Inilah Sisa Kenangan dan Kejayaan Dermaga Perak-Kamal

Minggu, 06 Januari 2019 - 05:04 WIB
Inilah Sisa Kenangan...
Inilah Sisa Kenangan dan Kejayaan Dermaga Perak-Kamal
A A A
Tak ada yang lebih mahal dari bingkai sebuah kenangan. Di penyeberangan Tanjung Perak-Ujung Kamal, Jawa Timur (Jatim) banyak cerita berpendar.
Masa kejayaan yang telah pudar tak membuat gairah kehidupan di lambung kapal ikut pergi bersama angin kencang di selat Madura.
Pagi baru saja pergi ketika tumpukan kain dimasukan ke dalam Kapal Jokotole. Puluhan motor, empat mobil dan tiga truk ikut masuk dan menyesak di perut kapal. Pagi yang hangat di Perak Surabaya membuat keringat sudah bercucuran.

Dentuman musim dangdut pantura langsung menyambut. Mengalun indah sebagai persiapan penghalau angin. Suara cadasnya memaksa gerakan ritmik di kepala dan kaki. Di ujung pintu Kapal Jokotole, dua pedagang nasi khas Madura langsung menyambut. Tentu dengan aroma pedas sambal dan olahan ikan laut yang terasa legit, terbawa hembusan angin.

Satina (52), sudah menjual 15 bungkus nasi Madura ketika kapal sudah mulai beranjak dari dermaga. Selendang berwarna merah yang dipakai memanggul dijadikan alas duduk sementara di lantai kapal. melayani para pembeli yang keroncongan di pagi hari.

“Satu porsi saya jual Rp15 ribu. Lengkap dengan cumi dan babat sapi. Kalau mau irisan daging juga ada sama usus sapi,” kata Satina kepada sindonews.com belum lama ini.

Di samping Satina, deretan penjual rujak manis, rujak tolet dan rujak cinggur saling berhimpitan. Memaksa pandangan untuk sekedar mencicipi, petis udang dan terasi khas Madura menjadi andalan pelengkap deretan rujak yang dijajakan. Rasa rujak di kapal memang sudah tersohor, awet dalam rangkaian cerita puluhan tahun silam tentang masa keemasan Tanjung Perak dan Dermaga Kamal.

Naik di lantai satu Kapal Jokotole sweperti begitu gagah. Besinya tak terlihat uzur dengan berbagai ornamen yang dibuat di interior kapal. Tempat duduk yang masih mengkilap berjejar panjang menghadap layar televisi 42 inchi yang memutar lagu dangdut pantura.

Sebuah musala kecil berada di pinggir kiri kapal, lengkap dengan perangkat alat salat yang sengaja disediakan. Di depannya, deretan rombong makanan mulai dari gulai kambing, mie ayam, bakso sampai nasi rawon beradu ketajaman aroma untuk bisa menarik selera para penumpang.

Wardhana (45), memilih makan kikil sapi dengan irisan kecil lontong di atas kapal. duduk di deretan depan yang menghadap langsung ke bagian lambung kapal. beberapa suap kikil masuk ke mulutnya ia mencoba untuk berhenti sejenak. Pikirannya melompat jauh dalam kenangan ketika ayahnya dulu mengajaknya naik kapal penyeberangan Perak-Ujung Kamal.

“Suasananya masih sama. Saya sengaja naik kapal ini hanya untuk mencari kenangan kecil dulu,” jelannya.

Dulu, katanya, bersama ayahnya ia selalu naik kapal ketika libur sekolah. Setelah turun dari kapal mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan naik kereta api yang stasiunnya tak jauh dari Dermaga Kamal.

“Kami menuju ke alun-alun Bangkalan. Setelah selesai baru pulang lagi naik kapal kembali ke Surabaya,” ucapnya.

Sejak Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) berdiri, masa kejayaan penyeberangan Perak-Kamal memang perlahan redup. Sebagian besar aktivitas warga dan perputaran perekonomian mulai beralih.

Tarif yang dipasang untuk penyeberangan di Perak-Kamal juga cukup mahal, untuk tarif penumpang Rp5.000, motor Rp7.500, kendaraan pribadi Rp45.000, truk kecil Rp50.000, dan truk besar Rp65.000. Untuk bisa menyeberang, para penumpang harus menunggu di dermaga setidaknya 30 menit. Sebab, tiap hari hanya ada dua kapal yang beroperasi untuk mengantarkan para penumpang.

Pada era kejayaannya, Pelabuhan Kamal, Madura merupakan pintu utama keluar masuk Pulau Garam yang ada sejak penjajahan Belanda. Pada 1913 jaringan kereta api selesai dibangun untuk mendukung penyeberangan. Selanjutnya, beroperasi kapal-kapal milik Madura Stoomtram Matschappij (MSM) yang membawa misi perdagangan.

Dengan meningkatnya perkembangan kebutuhan angkutan pelabuhan, pada 1954 muncul perahu-perahu bermotor yang ikut melancarkan penyeberangan Kamal-Perak. Karena permintaan angkutan semakin bertambah seperti roda empat maka mulai muncul pengoperasian kapal-kapal LCM sebagai usaha karya dan kapal tipe Ro-Ro oleh PJKA pada 1958 yaitu KMP Maduratna.

Ditambah lagi empat buah kapal seperti KM Bangkalan, KM Pamekasan dan KM Yudha Negara. Pada waktu itu lokasi dermaga di ujung terletak di sebelah timur. Pada 1963 salah satu kapal milik PJKA mengalami kerusakan berat sehingga mempengaruhi pada kelancaran angkutan penyeberangan.

Pada 1966 dermaga di Kamal diperbaiki sekaligus dengan penambahan 2 LCM yaitu KM Batu Poron dan KM Batu Gali. Namun kini kapal-kapal LCM tidak beroperasi lagi karena pada 1983 kapal tipe LCM tersebut diambil alih oleh kapal LCT milik PT. Madu Perak.

Sejak zaman tersebut Pelabuhan Kamal-Madura mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberlangsungan hubungan Pulau Madura dan Pulau Jawa baik dari segi perekonomian seperti kegiatan perdagangan dan kegiatan industri yang berorientasi bagi pengembangan wilayah di empat kabupaten yang ada di Pulau Madura.

Pada waktu itu, pelabuhan selalu ramai didatangi oleh setiap orang karena juga terdapat pasar dan kandang sapi yang siap dikirim ke luar Bangkalan. Orang-orang Jawa yang ingin berdagang ke Madura ataupun sebaliknya melalui pelabuhan penyeberangan Kamal-Perak yang kini menjadi saksi kebangkitan ekonomi di tiap generasi.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9491 seconds (0.1#10.140)