Namun hal ini bertolak belakang dengan penjelasan Hayati kepada MNC Media soal pemecatan dirinya. Hayati lebih meyakini, jika pemecatan dirinya, karena cadar yang digunakannya saat mengajar di kampus.
Sebab, lanjut Hayati, pada Mei 2018, dia pernah diminta melepaskan cadar oleh pejabat Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI di kampus IAIN Bukittinggi. Saat itu pejabat tersebut mengatakan, jika tetap bercadar maka dia akan diberi sanksi dengan alasan indisipliner ketidakhadiran selama 67 hari kerja.
"Ini merupakan sesuatu yang membuat saya terkejut, sebenarnya saya mengasumsikan ini adalah pelarian dari kasus cadar yang saya hadapi sebelumnya. Saya yakin seperti itu karena banyak indikator yang menguatkan, misalnya, kalau memang diberhentikan karena ketidakhadiran karena melanjutkan kuliah S3, mengabdi pada masyarakat, penelitian, menulis dan lain-lain, tapi ternyata teman-teman saya yang melakukan hal yang sama tidak diberhentikan, bahkan yang ketidakhadirannya lebih dari saya dan tidak lanjut kuliah S3 mereka tidak dikasuskan dan juga tidak diberhentikan," beber Hayati.
Karenanya dia mengajukan banding atas keputusan pemberhentiannya. "Jika banding ditolak, Saya akan menggugat hingga ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta," tandasnya.
Kepala Biro Humas Data dan Informasi Kemenag RI, Mastuki mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan jika Hayati melakukan upaya hukum jika keberatan terhadap putusan pemecatan dirinya.
"Banding ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek) ataupun ke PTUN memang hak dari pegawai yang bersangkutan. Disilakan menggunakan hak jika ada keberatan terhadap putusan tersebut," kata Mastuki kepada SINDOnews, Selasa (26/2/2019). (Baca juga: Yakin Pemberhentiannya karena Bercadar, Dosen Ini Lakukan Perlawanan)
Sementara berkenaan dengan PNS lain yang tak masuk kerja, Mastuki menegaskan sebaiknya laporkan disertai bukti-bukti yang ada.
"Pasti Inspektorat Jenderal Kemenag akan merespon dan menindakanjutinya. Karena tiap kasus prlanggaran disiplin pegawai ditangani dengan aturan yang sama. Tak ada pembedaan. Jika memang kasusnya memenuhi syarat, pasti keputusannya sama," ujar Mastuki.
Sebelumnya Inspektorat Jenderal Kementerian Agama membenarkan bahwa Hayati Syafri diberhentikan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di IAIN Bukuttinggi yang tercatat sebagai dosen Bahasa Inggris.
"Hayati Syafri diberhentikan sebagai ASN karena melanggar disiplin pegawai. Keputusan ini didasarkan pada rekam jejak kehadirannya secara elektronik melalui data finger printnya di kepegawaian IAIN Bukittinggi," kata Kasubbag Tata Usaha dan Humas Itjen Kementerian Agama, Nurul Badruttamam, dalam pernyataan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (26/2/2019).
"Berdasarkan hasil audit Itjen, ditemukan bukti valid bahwa selama tahun 2017 Hayati Syafri terbukti secara elektronik tidak masuk kerja selama 67 hari kerja," sambungnya.
Penegasan Nurul ini sekaligus mengklarifikasi rumor bahwa Hayati diberhentikan karena cadar. Menurut Nurul, hal itu tidak benar karena pertimbangan pemberhentian Hayati semata alasan disiplin.
Namun hal ini bertolak belakang dengan penjelasan Hayati kepada MNC Media soal pemecatan dirinya. Hayati lebih meyakini, jika pemecatan dirinya, karena cadar yang digunakannya saat mengajar di kampus.
Sebab, lanjut Hayati, pada Mei 2018, dia pernah diminta melepaskan cadar oleh pejabat Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI di kampus IAIN Bukittinggi. Saat itu pejabat tersebut mengatakan, jika tetap bercadar maka dia akan diberi sanksi dengan alasan indisipliner ketidakhadiran selama 67 hari kerja.
"Ini merupakan sesuatu yang membuat saya terkejut, sebenarnya saya mengasumsikan ini adalah pelarian dari kasus cadar yang saya hadapi sebelumnya. Saya yakin seperti itu karena banyak indikator yang menguatkan, misalnya, kalau memang diberhentikan karena ketidakhadiran karena melanjutkan kuliah S3, mengabdi pada masyarakat, penelitian, menulis dan lain-lain, tapi ternyata teman-teman saya yang melakukan hal yang sama tidak diberhentikan, bahkan yang ketidakhadirannya lebih dari saya dan tidak lanjut kuliah S3 mereka tidak dikasuskan dan juga tidak diberhentikan," beber Hayati.
Karenanya dia mengajukan banding atas keputusan pemberhentiannya. "Jika banding ditolak, Saya akan menggugat hingga ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta," tandasnya.
(sms)