Perda RTRW Direvisi, 878.239 Hektare Lahan Pertanian di Jateng Hilang
Minggu, 18 November 2018 - 20:00 WIB

Perda RTRW Direvisi, 878.239 Hektare Lahan Pertanian di Jateng Hilang
A
A
A
SEMARANG - Perubahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah justru semakin mempersempit lahan pertanian.
Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPRD Jateng Benny Karnadi mengatakan, perubahan tersebut dapat dilihat perbandingannya dalam Pasal 73 dan 74 Perda lama yang menyebutkan luas lahan pertanian berjumlah 990.652 hektare untuk lahan basah, dan 955.587 hektare untuk lahan kering. Sehingga luas total adalah 1.946.239 hektare.
"Namun demikian, dalam Perda baru berubah substansinya, yaitu dalam Pasal 74A yang menyebut lahan pertanian lahan kering dan/atau lahan basah hanya seluas 1.025.000 hektar. Artinya, selisih luasan lahan pertanian seluas 878.239 hektare telah hilang dari substansi Perda baru," ungkapnya, Minggu (18/11/2018).
Benny menambahkan, dari selisih tersebut, dalam KLHS revisi RTRW Jateng, menyebutkan rencana alih fungsi lahan seluas 314.512,03 hektare, di mana untuk lahan pertanian, kebun, dan ladang yang akan beralih fungsi seluas 214.385,45 hektare.
"Sedangkan ada sekitar 663.853,55 hektare merupakan cek kosong lahan yang tidak jelas peruntukannya, dan siap untuk dipergunakan oleh kabupaten/kota di Jawa Tengah," kata Anggota Komisi D DPRD Jateng ini.
Menurut Benny, hal ini sudah disampaikan kepada gubernur dan DPRD saat memasukkan masalah ini dalam laporan reses.
Dalam RTRW Perubahan Jawa Tengah, salah satu turunan industrialisasi yang direncanakan adalah penambahan produksi energi listrik. Dalam Pasal 27, penambahan tersebut meliputi pembangunan PLTA di 51 waduk. Alokasi pembangunan PLTU Batubara di 10 Kabupaten/Kota, alokasi PLTPB di 10 Kabupaten/Kota, maupun alokasi pembangunan PLTS di dua wilayah unggulan.
"Anehnya, ambisi penambahan produksi energi tersebut terjadi saat kondisi ketenagalistrikan di Jawa Tengah yang masuk region Jawa-Bali telah over capacity (surplus) sekitar 33% atau sekitar 8.000 Mega Watt," kata politikus asal Kendal ini.
Hal aneh lain juga berkaitan dengan rencana pembangunan PLTU Batubara di 10 daerah Jawa Tengah, di mana empat daerah di antaranya sudah berdiri PLTU seperti Rembang, Cilacap, Jepara, maupun Batang. Enam lokasi PLTU Batubara baru adalah Demak, Kendal, Kota Semarang, Pemalang, Brebes, dan Pekalongan.
"Padahal kita perlu memahami bahwa PLTU Batubara adalah pembangkit listrik dari energi dan merusak lingkungan dengan dampak pencemaran air dan udara yang berbahaya," katanya.
Tanpa adanya penambahan PLTU baru, lanjut Benny, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5%, seharusnya Jawa-Bali hingga 2026 akan tetap surplus listrik hingga 41%.
"Data statistik menyebutkan, Jepara yang memiliki PLTU Batubara justru menjadi daerah dengan rasio elektrifikasi terendah se-Jawa Tengah dengan rasio hanya 77,11%. Selain itu, Rembang yang juga memiliki PLTU Batubara, menjadi daerah dengan rasio elektrifikasi terendah ke-10 di Jawa Tengah dengan rasio 87,46%," katanya.
Melihat hal tersebut, FPKB mendesak untuk membatalkan 6 usulan proyek PLTU yang akan direncanakan. Ihktiar yang dilakukan oleh FPKB membuahkan pencoretan 5 proyek PLTU tambahan yang diusulkan dan hanya satu yang diterima yaitu Pemalang.
"Kami berharap agar temuan-temuan dan aspirasi dari hasil reses anggota FPKB DRPD Jawa Tengah tahun 2018 ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan dan ditindaklanjuti, dengan dimasukkan ke dalam RAPBD Provinsi Jawa Tengah di masa yang akan datang," katanya.
Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPRD Jateng Benny Karnadi mengatakan, perubahan tersebut dapat dilihat perbandingannya dalam Pasal 73 dan 74 Perda lama yang menyebutkan luas lahan pertanian berjumlah 990.652 hektare untuk lahan basah, dan 955.587 hektare untuk lahan kering. Sehingga luas total adalah 1.946.239 hektare.
"Namun demikian, dalam Perda baru berubah substansinya, yaitu dalam Pasal 74A yang menyebut lahan pertanian lahan kering dan/atau lahan basah hanya seluas 1.025.000 hektar. Artinya, selisih luasan lahan pertanian seluas 878.239 hektare telah hilang dari substansi Perda baru," ungkapnya, Minggu (18/11/2018).
Benny menambahkan, dari selisih tersebut, dalam KLHS revisi RTRW Jateng, menyebutkan rencana alih fungsi lahan seluas 314.512,03 hektare, di mana untuk lahan pertanian, kebun, dan ladang yang akan beralih fungsi seluas 214.385,45 hektare.
"Sedangkan ada sekitar 663.853,55 hektare merupakan cek kosong lahan yang tidak jelas peruntukannya, dan siap untuk dipergunakan oleh kabupaten/kota di Jawa Tengah," kata Anggota Komisi D DPRD Jateng ini.
Menurut Benny, hal ini sudah disampaikan kepada gubernur dan DPRD saat memasukkan masalah ini dalam laporan reses.
Dalam RTRW Perubahan Jawa Tengah, salah satu turunan industrialisasi yang direncanakan adalah penambahan produksi energi listrik. Dalam Pasal 27, penambahan tersebut meliputi pembangunan PLTA di 51 waduk. Alokasi pembangunan PLTU Batubara di 10 Kabupaten/Kota, alokasi PLTPB di 10 Kabupaten/Kota, maupun alokasi pembangunan PLTS di dua wilayah unggulan.
"Anehnya, ambisi penambahan produksi energi tersebut terjadi saat kondisi ketenagalistrikan di Jawa Tengah yang masuk region Jawa-Bali telah over capacity (surplus) sekitar 33% atau sekitar 8.000 Mega Watt," kata politikus asal Kendal ini.
Hal aneh lain juga berkaitan dengan rencana pembangunan PLTU Batubara di 10 daerah Jawa Tengah, di mana empat daerah di antaranya sudah berdiri PLTU seperti Rembang, Cilacap, Jepara, maupun Batang. Enam lokasi PLTU Batubara baru adalah Demak, Kendal, Kota Semarang, Pemalang, Brebes, dan Pekalongan.
"Padahal kita perlu memahami bahwa PLTU Batubara adalah pembangkit listrik dari energi dan merusak lingkungan dengan dampak pencemaran air dan udara yang berbahaya," katanya.
Tanpa adanya penambahan PLTU baru, lanjut Benny, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5%, seharusnya Jawa-Bali hingga 2026 akan tetap surplus listrik hingga 41%.
"Data statistik menyebutkan, Jepara yang memiliki PLTU Batubara justru menjadi daerah dengan rasio elektrifikasi terendah se-Jawa Tengah dengan rasio hanya 77,11%. Selain itu, Rembang yang juga memiliki PLTU Batubara, menjadi daerah dengan rasio elektrifikasi terendah ke-10 di Jawa Tengah dengan rasio 87,46%," katanya.
Melihat hal tersebut, FPKB mendesak untuk membatalkan 6 usulan proyek PLTU yang akan direncanakan. Ihktiar yang dilakukan oleh FPKB membuahkan pencoretan 5 proyek PLTU tambahan yang diusulkan dan hanya satu yang diterima yaitu Pemalang.
"Kami berharap agar temuan-temuan dan aspirasi dari hasil reses anggota FPKB DRPD Jawa Tengah tahun 2018 ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan dan ditindaklanjuti, dengan dimasukkan ke dalam RAPBD Provinsi Jawa Tengah di masa yang akan datang," katanya.
(amm)