Menyedihkan, 300 Kasus KDRT Terjadi di Kota Semarang
A
A
A
SEMARANG - Tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi catatan buruk di Kota Semarang, Jawa Tengah. Dalam kurun waktu setahun terakhir terjadi 300 kasus KDRT yang berujung pada pelaporan ke polisi. Padahal kasus ini ibarat fenomena gunung es, sebab masih banyak yang tak tampak di permukaan.
"Kasus tersebut (KDRT) yang dilaporkan ke polisi dalam setahun mencapai 500-600 kasus di Jateng, dan 300 kasus berada di Semarang. Itu bagi yang berani melaporkan, padahal mereka banyak yang tak berani melapor karena berbagai sebab," kata anggota Divisi Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Kota Semarang, Fenny Cahyani, Senin (6/8/2018).
Dia menjelaskan, kebanyakan korban KDRT adalah perempuan dan anak karena kondisinya lebih lemah, baik fisik maupun kejiwaan. Seorang istri yang menjadi korban lebih memilih diam, karena jika harus melapor ke polisi khawatir disebut tak berbakti pada suami. Selain itu, jika suami sampai meringkuk di penjara, maka dia akan kehilangan tulang punggung keluarga sehingga akan lebih repot mengurus anak-anak.
"Inilah yang membuat perempuan enggan melapor. Hal inilah yang membuat KDRT itu seperti fenomena gunung es. Banyak sekali yang enggak berani melapor," ujarnya.
Untuk itu sebagai seorang advokat perempuan, Fenny mengaku banyak memberi edukasi dan pemahaman hukum kepada ibu-ibu runah tangga. Menurutnya, langkah pencegahan terjadinya KDRT lebih utama dibandingkan menumbuhkan keberanian ibu-ibu untuk datang ke kantor polisi.
"Memang hukum ini adalah yang terakhir. Yang terpenting adalah bagaimana membina keluarga yang baik, tidak saling menyakiti baik fisik maupun psikis. Menyakiti psikis itu termasuk KDRT juga lho. Makanya kita sebagai advokat perempuan sering hadir di tengah-tengah masyarakat, pertemuan ibu-ibu PKK untuk memberi pemahaman tentang ini semua," ujar ibu tiga anak tersebut.
Pemerintah Kota Semarang juga telah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Seruni yang fokus pada pendampingan korban kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Lembaga ini juga menggandeng advokat perempuan untuk memberi pendampingan hukum terhadap korban.
Data PPT Seruni Kota Semarang menunjukkan 281 aduan yang masuk pada 2015. Jumlah itu meningkat pada 2016 yang terdapat 271 aduan. Setahun berikutnya, pada 2017 tercatat 305 aduan. Kenaikan data bisa diakibatkan tindak kekerasan yang memang naik, dan kemungkinan kedua adalah korban sudah lebih berani melapor atas kekerasan yang menimpanya.
"Kasus tersebut (KDRT) yang dilaporkan ke polisi dalam setahun mencapai 500-600 kasus di Jateng, dan 300 kasus berada di Semarang. Itu bagi yang berani melaporkan, padahal mereka banyak yang tak berani melapor karena berbagai sebab," kata anggota Divisi Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Kota Semarang, Fenny Cahyani, Senin (6/8/2018).
Dia menjelaskan, kebanyakan korban KDRT adalah perempuan dan anak karena kondisinya lebih lemah, baik fisik maupun kejiwaan. Seorang istri yang menjadi korban lebih memilih diam, karena jika harus melapor ke polisi khawatir disebut tak berbakti pada suami. Selain itu, jika suami sampai meringkuk di penjara, maka dia akan kehilangan tulang punggung keluarga sehingga akan lebih repot mengurus anak-anak.
"Inilah yang membuat perempuan enggan melapor. Hal inilah yang membuat KDRT itu seperti fenomena gunung es. Banyak sekali yang enggak berani melapor," ujarnya.
Untuk itu sebagai seorang advokat perempuan, Fenny mengaku banyak memberi edukasi dan pemahaman hukum kepada ibu-ibu runah tangga. Menurutnya, langkah pencegahan terjadinya KDRT lebih utama dibandingkan menumbuhkan keberanian ibu-ibu untuk datang ke kantor polisi.
"Memang hukum ini adalah yang terakhir. Yang terpenting adalah bagaimana membina keluarga yang baik, tidak saling menyakiti baik fisik maupun psikis. Menyakiti psikis itu termasuk KDRT juga lho. Makanya kita sebagai advokat perempuan sering hadir di tengah-tengah masyarakat, pertemuan ibu-ibu PKK untuk memberi pemahaman tentang ini semua," ujar ibu tiga anak tersebut.
Pemerintah Kota Semarang juga telah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Seruni yang fokus pada pendampingan korban kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Lembaga ini juga menggandeng advokat perempuan untuk memberi pendampingan hukum terhadap korban.
Data PPT Seruni Kota Semarang menunjukkan 281 aduan yang masuk pada 2015. Jumlah itu meningkat pada 2016 yang terdapat 271 aduan. Setahun berikutnya, pada 2017 tercatat 305 aduan. Kenaikan data bisa diakibatkan tindak kekerasan yang memang naik, dan kemungkinan kedua adalah korban sudah lebih berani melapor atas kekerasan yang menimpanya.
(amm)