Sengketa Tanah Sari Rejo, Pengamat: Pahami Sejarah Tanah Kesultanan
A
A
A
MEDAN - Sengketa tanah di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut) tidak akan ada titik temunya jika tidak mengetahui sejarah asal muasal tanah Kesultanan.
"Pertama memang harus dilihat sejarah tanah itu dulu. Yaitu tanah Kesultanan dan kedatukan. Tanah-tanah yang dikontrakkan dan kontrak pertama itu kepada warga berkenegaraan Polondia seluas 770 hektare dengan dua kali kontrak yang berlangsung selama 75 tahun sejak tahun 1880-an,” kata Pengamat Hukum, Edy Ikhsan, Senin (28/1/2019).
Edy menuturkan, setelah kontrak tersebut gagal, sehingga dialihkan ke Perusahaan tembakau bernama Langkat Asosiasi. Kemudian dijual ke perusahaan terkenal Sumatera Timur, Deli Maatschappij. Selanjutnya, Indonesia merdeka, perkebunan itu sudah hampir punah dan tidak produktif lagi tahun 1950.
"Dari situ lah mulai warga menggarap masuk, bersamaan juga sebelumnya Deli Maatschappij minta ke Sultan Deli untuk membuat Bandara Polonia. Tahun itu juga, semakin kisruh karena warga kelaparan sampai keluar undang-undang darurat dari Presiden Soekarno yang mengancam bagi penggarap yang masuk ke lahan eks perkebunan itu akan ditangkap sampai ada yang dipenjara," terangnya.
Sejalan dengan itu, sambung Edy, untuk mengamankan nasionalisasi, Undang-Undang No 86/1958 yang dibuat Presiden Soekarno untuk perusahaan-perusahaan Belanda itu dinasionalisasinya dengan menurunkan prajurit TNI. "Sejak itulah dapat dan dikuasai orang itu (TNI) juga tanah-tanah yang di sekitar Polonia (eks lapangan terbang). Itu lah yang diduduki dan dikembangkan menjadi wilayah kekuasaannya TNI AU," ungkapnya.
Edy melanjutkan, pada 1918 Pemko Medan meminta sebagian kecil dari tanah-tanah itu untuk pengembangan Kota Medan. "Itu lah daerah Hermes sekarang, Mongonsidi. Jadi berkurang lah tanah itu dan dilepas Sultan Deli. Jadi bukan mintanya sama Belanda. Sari Rejo itu luasnya 260 hektare, di luar lahan-lahan yang untuk bercocok tanam oleh masyarakat," jelasnya.
Menurut Edy, itu sebenarnya tanah-tanah yang dialokasikan untuk pertahanan dan keamanan kemudian beralih fungsi."Pengelolaan yang dikasih negara kepada TNI AU berpindah menjadi hak pakai dan kemudian pindah kepada pihak ketiga. Kalau memang masih bisa diusut, ya diusut," tuturnya.
Putusan Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan sebagian dari tuntutan penggugat (warga) yang kabulkan mereka sah sebagai penggarap, bukan pemilik tanah. Untuk itu, kata Edy, jika dilihat dari sejarah, tanah itu juga bukan milik TNI AU. “Itu tanah Kesultanan Deli dan Kedatukan Sukapiring. TNI AU tidak berhak juga, namun tanah itu belum dilepas dari hak milik Menteri Pertahanan dan belum dikeluarkan dari aset mereka. Makanya TNI AU bilang tanah itu bukan milik Sultan Deli," ucapnya.
Dalam kasus ini, lanjut Edy, Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak bisa disalahkan. Sebab, BPN akan mensertifikasi satu lahan kalau situasinya sudah bersih dan tidak ada lagi silang sengketa. “Saya juga sudah berkali-kali sosialisasi di kalangan warga. banyak yang paham, banyak juga yang nggak paham," tambahnya.
Edy juga menjelaskan, jika menggunakan sistem hukum perdata, dapat dirujuk dari Pasal 1963 KUHPerdata yakni orang yang menguasai satu bidang tanah secara terus menerus lebih dari 30 tahun, tidak perlu lagi menunjukan alas hak apa pun. Sepanjang terus menerus dan mengelola itu dengan baik maka akan mendapatkan sebidang tanah atau disebut veriaring.
"Sebenarnya masyarakat disitu kuat kalau mau pakai hukum perdata. Gugat sekali lagi minta sebagai pemilik pakai hukum perdata. Tapi nanti memang Sultan Deli bisa intervensi juga karena asal usul tanahnya dari siapa," tegasnya.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) akan berkoordinasi dengan Forkopimda dan berbagai pihak terkait untuk mencari solusi persoalan tanah masyarakat Sari Rejo. Asisten Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara, Jumsadi Damanik mengatakan, segera melaporkan kepada Gubernur Sumut Edy Rahmayadi.
“Setelah pertemuan ini, saya akan lapor kepada Gubernur. Setelah menemukan masalahnya, baru nanti kita akan koordinasi dengan Forkopimda terkait, dengan Lanud, dan Menkeu, sebenarnya masalahnya ada di mana, kemudian kita akan carikan solusinya,” kata Jumsadi.
Ketua Formas Sari Rejo, Pahala Napitupulu, mewakili pengunjuk rasa menyampaikan bahwa masyarakat Sari Rejo meminta dukungan Gubernur Edy Rahmayadi sebagai pimpinan tertinggi di Sumut untuk menyelesaikan persoalan tanah yang mereka alami sejak lama. Dengan memberikan rekomendasi ke Presiden Republik Indonesia, agar lahan warga segera dihapus dari daftar aset negara.
Pahala menyampaikan masyarakat Sari Rejo berhak mendapatkan status hak yang jelas atas tanah mereka berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI No 229 K/Pdt/1991, tanggal 18 Mei 1995. “Atas putusan tersebut, warga berhak menempati tanah tersebut,” tandasnya.
"Pertama memang harus dilihat sejarah tanah itu dulu. Yaitu tanah Kesultanan dan kedatukan. Tanah-tanah yang dikontrakkan dan kontrak pertama itu kepada warga berkenegaraan Polondia seluas 770 hektare dengan dua kali kontrak yang berlangsung selama 75 tahun sejak tahun 1880-an,” kata Pengamat Hukum, Edy Ikhsan, Senin (28/1/2019).
Edy menuturkan, setelah kontrak tersebut gagal, sehingga dialihkan ke Perusahaan tembakau bernama Langkat Asosiasi. Kemudian dijual ke perusahaan terkenal Sumatera Timur, Deli Maatschappij. Selanjutnya, Indonesia merdeka, perkebunan itu sudah hampir punah dan tidak produktif lagi tahun 1950.
"Dari situ lah mulai warga menggarap masuk, bersamaan juga sebelumnya Deli Maatschappij minta ke Sultan Deli untuk membuat Bandara Polonia. Tahun itu juga, semakin kisruh karena warga kelaparan sampai keluar undang-undang darurat dari Presiden Soekarno yang mengancam bagi penggarap yang masuk ke lahan eks perkebunan itu akan ditangkap sampai ada yang dipenjara," terangnya.
Sejalan dengan itu, sambung Edy, untuk mengamankan nasionalisasi, Undang-Undang No 86/1958 yang dibuat Presiden Soekarno untuk perusahaan-perusahaan Belanda itu dinasionalisasinya dengan menurunkan prajurit TNI. "Sejak itulah dapat dan dikuasai orang itu (TNI) juga tanah-tanah yang di sekitar Polonia (eks lapangan terbang). Itu lah yang diduduki dan dikembangkan menjadi wilayah kekuasaannya TNI AU," ungkapnya.
Edy melanjutkan, pada 1918 Pemko Medan meminta sebagian kecil dari tanah-tanah itu untuk pengembangan Kota Medan. "Itu lah daerah Hermes sekarang, Mongonsidi. Jadi berkurang lah tanah itu dan dilepas Sultan Deli. Jadi bukan mintanya sama Belanda. Sari Rejo itu luasnya 260 hektare, di luar lahan-lahan yang untuk bercocok tanam oleh masyarakat," jelasnya.
Menurut Edy, itu sebenarnya tanah-tanah yang dialokasikan untuk pertahanan dan keamanan kemudian beralih fungsi."Pengelolaan yang dikasih negara kepada TNI AU berpindah menjadi hak pakai dan kemudian pindah kepada pihak ketiga. Kalau memang masih bisa diusut, ya diusut," tuturnya.
Putusan Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan sebagian dari tuntutan penggugat (warga) yang kabulkan mereka sah sebagai penggarap, bukan pemilik tanah. Untuk itu, kata Edy, jika dilihat dari sejarah, tanah itu juga bukan milik TNI AU. “Itu tanah Kesultanan Deli dan Kedatukan Sukapiring. TNI AU tidak berhak juga, namun tanah itu belum dilepas dari hak milik Menteri Pertahanan dan belum dikeluarkan dari aset mereka. Makanya TNI AU bilang tanah itu bukan milik Sultan Deli," ucapnya.
Dalam kasus ini, lanjut Edy, Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak bisa disalahkan. Sebab, BPN akan mensertifikasi satu lahan kalau situasinya sudah bersih dan tidak ada lagi silang sengketa. “Saya juga sudah berkali-kali sosialisasi di kalangan warga. banyak yang paham, banyak juga yang nggak paham," tambahnya.
Edy juga menjelaskan, jika menggunakan sistem hukum perdata, dapat dirujuk dari Pasal 1963 KUHPerdata yakni orang yang menguasai satu bidang tanah secara terus menerus lebih dari 30 tahun, tidak perlu lagi menunjukan alas hak apa pun. Sepanjang terus menerus dan mengelola itu dengan baik maka akan mendapatkan sebidang tanah atau disebut veriaring.
"Sebenarnya masyarakat disitu kuat kalau mau pakai hukum perdata. Gugat sekali lagi minta sebagai pemilik pakai hukum perdata. Tapi nanti memang Sultan Deli bisa intervensi juga karena asal usul tanahnya dari siapa," tegasnya.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) akan berkoordinasi dengan Forkopimda dan berbagai pihak terkait untuk mencari solusi persoalan tanah masyarakat Sari Rejo. Asisten Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara, Jumsadi Damanik mengatakan, segera melaporkan kepada Gubernur Sumut Edy Rahmayadi.
“Setelah pertemuan ini, saya akan lapor kepada Gubernur. Setelah menemukan masalahnya, baru nanti kita akan koordinasi dengan Forkopimda terkait, dengan Lanud, dan Menkeu, sebenarnya masalahnya ada di mana, kemudian kita akan carikan solusinya,” kata Jumsadi.
Ketua Formas Sari Rejo, Pahala Napitupulu, mewakili pengunjuk rasa menyampaikan bahwa masyarakat Sari Rejo meminta dukungan Gubernur Edy Rahmayadi sebagai pimpinan tertinggi di Sumut untuk menyelesaikan persoalan tanah yang mereka alami sejak lama. Dengan memberikan rekomendasi ke Presiden Republik Indonesia, agar lahan warga segera dihapus dari daftar aset negara.
Pahala menyampaikan masyarakat Sari Rejo berhak mendapatkan status hak yang jelas atas tanah mereka berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI No 229 K/Pdt/1991, tanggal 18 Mei 1995. “Atas putusan tersebut, warga berhak menempati tanah tersebut,” tandasnya.
(wib)