Surabaya dan Denyut Ekonominya Tempo Dulu
A
A
A
Surabaya tidak hanya dikenal sebagai Kota Pahlawan. Tapi kota yang berada di pesisir utara Jawa Timur ini menyimpan segudang sejarah besar.
Selain menjadi tempat penyebaran agama Islam dengan berdirinya Masjid Sunan Ampel, Kota yang juga berlambang Sura dan Baya ini juga menjadi tempat perdagangan yang cukup dikenal luas.
Menurut wartawan senior Yousri Nur Raga Agam, Surabaya tidak bisa dilepaskan dari nama Hujung Galuh. Ditilik dari makna, nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut, yakni Tanjung, dapat dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh” artinya emas. Dalam bahasa Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut: Wong anggaluh atau kemasan seperti tercantum dalam kamus Juynboll dan Mardiwarsito.
Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan perak. Hujunggaluh atau Hujung Emas, bisa disebut pula sebagai Hujung Perak, dan kemudian menjadi “Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali Emas (Kalimas).“Nah, bisa jadi Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu bernama Hujung Galuh,” kata pria yang sering menulis artikel dan beberapa buku tentang perjalanan sejarah Surabaya ini.
Berawal dari pembangunan rel kereta api yang dibangun oleh Belanda sekitar akhir abad ke-19 Surabaya menjadi salah satu daerah yang menjadi tempat transaksi perdagangan antar kota yang berada di lewati oleh rel tersebut.
Dari arah barat, ada Lamongan, Tuban hingga Rembang. Sedangkan dari arah timur ada Pasuruan, Jember, Probolinggi, Situbondo hingga Banyuwangi. Sedangkan dari wilayah selatan ada Malang dan Blitar, Kediri, Nganjuk, Tulungagung dan Madiun.
Sejak ditaklukkan Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung, tahun 1625, tatanan Kota Surabaya masih tampak seperti dulu. Bahkan ketika penjajah datang, tatanan Kota Surabaya tak pernah berubah.
Pemerintah Kolonial Belanda justru membangun kota ini berdasarkan tatanan yang telah ada sejak menjadi Kota Pelabuhan Pantai terkuat dan berpengaruh di Nusantara, abad ke-17.
Hingga Surabaya kala itu disebut-sebut sebagai kota perdagangan terbesar di Indonesia. Meski pelabuhan yang ada tidak sebesar di Jakarta, namun di Surabaya saat ini sudah terkenal dengan berdirinya banyak pabrik yang berada disepanjang Wonokromo, Gubeng hingga pelabuhan Kalimas.
Tata Kota Surabaya sebenarnya mengikuti pola tata kota keraton seperti yang dibangun pada masa Kerajaan Mataram. Tata Kota model keraton ini membagi warganya berdasarkan status kelas dan pekerjaan mereka. Sementara juga ada aloon-aloon, ada Kepatihan dan Pasar.
Dalam tata kota pola Keraton, pasar pasti berada di sebelah timur aloon-aloon. Lalu agak ke selatan ada Kepatihan. Kemudian ada Tumenggungan, ada Lawang Seketeng , Pejagalan dan ada pula Kawatan.
Nama-nama itu menyesuaikan dengan status kebangsaan dan pekerjaan. Sebut saja Kawatan. Nama ini diambil lantaran kawasan ini dihuni warga yang memproduksi kerajinan dari kawat. Sedangkan Pejagalan dikarenakan disini menjadi tempat jagal hewan.
Seperti halnya Yogjakarta dan Solo, Surabaya juga memiliki dua aloon-aloon yakni aloon-aloon utara dan selatan. Aloon-aloon Contong berada disebelah utara, sedangkan Tugu Pahlahwan itu dulu aloon-aloon selatan.
Dinamakan aloon-aloon Contong dikarenakan bentuknya lancip. Sejak akhir abad ke-19 disaat pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem tanam paksa atau cultuur stelseel, kegiatan perekonomian di Jatim dalam bidang pertanian mengalami peningkatan.
Dari sinilah muncul kebutuhan sejumlah alat pertanian untuk mendukung sistem tersebut. Disaat bersamaan, di Surabaya, berdiri sejumlah pabrik-pabrik yang bergerak dalam bidang pembuatan alat-alat pertanian.
Pabrik-pabrik itu berdiri disepanjang rel kereta api dan berada ditepi sebelah barang. Pabrik ini berdiri berjajar mengikuti rel kereta api sepanjang Wonokromo hingga Gubeng. Salah satunya adalah Pabrik Barata yang memproduksi permesinan berat seperti Buldozer. Ada pabrik gelas yang saat ini PT Iglas ada juga pabrik sabun hingga pabrik bir.
Sejumlah tempat yang menjadi titik perdagangan diantaranya, Pasar Besar, Kramat Gantung, Praban, Tunjungan, Bubutan, Keputran,Wonokromo dan Sepanjang. Posisi dari tempat-tempat tersebut berada berdekatan dengan stasiun kereta api.Sebut saja Tunjungan dan Praban yang berdekatan dengan stasiun Gubeng dan Wonokromo yang berdekatan dengan stasiun Wonokromo.
Disamping itu, sejumlah toko yang menjual alat pertanian dan perkebunan seperti diesel, bubut juga semakin hari-semakin banyak. Toko-toko tersebut tersebar dibeberapa titik seperti Kramat Gantung, Jagalan, Praban, Tunjungan Bubutan, Keputran dan Wonokromo.Geliat industri di Surabaya terus mengalami peningkatan hingga terjadinya Perang Dunia II pada tahun 1942 dimana Indoneisa di kuasa oleh Jepang.
Dari sekian, kawasan yang menjadi sentra perekonomian di Surabaya, Tunjungan merupakan tempat yang paling ramai. Sebab lokasinya yang memang cukup strategis.Tempat ini terhubung dengan semua pasar yang ada di Surabaya. Tunjungan juga menjadi akses perekonomian dari daerah-daerah luar Surabaya. Bahkan Tunjungan kala itu disebut sebagai DownTown atau Pusat Kota.
Memang saat itu sudah ada pasar Wonokromo, namun dari segi keramaian perdagangan masih kalah jauh dibandingkan dengan Tunjungan. Namun disebabkan Tunjungan juga menjadi tempat pemberhentian bis yang menghubungkan Surabaya-Malang, maka posisi Tunjungan lebih strategis.
Pada 1878 diresmikan stasiun kereta api yang menghubungkan Surabaya-Pasuruan. Lalu pada tahun berikutnya dibangun stasiun di Kota Malang. Dampak dari pembangunan stasiun ini sangat terasa dengan semakin ramainya perdagangan di Surabaya. Lebih-lebih ketika pada tahun 1903 pelabuhan Tanjung Perak juga diresmikan, lalu lintas perekonomian Surabaya semakin ramai.
Pembangunan sarana transportasi, rel kereta api ini semakin meluas ke daerah-daerah seperti Lumajang, Probolinggo dan Jember untuk wilayah timur. Sedangkan untuk wilayah Barat ada Mojokerto, Kertosono dan Jombang hingga Madiun. Produk pertanian yang banyak diperdagangkan adalah kopi, gula, teh, coklat, karet, tebu dan juga padi.
Sebelum Jalan Praban dan Jalan Tunjungan, pada abad ke-17 Ampel merupakan tempat menjadi lokasi perdagangan yang ramai dikunjungi dan menjadi pusat kota Surabaya. Ketika Ampel surut maka muncullah Jalan Panggung yang merupakan tempat tinggal banyak warga Cina atau biasa disebut Pecinan.
Menyusuri jalan kearah selatan ada Jalan Karet . Disini banyak berdiri bangunan kuno yang dulu merupakan toko. Sedangkan Pabean menjadi pasar yang paling ramai dikunjungi.
Untuk pelabuhan, sebelum Tanjung Perak, untuk wilayah utara ada pelabuhan Sukodono menjadi tempat yang cukup ramai lalu lintas perdagangannya. Sedangkan wilayah timur ada pelabuhan Ampel.
Kala itu pedagang Sukodono sudah mulai merambah ke sejumlah pulau luar Jawa seperti Kalimantan. Bahkan di pulau ini mereka sudah membentuk koloni hingga menjadikan daerah yang mereka tinggali dinamakan Sukodono. Penyebaran pedagang Sukodono ini hingga mencapai Sampit.
Saat itu, dalam transaksi perdagangan warga mengandalkan sungai brantas sebagai sarana transportasi. Disepanjang sungai ini terdapat pasar yang akan mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sebut saja, pasar Wonokromo, Pabean,Cantikan dan juga pasar Kaputran. Seiring dengan perkembangan perekonomian ini, warga Surabaya banyak yang konsumtif dimana mereka banyak membeli alat-alat untuk kebutuhan rumah tangga.
Pada tahun 1743 daerah mulai Cirebon hingga Probolinggo oleh Kerajaan Mataram diserahkan pada VOC. Sejumlah sejarawan menyebut, penyerahan daerah kekuasaan ini disebabkan Kerajaan Mataram mempunyai beban hutang yang tidak mampu dibayar oleh Mataram. Salah satu kota yang menjadi kekuasaan VOC adalah Surabaya. Setelah itu, VOC membangun tempat pertahanan yang berada kawasan Jembatan Merah.
Sejak awal abad ke-20 Jalan Tunjungan menjadi salah satu pusat komersial Kota Surabaya. Selain menjadi jalan penghubung daerah pertokoan utama di Surabaya. Jalan Tunjungan juga menghubungkan daerah perumahan disebelah selatan, barat dan juga timur Surabaya seperti Darmo, Sawahan, Gubeng dan Ketabang dengan kawasan perdagangan yang ada di Jembatan Merah.
“Dulu, Surabaya dijuluki kota Indamardi. Singkatan dari Industri, Perdagangan,Maritim dan Pendidikan. Sekarang diubah menjadi kota Perdagangan dan Jasa (Perjas),” pungkas Yousri.
Selain menjadi tempat penyebaran agama Islam dengan berdirinya Masjid Sunan Ampel, Kota yang juga berlambang Sura dan Baya ini juga menjadi tempat perdagangan yang cukup dikenal luas.
Menurut wartawan senior Yousri Nur Raga Agam, Surabaya tidak bisa dilepaskan dari nama Hujung Galuh. Ditilik dari makna, nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut, yakni Tanjung, dapat dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh” artinya emas. Dalam bahasa Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut: Wong anggaluh atau kemasan seperti tercantum dalam kamus Juynboll dan Mardiwarsito.
Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan perak. Hujunggaluh atau Hujung Emas, bisa disebut pula sebagai Hujung Perak, dan kemudian menjadi “Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali Emas (Kalimas).“Nah, bisa jadi Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu bernama Hujung Galuh,” kata pria yang sering menulis artikel dan beberapa buku tentang perjalanan sejarah Surabaya ini.
Berawal dari pembangunan rel kereta api yang dibangun oleh Belanda sekitar akhir abad ke-19 Surabaya menjadi salah satu daerah yang menjadi tempat transaksi perdagangan antar kota yang berada di lewati oleh rel tersebut.
Dari arah barat, ada Lamongan, Tuban hingga Rembang. Sedangkan dari arah timur ada Pasuruan, Jember, Probolinggi, Situbondo hingga Banyuwangi. Sedangkan dari wilayah selatan ada Malang dan Blitar, Kediri, Nganjuk, Tulungagung dan Madiun.
Sejak ditaklukkan Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung, tahun 1625, tatanan Kota Surabaya masih tampak seperti dulu. Bahkan ketika penjajah datang, tatanan Kota Surabaya tak pernah berubah.
Pemerintah Kolonial Belanda justru membangun kota ini berdasarkan tatanan yang telah ada sejak menjadi Kota Pelabuhan Pantai terkuat dan berpengaruh di Nusantara, abad ke-17.
Hingga Surabaya kala itu disebut-sebut sebagai kota perdagangan terbesar di Indonesia. Meski pelabuhan yang ada tidak sebesar di Jakarta, namun di Surabaya saat ini sudah terkenal dengan berdirinya banyak pabrik yang berada disepanjang Wonokromo, Gubeng hingga pelabuhan Kalimas.
Tata Kota Surabaya sebenarnya mengikuti pola tata kota keraton seperti yang dibangun pada masa Kerajaan Mataram. Tata Kota model keraton ini membagi warganya berdasarkan status kelas dan pekerjaan mereka. Sementara juga ada aloon-aloon, ada Kepatihan dan Pasar.
Dalam tata kota pola Keraton, pasar pasti berada di sebelah timur aloon-aloon. Lalu agak ke selatan ada Kepatihan. Kemudian ada Tumenggungan, ada Lawang Seketeng , Pejagalan dan ada pula Kawatan.
Nama-nama itu menyesuaikan dengan status kebangsaan dan pekerjaan. Sebut saja Kawatan. Nama ini diambil lantaran kawasan ini dihuni warga yang memproduksi kerajinan dari kawat. Sedangkan Pejagalan dikarenakan disini menjadi tempat jagal hewan.
Seperti halnya Yogjakarta dan Solo, Surabaya juga memiliki dua aloon-aloon yakni aloon-aloon utara dan selatan. Aloon-aloon Contong berada disebelah utara, sedangkan Tugu Pahlahwan itu dulu aloon-aloon selatan.
Dinamakan aloon-aloon Contong dikarenakan bentuknya lancip. Sejak akhir abad ke-19 disaat pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem tanam paksa atau cultuur stelseel, kegiatan perekonomian di Jatim dalam bidang pertanian mengalami peningkatan.
Dari sinilah muncul kebutuhan sejumlah alat pertanian untuk mendukung sistem tersebut. Disaat bersamaan, di Surabaya, berdiri sejumlah pabrik-pabrik yang bergerak dalam bidang pembuatan alat-alat pertanian.
Pabrik-pabrik itu berdiri disepanjang rel kereta api dan berada ditepi sebelah barang. Pabrik ini berdiri berjajar mengikuti rel kereta api sepanjang Wonokromo hingga Gubeng. Salah satunya adalah Pabrik Barata yang memproduksi permesinan berat seperti Buldozer. Ada pabrik gelas yang saat ini PT Iglas ada juga pabrik sabun hingga pabrik bir.
Sejumlah tempat yang menjadi titik perdagangan diantaranya, Pasar Besar, Kramat Gantung, Praban, Tunjungan, Bubutan, Keputran,Wonokromo dan Sepanjang. Posisi dari tempat-tempat tersebut berada berdekatan dengan stasiun kereta api.Sebut saja Tunjungan dan Praban yang berdekatan dengan stasiun Gubeng dan Wonokromo yang berdekatan dengan stasiun Wonokromo.
Disamping itu, sejumlah toko yang menjual alat pertanian dan perkebunan seperti diesel, bubut juga semakin hari-semakin banyak. Toko-toko tersebut tersebar dibeberapa titik seperti Kramat Gantung, Jagalan, Praban, Tunjungan Bubutan, Keputran dan Wonokromo.Geliat industri di Surabaya terus mengalami peningkatan hingga terjadinya Perang Dunia II pada tahun 1942 dimana Indoneisa di kuasa oleh Jepang.
Dari sekian, kawasan yang menjadi sentra perekonomian di Surabaya, Tunjungan merupakan tempat yang paling ramai. Sebab lokasinya yang memang cukup strategis.Tempat ini terhubung dengan semua pasar yang ada di Surabaya. Tunjungan juga menjadi akses perekonomian dari daerah-daerah luar Surabaya. Bahkan Tunjungan kala itu disebut sebagai DownTown atau Pusat Kota.
Memang saat itu sudah ada pasar Wonokromo, namun dari segi keramaian perdagangan masih kalah jauh dibandingkan dengan Tunjungan. Namun disebabkan Tunjungan juga menjadi tempat pemberhentian bis yang menghubungkan Surabaya-Malang, maka posisi Tunjungan lebih strategis.
Pada 1878 diresmikan stasiun kereta api yang menghubungkan Surabaya-Pasuruan. Lalu pada tahun berikutnya dibangun stasiun di Kota Malang. Dampak dari pembangunan stasiun ini sangat terasa dengan semakin ramainya perdagangan di Surabaya. Lebih-lebih ketika pada tahun 1903 pelabuhan Tanjung Perak juga diresmikan, lalu lintas perekonomian Surabaya semakin ramai.
Pembangunan sarana transportasi, rel kereta api ini semakin meluas ke daerah-daerah seperti Lumajang, Probolinggo dan Jember untuk wilayah timur. Sedangkan untuk wilayah Barat ada Mojokerto, Kertosono dan Jombang hingga Madiun. Produk pertanian yang banyak diperdagangkan adalah kopi, gula, teh, coklat, karet, tebu dan juga padi.
Sebelum Jalan Praban dan Jalan Tunjungan, pada abad ke-17 Ampel merupakan tempat menjadi lokasi perdagangan yang ramai dikunjungi dan menjadi pusat kota Surabaya. Ketika Ampel surut maka muncullah Jalan Panggung yang merupakan tempat tinggal banyak warga Cina atau biasa disebut Pecinan.
Menyusuri jalan kearah selatan ada Jalan Karet . Disini banyak berdiri bangunan kuno yang dulu merupakan toko. Sedangkan Pabean menjadi pasar yang paling ramai dikunjungi.
Untuk pelabuhan, sebelum Tanjung Perak, untuk wilayah utara ada pelabuhan Sukodono menjadi tempat yang cukup ramai lalu lintas perdagangannya. Sedangkan wilayah timur ada pelabuhan Ampel.
Kala itu pedagang Sukodono sudah mulai merambah ke sejumlah pulau luar Jawa seperti Kalimantan. Bahkan di pulau ini mereka sudah membentuk koloni hingga menjadikan daerah yang mereka tinggali dinamakan Sukodono. Penyebaran pedagang Sukodono ini hingga mencapai Sampit.
Saat itu, dalam transaksi perdagangan warga mengandalkan sungai brantas sebagai sarana transportasi. Disepanjang sungai ini terdapat pasar yang akan mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sebut saja, pasar Wonokromo, Pabean,Cantikan dan juga pasar Kaputran. Seiring dengan perkembangan perekonomian ini, warga Surabaya banyak yang konsumtif dimana mereka banyak membeli alat-alat untuk kebutuhan rumah tangga.
Pada tahun 1743 daerah mulai Cirebon hingga Probolinggo oleh Kerajaan Mataram diserahkan pada VOC. Sejumlah sejarawan menyebut, penyerahan daerah kekuasaan ini disebabkan Kerajaan Mataram mempunyai beban hutang yang tidak mampu dibayar oleh Mataram. Salah satu kota yang menjadi kekuasaan VOC adalah Surabaya. Setelah itu, VOC membangun tempat pertahanan yang berada kawasan Jembatan Merah.
Sejak awal abad ke-20 Jalan Tunjungan menjadi salah satu pusat komersial Kota Surabaya. Selain menjadi jalan penghubung daerah pertokoan utama di Surabaya. Jalan Tunjungan juga menghubungkan daerah perumahan disebelah selatan, barat dan juga timur Surabaya seperti Darmo, Sawahan, Gubeng dan Ketabang dengan kawasan perdagangan yang ada di Jembatan Merah.
“Dulu, Surabaya dijuluki kota Indamardi. Singkatan dari Industri, Perdagangan,Maritim dan Pendidikan. Sekarang diubah menjadi kota Perdagangan dan Jasa (Perjas),” pungkas Yousri.
(vhs)