Monumen Brayut Saksi Bisu Perlawanan Warga Sleman Terhadap Belanda
A
A
A
Brayut, Pandawoharjo, Sleman bukan hanya dikenal sebagai desa wisata berbasis budaya dan kearifan lokal di Sleman. Namun di tempat ini juga menjadi saksi bisu perlawanan rakyat Sleman dan Brayut khususnya dalam mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari usaha Belanda yang ingin mengusai lagi Indonesia pada
tahun 1949.
Dimana di tempat itu terjadi pertempuran antara rakyat Sleman dengan pasukan Belanda. Terjadinya pertempuran ini untuk melindungi pejuang dan tentara pelajar dari kejaran pasukan Belanda, setelah terdesak dalam pertempuran di Rejodani, Sardonoharjo, Ngaglik atau timur Brayut. Karena terdesak itulah pejuang dan tentara pelajar lari ke barat arah Brayut.
Mendengar berita itu, rakyat Brayut kemudian memberikan bukan hanya memberikan perlindungan namun juga ikut berperang melawan Belanda. Sehingga pertempuran pun tidak dapat dielakkan.
Kejadian itu terjadi, 6 Mei 1949. Dalam pertempuran itu, kedua belah pihak banyak yang korban. Untuk rakyat Brayut sendiri, tercatat ada 14 yang gugur.
Mereka adalah Sarjiman, Budiwiyono, Darmo Suprapto, Prawirodimejo, Kromo, Suridikromo, Cokrowiharjo. Jono, Kusen, Haryono, Suprapto, Supraptoharjo, Wongso Paijo dan Dalijo.
Sekretaris Desa Budaya Brayut, Pandowoharjo, Sleman, Aditya Noor mengatakan pertempuran di Brayut melawan Belanda tersebut merupakan rangkaian perlawanan para pejuang dari kejaran Belanda yang diawali dari Plataran Kledokan, Selomartani, Kalasan dari arah timur.
Rejodani hingga Turi. Ini lantaran para pejuang yang terdesak dari Kledokan lari ke barat sampai di Rejodani, disini ketemu dengan pasukan Belanda yang datang dari arah selatan.
“Sama halnya dengan kejadian di Kledokan di Rejodani pejuang dan tentara pelajar juga terdesak dan menuju ke barat sampai Brayut ini,” kata Aditya Noor.
Menurut Aditya Noor selain untuk melindungi pejuang, sebelum pertempuran terjadi pejuang Soeparjo yang ada di Brayut, pada pukul 05.00 WIB telah mendapat kabar dari polisi pager praja Supeni kalau dari arah selatan datang pasukan Belanda menuju ke Turi mencari para pejuang. Berita itu lalu disampaikan kepada komandan penyerangan penjuang Bakir.
Bakir kemudian menghubungi pejuang lainnya untuk menghadang Belanda. Jumlah pejuang yang ada di Brayut sebenarnya ada 35 orang. Namun karena sudah ada yang beraktivitas dan tidak tahu kemana perginya, di tempat itu tinggal sembilan pejuang. Atas kondisi ini, para pejuang memutuskan meninggalkan Brayut sebab tidak mungkin melawan Belanda dengan
kekuatan yang ada. Mereka pun memutuskan mundur ke utara.
Tetapi pasukan Belanda ternyata tidak hanya datang dari arah selatan, namun juga dari arah timur dan utara. Sehingga untuk perlawanan sendiri bukan hanya sampai di Brayut, namun juga sampai ke utara yaitu sampai di Turi. Sama halnya di Brayut perlawanan rakyat melawan Belanda tersebut, selain melindungi pejuang juga untuk mempertahankan
kedaulatan NKRI dari tangan Belanda yang ingin berkuasa lagi di Indonesia.
Sebagai bentuk penghargaan kepada pejuang Brayut melawan Belanda tersebut, Pemkab Sleman membangun monumen Brayut tempat terjadinya pertempuran. Yaitu di timur SMAN Pandowoharjo (sekarang SMAN 2 Sleman).
“Monumen ini bukan hanya sekedar tetengger, namun yang lebih penting lagi yaitu jiwa nasionalisme para pejuang dan rakyat yang bisa dipelajari bagi generasi muda,” paparnya.
Untuk itu, monumen tersebut, juga akan dijadikan paket wisata budaya kepada para wisatawan yang datang ke desa wisata Brayut. Karena itu, perlu adanya kepedulian terhadap keberadaan monumen tersebut. yaitu dengan tetap menjaga dan merawat. Termasuk mensosialiasikan kepada generasi muda. Sebab tidak semua tahu tentang keberadaan monumen ini.
“Secara pasti saya tidak mengetahui, setahu saya itu hanya monumen tetapi apa latar belakangnya tidak tahu,” aku warga setempat yang melintas di depan monumen itu," kata Catur.
tahun 1949.
Dimana di tempat itu terjadi pertempuran antara rakyat Sleman dengan pasukan Belanda. Terjadinya pertempuran ini untuk melindungi pejuang dan tentara pelajar dari kejaran pasukan Belanda, setelah terdesak dalam pertempuran di Rejodani, Sardonoharjo, Ngaglik atau timur Brayut. Karena terdesak itulah pejuang dan tentara pelajar lari ke barat arah Brayut.
Mendengar berita itu, rakyat Brayut kemudian memberikan bukan hanya memberikan perlindungan namun juga ikut berperang melawan Belanda. Sehingga pertempuran pun tidak dapat dielakkan.
Kejadian itu terjadi, 6 Mei 1949. Dalam pertempuran itu, kedua belah pihak banyak yang korban. Untuk rakyat Brayut sendiri, tercatat ada 14 yang gugur.
Mereka adalah Sarjiman, Budiwiyono, Darmo Suprapto, Prawirodimejo, Kromo, Suridikromo, Cokrowiharjo. Jono, Kusen, Haryono, Suprapto, Supraptoharjo, Wongso Paijo dan Dalijo.
Sekretaris Desa Budaya Brayut, Pandowoharjo, Sleman, Aditya Noor mengatakan pertempuran di Brayut melawan Belanda tersebut merupakan rangkaian perlawanan para pejuang dari kejaran Belanda yang diawali dari Plataran Kledokan, Selomartani, Kalasan dari arah timur.
Rejodani hingga Turi. Ini lantaran para pejuang yang terdesak dari Kledokan lari ke barat sampai di Rejodani, disini ketemu dengan pasukan Belanda yang datang dari arah selatan.
“Sama halnya dengan kejadian di Kledokan di Rejodani pejuang dan tentara pelajar juga terdesak dan menuju ke barat sampai Brayut ini,” kata Aditya Noor.
Menurut Aditya Noor selain untuk melindungi pejuang, sebelum pertempuran terjadi pejuang Soeparjo yang ada di Brayut, pada pukul 05.00 WIB telah mendapat kabar dari polisi pager praja Supeni kalau dari arah selatan datang pasukan Belanda menuju ke Turi mencari para pejuang. Berita itu lalu disampaikan kepada komandan penyerangan penjuang Bakir.
Bakir kemudian menghubungi pejuang lainnya untuk menghadang Belanda. Jumlah pejuang yang ada di Brayut sebenarnya ada 35 orang. Namun karena sudah ada yang beraktivitas dan tidak tahu kemana perginya, di tempat itu tinggal sembilan pejuang. Atas kondisi ini, para pejuang memutuskan meninggalkan Brayut sebab tidak mungkin melawan Belanda dengan
kekuatan yang ada. Mereka pun memutuskan mundur ke utara.
Tetapi pasukan Belanda ternyata tidak hanya datang dari arah selatan, namun juga dari arah timur dan utara. Sehingga untuk perlawanan sendiri bukan hanya sampai di Brayut, namun juga sampai ke utara yaitu sampai di Turi. Sama halnya di Brayut perlawanan rakyat melawan Belanda tersebut, selain melindungi pejuang juga untuk mempertahankan
kedaulatan NKRI dari tangan Belanda yang ingin berkuasa lagi di Indonesia.
Sebagai bentuk penghargaan kepada pejuang Brayut melawan Belanda tersebut, Pemkab Sleman membangun monumen Brayut tempat terjadinya pertempuran. Yaitu di timur SMAN Pandowoharjo (sekarang SMAN 2 Sleman).
“Monumen ini bukan hanya sekedar tetengger, namun yang lebih penting lagi yaitu jiwa nasionalisme para pejuang dan rakyat yang bisa dipelajari bagi generasi muda,” paparnya.
Untuk itu, monumen tersebut, juga akan dijadikan paket wisata budaya kepada para wisatawan yang datang ke desa wisata Brayut. Karena itu, perlu adanya kepedulian terhadap keberadaan monumen tersebut. yaitu dengan tetap menjaga dan merawat. Termasuk mensosialiasikan kepada generasi muda. Sebab tidak semua tahu tentang keberadaan monumen ini.
“Secara pasti saya tidak mengetahui, setahu saya itu hanya monumen tetapi apa latar belakangnya tidak tahu,” aku warga setempat yang melintas di depan monumen itu," kata Catur.
(sms)