Jelang Pileg 2019, Para Caleg Mulai Ngalab Berkah di Pesarean Bhatara Katong
A
A
A
PONOROGO - Pintu masuk cungkup pesarean (makam) Bathara Katong itu sempit. Jarak kanan kiri gawang pintu hanya pas untuk satu orang dewasa. Begitu juga rentang atas (pintu) dengan lantai. Rendah. Kalau tidak mau terbentur, setiap peziarah harus menundukkan kepala.
"Kenapa pintunya rendah ? Pesannya agar kita tetap rendah hati. Termasuk selama disini para peziarah harus menjaga kesopanan," tutur Mukim Raharjo (53) juru kunci Makam Bhatara Katong di Jalan Raya Raden Wijaya Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Cungkup atau rumah yang didirikan khusus untuk makam sesepuh atau tokoh itu berada di pojok area pemakaman. Beberapa depa dari pintu masuk berdiri pohon kamboja. Tanaman yang berasal dari Amerika Tengah itu berjumlah lebih lima buah. Semuanya berbunga merah.
Tumbuh juga Jati dan perdu tua berdaun rindang yang berderet memanjan mengikuti pintu masuk sampai cungkup. Pesarean Bathara Katong berada di tengah di antara lingkaran makam istri dan anak anaknya, punggawa, prajurit, hingga para abdi setia Kadipaten Prana Raga (nama kuno Ponorogo).
Posisi makam dengan dinding kayu jati warna merah kesumba dan hijau daun itu juga lebih tinggi. Ukiran lambang yang merujuk perpaduan Kerajaan Majapahit dan Mataram tampak terpahat di sana.
Sebelum tahun 1977, kata Mukim jarak genting dengan lantai ruangan cungkup makam Bathara Katong lebih rendah. Bahkan saking rendahnya saat duduk bersilapun para peziarah masih harus menundukkan kepala. “Tahun 1977 cungkup dipugar. Itu tertulis di tiang,“ terang Mukim menunjuk pada tiang yang dimaksud.
Di soko atau tiang tertulis pemugaran berlangsung 26 Agustus 1977. Pemugaran dilakukan Bupati Ponorogo Sumadi selaku kepala pemerintahan Kabupaten Ponorogo. Sebagai batas makam didirikan tembok tinggi. Juga jalan setapak berkeramik mulai pintu masuk hingga cungkup.
Kendati demikian berdirinya bangunan baru tidak mengubah konstruksi bangunan lama, yakni terutama bentuk gapura dan cungkup. Dalam pemugaran itu juga dilakukan pendataan jumlah makam.
Menurut Mukim ada ribuan makam yang disinyalir kuburan orang orang yang pernah hidup di masa pemerintahan Bathara Katong. “Terhitung seluruhnya ada sebanyak 1.500an makam lama,“ paparnya.
Bathara Katong atau Lembu Kanigoro adalah putra Bhre Kertabumi atau Brawijaya V, yakni Raja Majapahit terakhir dengan selirnya, Putri Campa yang beragama Islam. Lembu Kanigoro yang juga adipati pertama Ponorogo (era Kerajaan Demak) itu juga memiliki nama kecil Raden Joko Piturun atau Raden Harak Kali.
Sebutan Bhatara merujuk pada tindak tanduk seperti dewa. Sedangkan Katong adalah salah kaprah pengucapan yang seharusnya Katon atau terlihat. Dari keturunan Bathara Katong ajaran Islam tersebar di Ponorogo hingga Kabupaten Pacitan.
Mukim Raharjo merupakan juru kunci pesarean Bathara Katong yang ke 14. Amanah itu dia peroleh secara turun temurun. Mukim “berdinas” mulai pukul 07.00 WIB pagi hingga sore. Namun sering juga menemani peziarah yang berkunjung tengah malam. “Tentunya saya tidak bisa menolak kedatangan orang yang ingin berziarah. Meski tengah malam tetap saya antarkan,“ terangnya.
Pagi itu, dua pemuda yang memperkenalkan diri dari Kabupaten Ngawi datang sebelum pintu pesarean dibuka. Setelah beruluk salam dan berbasa basi sebentar, keduanya langsung duduk bersila di dalam cungkup pesarean. Sebentar memandangi pusara kuno panjang dengan nisan yang terbungkus kain mori putih (makam Bathara Katong). Juga melirik gebyok yang terukir huruf hijaiyah. Tidak berlangsung lama keduanya menundukkan kepala sekaligus memejamkan mata.
Mulutnya komat kamit, bergumam merapal doa. Tidak berlangsung lama datang peziarah lain. Pasangan suami istri dan seorang bocah kecil. Mukim meminta pasutri meninggalkan anaknya di luar cungkup. “Karena khawatirnya justru menganggu orang tuanya yang tengah berdoa,“ terang Mukim.
Karena ruangan cungkup yang sempit, yakni maksimal hanya cukup untuk enam orang dewasa, pasutri itu diminta menunggu sampai kedua pemuda itu menyelesaikan hajatnya. Ada juga peziarah yang mengaku datang dari Kediri, Blitar, Malang dan Surabaya. Rata rata mengenakan peci dan bersarung.
Akhir-akhir ini, kata Mukim jumlah peziarah pesarean Bhatara Katong cenderung meningkat. Gejala peningkatan itu dimulai sebelum pilkada serentak 27 Juni 2018. Selain berdoa banyak juga peziarah yang bertujuan ngalab barokah.
Menurut Mukim tidak sedikit peziarah yang mengaitkan pesarean (Bhatara Katong) dengan cita cita kekuasaan. Karenananya sebelum pemungutan suara digelar, tidak heran mulai calon kepala desa, calon anggota legislatif hingga calon bupati atau wali kota, berbondong bondong mendatangi pesarean Bhatara Katong.
Mereka berharap doanya menjadi penguasa akan terkabul. “Terutama calon anggota legislatif 2019 sudah banyak yang datang kemari. Tidak hanya datang dari Ponorogo sendiri. Tapi dari mana mana,“ ungkapnya.
Kepada setiap peziarah, yakni terutama umat muslim, Mukim mengaku selalu mewanti wanti untuk tidak terjebak pada prilaku syirik. Dia meminta para peziarah berdoa sesuai dengan syariat keyakinan masing masing. Tidak melakukan hal hal yang menyimpang.
Bahkan untuk mencegah pengkultusan yang mengarah pada syirik, usai berdoa Mukim meminta peziarah untuk segera meninggalkan lokasi cungkup. “Sebab semua datangnya dari Allah SWT. Di sini hanya lantaran. Jangan sampai terjebak pada prilaku syirik. Itu yang harus dipegang erat erat,“ pungkasnya.
"Kenapa pintunya rendah ? Pesannya agar kita tetap rendah hati. Termasuk selama disini para peziarah harus menjaga kesopanan," tutur Mukim Raharjo (53) juru kunci Makam Bhatara Katong di Jalan Raya Raden Wijaya Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Cungkup atau rumah yang didirikan khusus untuk makam sesepuh atau tokoh itu berada di pojok area pemakaman. Beberapa depa dari pintu masuk berdiri pohon kamboja. Tanaman yang berasal dari Amerika Tengah itu berjumlah lebih lima buah. Semuanya berbunga merah.
Tumbuh juga Jati dan perdu tua berdaun rindang yang berderet memanjan mengikuti pintu masuk sampai cungkup. Pesarean Bathara Katong berada di tengah di antara lingkaran makam istri dan anak anaknya, punggawa, prajurit, hingga para abdi setia Kadipaten Prana Raga (nama kuno Ponorogo).
Posisi makam dengan dinding kayu jati warna merah kesumba dan hijau daun itu juga lebih tinggi. Ukiran lambang yang merujuk perpaduan Kerajaan Majapahit dan Mataram tampak terpahat di sana.
Sebelum tahun 1977, kata Mukim jarak genting dengan lantai ruangan cungkup makam Bathara Katong lebih rendah. Bahkan saking rendahnya saat duduk bersilapun para peziarah masih harus menundukkan kepala. “Tahun 1977 cungkup dipugar. Itu tertulis di tiang,“ terang Mukim menunjuk pada tiang yang dimaksud.
Di soko atau tiang tertulis pemugaran berlangsung 26 Agustus 1977. Pemugaran dilakukan Bupati Ponorogo Sumadi selaku kepala pemerintahan Kabupaten Ponorogo. Sebagai batas makam didirikan tembok tinggi. Juga jalan setapak berkeramik mulai pintu masuk hingga cungkup.
Kendati demikian berdirinya bangunan baru tidak mengubah konstruksi bangunan lama, yakni terutama bentuk gapura dan cungkup. Dalam pemugaran itu juga dilakukan pendataan jumlah makam.
Menurut Mukim ada ribuan makam yang disinyalir kuburan orang orang yang pernah hidup di masa pemerintahan Bathara Katong. “Terhitung seluruhnya ada sebanyak 1.500an makam lama,“ paparnya.
Bathara Katong atau Lembu Kanigoro adalah putra Bhre Kertabumi atau Brawijaya V, yakni Raja Majapahit terakhir dengan selirnya, Putri Campa yang beragama Islam. Lembu Kanigoro yang juga adipati pertama Ponorogo (era Kerajaan Demak) itu juga memiliki nama kecil Raden Joko Piturun atau Raden Harak Kali.
Sebutan Bhatara merujuk pada tindak tanduk seperti dewa. Sedangkan Katong adalah salah kaprah pengucapan yang seharusnya Katon atau terlihat. Dari keturunan Bathara Katong ajaran Islam tersebar di Ponorogo hingga Kabupaten Pacitan.
Mukim Raharjo merupakan juru kunci pesarean Bathara Katong yang ke 14. Amanah itu dia peroleh secara turun temurun. Mukim “berdinas” mulai pukul 07.00 WIB pagi hingga sore. Namun sering juga menemani peziarah yang berkunjung tengah malam. “Tentunya saya tidak bisa menolak kedatangan orang yang ingin berziarah. Meski tengah malam tetap saya antarkan,“ terangnya.
Pagi itu, dua pemuda yang memperkenalkan diri dari Kabupaten Ngawi datang sebelum pintu pesarean dibuka. Setelah beruluk salam dan berbasa basi sebentar, keduanya langsung duduk bersila di dalam cungkup pesarean. Sebentar memandangi pusara kuno panjang dengan nisan yang terbungkus kain mori putih (makam Bathara Katong). Juga melirik gebyok yang terukir huruf hijaiyah. Tidak berlangsung lama keduanya menundukkan kepala sekaligus memejamkan mata.
Mulutnya komat kamit, bergumam merapal doa. Tidak berlangsung lama datang peziarah lain. Pasangan suami istri dan seorang bocah kecil. Mukim meminta pasutri meninggalkan anaknya di luar cungkup. “Karena khawatirnya justru menganggu orang tuanya yang tengah berdoa,“ terang Mukim.
Karena ruangan cungkup yang sempit, yakni maksimal hanya cukup untuk enam orang dewasa, pasutri itu diminta menunggu sampai kedua pemuda itu menyelesaikan hajatnya. Ada juga peziarah yang mengaku datang dari Kediri, Blitar, Malang dan Surabaya. Rata rata mengenakan peci dan bersarung.
Akhir-akhir ini, kata Mukim jumlah peziarah pesarean Bhatara Katong cenderung meningkat. Gejala peningkatan itu dimulai sebelum pilkada serentak 27 Juni 2018. Selain berdoa banyak juga peziarah yang bertujuan ngalab barokah.
Menurut Mukim tidak sedikit peziarah yang mengaitkan pesarean (Bhatara Katong) dengan cita cita kekuasaan. Karenananya sebelum pemungutan suara digelar, tidak heran mulai calon kepala desa, calon anggota legislatif hingga calon bupati atau wali kota, berbondong bondong mendatangi pesarean Bhatara Katong.
Mereka berharap doanya menjadi penguasa akan terkabul. “Terutama calon anggota legislatif 2019 sudah banyak yang datang kemari. Tidak hanya datang dari Ponorogo sendiri. Tapi dari mana mana,“ ungkapnya.
Kepada setiap peziarah, yakni terutama umat muslim, Mukim mengaku selalu mewanti wanti untuk tidak terjebak pada prilaku syirik. Dia meminta para peziarah berdoa sesuai dengan syariat keyakinan masing masing. Tidak melakukan hal hal yang menyimpang.
Bahkan untuk mencegah pengkultusan yang mengarah pada syirik, usai berdoa Mukim meminta peziarah untuk segera meninggalkan lokasi cungkup. “Sebab semua datangnya dari Allah SWT. Di sini hanya lantaran. Jangan sampai terjebak pada prilaku syirik. Itu yang harus dipegang erat erat,“ pungkasnya.
(wib)