Ini 7 Gunung Api Aktif di Sulut yang Patut Diwaspadai selain Karangetang

Jum'at, 15 Februari 2019 - 10:00 WIB
Ini 7 Gunung Api Aktif di Sulut yang Patut Diwaspadai selain Karangetang
Ini 7 Gunung Api Aktif di Sulut yang Patut Diwaspadai selain Karangetang
A A A
MANADO - Setelah erupsi terakhir pada tahun 2016, Gunung Karangetang kembali menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanik sejak akhir bulan November 2018 dimana aktivitasnya berpusat di Kawah Dua (Kawah Utara). Puncaknya pada 2 Februari 2019, gunung yang berada di Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara (Sulut) ini mengalami erupsi.

Selain gunung karangetang, ada 7 gunung api aktif yang juga patut di waspadai di Sulut. Ini membuat ancaman bencana geologi seperti gempa bumi dan gunung meletus di Sulut patut diwaspadai akibat adanya 8 gunung api aktif tersebut. Apalagi sampai saat ini 2 di antara 8 gunung tersebut yakni Gunung Karangetang dan Gunung Soputan masih berstatus siaga level III.

"Secara nasional, ada empat gunung yang berstatus level III siaga, dan duanya ada di Sulawesi Utara, satu Karangetang, satu Soputan, kedua gunung itu patut diwaspadai dan menjadi ancaman bencana geologi di tahun 2019 karena statusnya belum turun, sampai saat ini pun masih level III siaga," ujar Kasub perencanaan keuangan dan data informasi BPBD Sulut, Edwin Monding.

Berikut 7 gunung api aktif di Sulut yang berpotensi berbahaya yang dirangkum dari berbagai sumber:

1. Gunung Awu

Gunung dengan ketinggian 1320 mdpl ini berada di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Propinsi Sulawesi Utara. Berdasarkan catatan sejarah gunung ini termasuk gunung api yang mempunyai masa istirahat yang panjang. Tetapi setiap letusannya selalu tergolong besar.

Berdasarkan catatan sejarah yang diketahui, dari tahun 1640 sampai dengan 1966 telah terjadi 5 kali erupsi yang menelan korban serta kerugian yang cukup besar. Tahun 1711 erupsi mengakibatkan daerah antara Tabuhan dan Tahuna hancur. Korban manusia sekitar 3.000 orang, 2.030 orang di Kendhar, diantaranya raja Syamsialam, 70 orang di Koloza dan 408 orang di Tahuna.

Tahun 1812 terjadi erupsi besar dan akibat serupa dengan yang terjadi pada tahun 1711. Pohon kelapa hancur di seluruh pantai. 2.806 jiwa penduduk Tabuhan, Khendar dan Kolengan menjadi korban. Erupsi disertai awan panas, lahar erupsi dan lahar hujan. Kampung Trijang, pondok Pembalarian, Labakassin, Patung dan Hilang sama sekali hancur.

Tahun 1892 terjadi erupsi besar Hampir semua kampung sebelah pantai utara hancur. Kampung yang paling parah adalah yang terletak antara Sawang dan Tabuka. Jumlah korban semuanya 1.532 orang, antara lain dari daerah Mala, Akembuala, Anggis, Mitung, Kolengan, Metih, Khendar dan Trijang. Selain awan panas, lahar juga mengakibatkan banyak korban berjatuhan di gereja Sawang dan Kalasugi.

Pada tahun 1966 pukul 08.20 tiba-tiba kelihatan asap tebal membubung naik dari kawah Gunung Awu, kemudian berekspansi jauh ke udara menyerupai awan ledakan sebuah bom atom. Kepulan asap tebal ini segera disusul suara gemuruh yang kemudian berhenti beberapa saat. Kira-kira satu jam kemudian terdengar suara ledakan yang lebih kuat, segera disusul asap tebal dan abu yang menutupi seluruh daerah puncak.

Peristiwa ini berlangsung sampai dengan pukul 13.30. Akibat erupsi, daerah yang dilanda awan panas meliputi daerah lingkaran keliling kawah Gunung Awu dengan jari-jari maksimum 5 km dari kawah, dan di beberapa lembah sungai sampai tepi laut sejauh 7 km. Daerah tersebut musnah sama sekali dan tertimbun endapan awan panas.

Daerah yang dilanda lahar erupsi. Meliputi daerah sungai yang berhulu di daerah puncak. Daerah yang tertutup bahan lepas. Terutama di sekitar Kendhar yang punah sama sekali, dan daerah lainnya. Korban 39 orang, terdiri dari 2 orang petugas gunungapi, 13 orang di Kendhar , 1 orang di Sawang, 5 orang di Baku, dan 18 orang di Mala.

2. Gunung Ruang

Sejak tahun 1603 pulau Tagulandang telah diketahui sebagai pulau gunung api, meskipun tidak pernah dilaporkan. Erupsi Gunung Ruang berulang kali terjadi dalam sejarah dan tercatat sejak tahun 1808, 1810, 1840, 1856, 1870, 1871, 1874, 1889, 1904, 1905, 1914, 1915, 1918, 1940, 1946, 1949 dan 2002.

Pada tahun 1808 Erupsi meledak dari kawah pusatnya. Seluruh tubuh gunung api tertimbun bahan letusan mengakibatkan Pulau Tangulandang sebelah barat dan selatan rusak namun tidak ada korban manusia. 27 - 28 Agustus 1870, terjadi erupsi agak kuat yang membuat Pulau Ruang rusak total, Rumah, hewan dan tumbuhan semuanya musnah.

Tahun 1871 Erupsi diawali oleh gempa terasa agak hebat yang terjadi di pertengahan Februari 1871, pada 2 Maret terjadi longsoran di puncak, pada 3 Maret malam terjadi lagi gempa, di udara terdengar suara gemuruh bagaikan erupsi dan tidak lama kemudian datang gelombang pasang melanda pantai Tagulandang.

Gelombang itu tingginya diperkirakan sampai 25 m dan menyerang sejauh 180 m dari pantai. Gelombang pertama tak lama kemudian disusul oleh yang kedua. Di Buhias jatuh korban 300 sampai 400 orang. Erupsi Gunung api Ruang baru terjadi kemudian pada 9 dan 14 Maret, menyemburkan batu dan pasir.

15 November 1874 terjadi erupsi hebat menyemburkan abu dan batuan pijar, asap erupsi membumbung dari kawah, longsoran meluncur di sepanjang lereng gunung api, tanaman banyak yang rusak dan rumah penduduk terbakar. Tahun 2002 Erupsi yang bersifat eksplosif dengan tinggi kolom letusan mencapai kurang lebih 20 KM yang disertai dengan aliran awan panas dan melanda wilayah seluas 1,6 kilometer bujur sangkar. Sedikitnya 1.200 warga harus diungsikan dan sejumlah rumah warga hancur.

Setelah sempat tertidur selama 13 tahun, gunung api yang bertipe strato dengan ketinggian 725 meter di atas pemukaan laut ini kembali erupsi pada Maret 2015. intensitas kegempaan gunung yang terletak di Pulau Tagulandang itu fluktuatif antara 25 hingga 30 kali dalam rentang waktu 5 hingga enam jam.

Bahaya erupsi gunung api Ruang terutama berupa hempasan awan panas dan aliran lava yang dapat melanda seluruh pulau. Sedangkan bahaya terhadap pulau di sekitarnya yang berdekatan dapat berupa jutuhan bom vulkanik, lapili sampai abu yang mungkin masih panas. Bahaya lahar hanya terbatas di Pulau Ruang saja.

3. Gunung Tangkoko

Erupsi Gunung Tangkoko bersifat explosif dan efusif, explosif merupakan erupsi dengan produk berupa abu, lapilli maupun bom vulkanik, sedang efusif adalah lelehan berupa aliran lava. Sejarah erupsi Gunung Tangkoko tercatat sejak tahun 1680, periode erupsi terpendek berjarak 3 tahun dan yang terpanjang 107 Tahun, peningkatan kegiatan terakhir terjadi tahun 1952.

Gunung api yang terletak di Kota Bitung pada ketinggian 1149 mdpl ini merupakan gunung api strato yang mempunyai kawah besar dan dalam serta gunung api parasit Gunung Batu Angus dengan ketinggian 700 mdpl. Gunung Tangkoko berbentuk elips dengan ukuran kawah 2 km x 1 km dan kedalaman 200 m.

Di dasar kawah terdapat sumbat lava yang berbentuk kubah setinggi 100 m, diduga sumbat tersebut terbentuk dalam kegiatan tahun 1801 Di lereng timur sejauh 2 km dari Gunung Tangkoko terletak kubah lava Gunung Batu Angus dan leleran lava sepanjang 2 km. Bagian atas kawah Gunung Batu Angus berukuran 325 m x 300 m dan diameter dasar kawah 200 m, sedangkan kedalamannya 90 m.

Erupsi Gunung Tangkoko tercatat sejak abad ke-17 (1680) hingga abad ke- 20 (1952). Tahun 1801 gunung tangkoko menyemburkan abu, pasir gunung api dan batu gunungg api berwarna kemerahan seperti terbakar. Abu dan pasir mengepul ke atas angkasa, sehingga abu sampai ke Airmadidi, Kema, Moorubi, bahkan sampai Manado. Setelah itu muncul sumbat lava yang berupa bukit kecil di dasar kawah gunung tangkoko dan timbulnya kerucut gunung api parasit Batuangus.

4. Gunung Mahawu

Menurut Data Dasar Gunung api Indonesia, sebelum tahun 1789 telah terjadi 3 kali letusan dari kawah pusat. Tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai kegiatan ini, baik tahun maupun keterangan kegiatan dari Gunung yang terletak di Kota Tomohon pada ketinggian 1331 mdpl.

Tahun 1789 terjadi Letusan dari kawah pusat, menimbulkan kerusakan tanah garapan, tahun 1846 Letusan freatik dari kawah parasit dan tahun 1904 Letusan dari kawah pusat. Sedangkan letusan tahun 1958, getarannya tercatat oleh seismograf di Pos Kakaskasen selama 78 menit, tetapi yang terasa hanya seketika saja dan terjadi secara mendadak, karena sebelumnya tidak ada getaran yang tercatat maupun getaran terasa.

Peningkatan kegiatan vulkanik yang teramati setelah tahun 1958 adalah Tahun 1974 Bulan Maret, terjadi semburan-semburan lumpur setinggi
0,5 meter. Titik kegiatan berada di tengah danau kawah. Tahun 1977 Bulan November, seluruh dasar kawah digenangi air. Di tengah-tengah terdapat bualan. Suhu air naik menjadi 650 C (normal 200 C). Asap kawah terlihat dari Pos setinggi 200 meter.

Tahun 1978 Kepulan asap putih tebal merata diatas permukaan air, suhu 700 C. Tahun 1987 Warna air hijau keruh, suhunya 450 C sampai 480 C. Tahun 1990 Suhu air 490 C. Asap tipis setinggi 100 meter. Dari produk letusan, sejarah kegiatan, bentuk dan struktur yang dapat dikenali menunjukkan bahwa pada masa lalu aktifitas vulkanik Gunung Mahawu cukup besar.

Adanya kaldera dan struktur lainnya mengindikasikan kegiatan magmatis besar yang kemudian diikuti oleh kegiatan struktur sesar. Disamping itu ditemukan indikasi pernah terjadi letusan samping yang menghasilkan lava. Sejarah kegiatan yang tercatat dalam waktu sejarah sebagian besar berupa letusan freatik dan freato magmatik, sedangkan yang bersifat murni magmatis relatif tidak terjadi.

5. Gunung Lokon.

Sebelum tahun 1800 selang waktu erupsi sangat lama (400 tahun), tetapi sesudah 1949 menunjukkan peningkatan frekuensi yang sangat tajam, selang waktu erupsi bervariasi antara 1 - 4 tahun, rata-rata 3 tahun. Erupsi besar terakhir terjadi tahun 1991.

Bila terjadi erupsi besar, maka bahaya utama erupsi Gunung Lokon atau bahaya primer (bahaya langsung akibat erupsi) adalah luncuran awan panas, lontaran piroklastik (bom vulkanik, lapili, pasir dan abu) dan mungkin aliran lava. Sedangkan bahaya sekunder (bahaya tidak langsung dari erupsi) adalah lahar hujan yang terjadi setelah erupsi apabila turun hujan lebat di sekitar puncak.

Gejala Gunung Lokon menjelang meletus pada umumnya berupa menebalnya asap kawah, tingginya berfluktuasi antara 400 - 600 m di atas bibir kawah. Makin lama asap tersebut makin menebal dan suatu saat akan berubah warna menjadi kelabu, yang menandakan bahwa material berukuran abu sudah terbawa keluar.

Seperti pada 9 Februari 2002 terjadi erupsi abu, hembusan asap berwarna hitam tebal mencapai tinggi 1000 m tertiup angin ke arah tenggara. Endapan abu tersebar di sekitar Desa Kakaskasen III, Talete I, Talete II, Rurukan dan sebagian di sekitar Tondano dengan ketebalan antara 0,5 - 2 mm. 10 April, pukul 23.00 terjadi erupsi. Dalam suasana gelap terlihat lontaran material pijar dan jatuh kembali ke dalam kompleks kawah.

Asap erupsi mencapai tinggi 1000 m di atas bibir kawah. 12 April, pukul 18.16 wita erupsi susulan terjadi. Dalam suasana yang sudah mulai redup terlihat lontaran material pijar dan jatuh kembali ke dalam kompleks kawah. Asap erupsi mencapai tinggi 1000 m di atas bibir kawah. 13 April, pukul 06.30 dan 08.03 terjadi erupsi abu. Asap erupsi berwarna kelabu setinggi antara 50 - 75 m di atas bibir kawah. 23 Desember, pukul 05.32 terjadi erupsi abu. Asap erupsi berwarna kelabu mencapai tinggi 800 m di atas bibir kawah.

6. Gunung Soputan

Gunung Soputan yang terletak di Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara. Gunung dengan ketinggian 1.784 M dari permukaan laut ini terakhir kali meletus pada 16 Desember 2018 dengan mengeluarkan kolom abu letusan tinggi dengan tinggi 7.500 meter di atas puncak gunung api soputan.

Sebelumnya gunung ini sudah pernah beberapa kali meletus dengan periode letusan yang terpanjang 47 tahun dan yang terpendek 1 tahun dengan sifat letusan umumnya terjadi beberapa kali dengan selang waktu antara beberapa minggu hingga beberapa bulan seperti yang terjadi pada tahun 1908, 1913, 1915, 1923, 1982 dan 1984, 2000, 2008, 2014, 2015 dan 2018

Letusan yang paling hebat terjadi pada tahun 1982, Saat itu abu vulkanik yang disemburkan Soputan menutupi sekitar wilayah Minahasa Tenggara hingga sampai ke Kota Manado. Bahkan, ketebalan abu vulkanik yang menutupi permukiman penduduk mencapai 30 sentimeter.

7. Gunung Ambang

Sejarah erupsi Gunung Ambang tercatat pada Juli 1839, berupa tembusan solfatara dengan tekanan yang kuat dan suhunya berkisar antara 100o C - 123oC. 1966 Menurut penduduk Desa Purworejo telah muncul dua lubang tembusan baru yang besar, dengan tekanan gas yang sangat tinggi, yaitu dekat Kali Putih sebelah timur dan pada lereng kawah sebelah utara. Gejala awal munculnya tembusan solfatara ini didahului dengan gempabumi yang getarannya terasa hingga di Desa Purworejo.

Desember 2005 Erupsi Freatik
Kegiatan pada saat ini berupa tembusan solfatara dan fumarola yang terletak pada dinding tenggara kerucut Gunung Moyayat pada ketinggian sekitar 1497 - 1542 mdpl. Aktivitas ini membentuk suatu lapangan solfatara yang berupa dataran.

Ditinjau dari sejarah kegiatannya, Gunungapi Ambang mempunyai interval erupsi antara satu dengan lainnya berkisar dari 39-127 tahun, sedangkan erupsi magmatik terakhir tidak diketahui kecuali berupa erupsi freatik terbaru yang terjadi pada 22 Desember 2005.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.0853 seconds (0.1#10.140)