Dialog Bung Karno dengan Profesor Kadirun Yahya

Senin, 30 Juli 2018 - 05:00 WIB
Dialog Bung Karno dengan Profesor Kadirun Yahya
Dialog Bung Karno dengan Profesor Kadirun Yahya
A A A
SUATU hari Presiden RI pertama Soekarno bertemu dengan seorang ahli fisika yang juga ulama sufi, Prof DR H Kadirun Yahya. Ada perbincangan menarik yang sarat hikmah dalam pertemuan itu.

Seperti dikutip dari Arrahmahnews, Kadirun Yahya saat itu menjabat Rektor Universitas Panca Budi, Medan. Ia bersama rombongan diterima di beranda Istana Merdeka (sekitar Juli 1965) bersama Prof Ir Brojonegoro (alm), Prof dr Syarif Thayib, Bapak Suprayogi, Admiral John Lie, Pak Sucipto Besar, Kapolri, Duta Besar Belanda.

“Wah, pagi-pagi begini saya sudah dikepung oleh tiga profesor-profesor,” kelakar Bung Karno (panggilan akrab Presiden Soekarno) ketika menyambut Prof Kadirun Yahya beserta rombongan. Kemudian Presiden Soekarno mempersilakan rombongan tamunya untuk duduk.

“Profesor Kadirun Yahya silakan duduk dekat saya,” pinta presiden Soekarno kepada Prof Kadirun Yahya, terkesan khusus.

Professor, ik horde van jou al sinds 4 jaar, maar nu pas onmoet ik jou, ik wou je eigenlijk iets vragen (saya dengar tentang engkau sudah sejak 4 tahun, tapi baru sekarang aku ketemu engkau, sebenarnya ada sesuatu yang akan aku tanyakan padamu),” kata presiden Soekarno dengan bahasa Belanda.

“Ya, tentang apa itu Bapak Presiden?”. “Tentang sesuatu hal yang sudah kira-kira 10 tahun, saya cari-cari jawabannya, tapi belum ketemu jawaban yang memuaskan. Saya sudah bertanya pada semua ulama dan para intelektual yang saya anggap tahu. Tetapi semua jawabannya tetap tidak memuaskan saya”. “Lantas soalnya apa bapak Presiden?”.

“Saya bertanya terlebih dahulu tentang yang lain, sebelum saya majukan pertanyaan yang sebenarnya” jawab Presiden Soekarno. “Baik Presiden,” kata Prof Kadirun Yahya.

“Manakah yang lebih tinggi, Presiden atau Jenderal atau Profesor dibanding dengan surga?” tanya Presiden. “Surga” jawab Prof Kadirun Yahya. “Accord (setuju),” jawab Bung Karno.

Bung Karno pun bertanya untuk soal berikutnya. “Lantas manakah yang lebih banyak dan lebih lama pengorbanannya antara pangkat-pangkat dunia yang tadi dibanding dengan pangkat surga?” tanyanya.

“Untuk presiden, jenderal, profesor harus berpuluh-puluh tahun berkorban dan mengabdi pada Negara, nusa dan bangsa atau pada ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk mendapatkan surga harus berkorban untuk Allah segala-galanya. Berpuluh-puluh tahun terus menerus, bahkan menurut agama Hindu atau Budha harus beribu-ribu kali hidup dan berabdi, baru barangkali dapat masuk Nirwana,” jawab Prof Kadirun. “Accord,” kata Bung Karno.

“Nu heb ik je te pakken Professor (sekarang baru dapat kutangkap engkau Profesor),” lanjut Bung Karno. Tampak mukanya cerah berseri dengan senyumnya yang khas. Dan kelihatannya Bung Karno belum ingin cepat-cepat bertanya untuk yang pokok masalah. “Saya cerita sedikit dulu” kata Bung Karno. “Silakan Bapak Presiden”.

“Saya telah melihat teman-teman saya meninggal dunia lebih dahulu dari saya, dan hampir semuanya matinya jelek karena banyak dosa rupanya. Sayapun banyak dosa dan saya takut mati jelek. Maka saya selidiki Alquran dan Al-Hadis bagaimana caranya supaya dengan mudah hapus dosa saya dan dapat ampunan dan bisa mati tersenyum.”

“Lantas saya ketemu dengan satu Hadis yang bagi saya berharga. Bunyinya kira-kira sebagai berikut: Rasulullah SAW bersabda: Seorang wanita penuh dosa berjalan di padang pasir, bertemu dengan seekor anjing dan kehausan. Wanita tadi mengambil gayung yang berisikan air dan memberi minum anjing yang kehausan itu. Rasul lewat dan berkata: Hai para sahabatku. Lihatlah, dengan memberi minum anjing itu, hapus dosa wanita itu dunia dan akhirat. Ia ahli surga”.

“Nah Profesor, tadi engkau katakan bahwa untuk mendapatkan surga harus berkorban segala-galanya, berpuluh-puluh tahun untuk Allah baru dapat masuk surga. Itupun barangkali. Sementara sekarang seorang wanita yang berdosa dengan sedikit saja jasa, itupun pada seekor anjing pula, dihapuskan Tuhan dosanya dan ia ahli surga. How do you explain it Professor?” tanya Bung Karno lanjut.

Profesor Kadirun Yahya terlihat tidak langsung menjawab. Ia hening sejenak. Lantas berdiri dan meminta kertas. “Presiden, U zei, det U in 10 jaren’t antwoord niet hebt kunnen vinden, laten we zien (Presiden, tadi bapak katakan dalam 10 tahun tak ketemu jawabannya, coba kita lihat), mudah-mudahan dengan bantuan Allah dalam 2 menit saja saya coba memberikan jawabannya dan memuaskan,” katanya.

Keduanya adalah sama-sama eksakta, Bung Karno adalah seorang insinyur dan Profesor Kadirun Yahya adalah ahli kimia/fisika. Di atas kertas Prof Kadirun Yahya mulai menuliskan penjelasannya.
10/10 = 1 ;
“Ya” kata Presiden.
10/100 = 1/10 ; “Ya” kata sang Presiden.
10/1000` = 1/100 ;
“Ya” kata Presiden.
10/10.000 = 1/1000 ;
“Ya” kata Presiden.
10 / ∞ (tak terhingga) = 0 ;
“Ya” kata Presiden.
1000.000 … / ∞ = 0 ;
“Ya” kata Presiden.
(Berapa saja + Apa saja) /∞ = 0;
“Ya” kata Presiden.
Dosa / ∞ = 0 ;
“Ya” kata Presiden.
Nah…” lanjut Prof,
1 x ∞ = ∞ ;
“Ya” kata Presiden
½ x ∞ = ∞ ;
“Ya” kata Presiden.
1 zarah x ∞ = ∞ ;
“Ya” kata Presiden.
“… ini artinya, sang wanita, walaupun hanya 1 zarah jasanya, bahkan terhadap seekor anjing sekalipun, mengkaitkan, menggandengkan gerakannya dengan yang Maha Akbar.”

“Mengikutsertakan yang Maha Besar dalam gerakan-gerakannya, maka hasil dari gerakannya itu menghasilkan ibadah yang begitu besar, yang langsung dihadapkan pada dosa-dosanya, yang pada saat itu juga hancur berkeping-keping. Ditorpedo oleh pahala yang Maha Besar itu. 1 zarah x ∞ = ∞ Dan, Dosa / ∞ = 0.

"Ziedaar hetantwoord, Presiden (Itulah dia jawabannya Presiden),” jawab Kadirun Yahya meyakinkan. Bung Karno diam sejenak dan kemudian mengatakan “Geweldig (hebat)”.Bung Karno pun semakin penasaran. Masih ada lagi pertanyaan yang ia ajukan. “Bagaimana agar dapat hubungan dengan Tuhan?” katanya.Profesor Kadirun Yahya menjawabnya dengan lugas. “Dengan mendapatkan frekuensi-Nya. Tanpa mendapatkan frekuensi-Nya tak mungkin ada kontak dengan Tuhan.”

“Lihat saja, walaupun 1 mm jaraknya dari sebuah zender radio, kita letakkan radio dengan frekuensi yang tidak sama, maka radio kita itu tidak akan mengeluarkan suara dari zender tersebut. Begitu juga dengan Tuhan, walaupun Tuhan berada lebih dekat dari kedua urat leher kita, tak mungkin ada kontak jika frekuensi-Nya tidak kita dapati,” jelasnya.

“Bagaimana agar dapat frekuensi-Nya, sementara kita adalah manusia kecil yang serba kekurangan ?” tanya Bung Karno.

“Melalui isi dada Rasulullah SAW,” jawab Prof Kadirun. “Dalam Hadits Qudsi berbunyi yang artinya : Bahwasanya Alquran ini satu ujungnya di tangan Allah dan satu lagi di tangan kamu, maka peganglah kuat-kuat akan dia,” lanjutnya.

Prof menyambung, “Begitu juga dalam QS Al-Hijr ayat 29, Maka setelah Aku sempurnakan dia dan Aku tiupkan di dalamnya sebagian rohKu, rebahkanlah dirimu bersujud kepadaNya”. “Nur Ilahi yang terbit dari Allah sendiri adalah tali yang nyata antara Allah dengan Rasulullah. Ujung Nur Illahi itu ada dalam dada Rasulullah. Ujungnya itulah yang kita hubungi, maka jelas kita akan dapat frekuensi dari Allah,” kata Prof melanjutkan.

“Lihat saja sunnatullah, hanya cahaya matahari saja yang satu-satunya sampai pada matahari. Tak ada yang sampai pada matahari melainkan cahayanya sendiri. Juga gas-gas yang saringan-saringannya tak ada yang sampai matahari, walaupun ‘edelgassen’ seperti Xenon, Crypton, Argon, Helium, Hydrogen dan lain-lain. Semua vacuum!

Yang sampai pada matahari hanya cahayanya karena ia terbit darinya dan tak bercerai siang dan malamnya dengannya. Kalaulah matahari umurnya 1 (satu) juta tahun, maka cahayanyapun akan berumur sejuta tahun pula. Kalau matahari hilang maka cahayanyapun akan hilang. Matahari hanya dapat dilihat melalui cahayanya, tanpa cahaya, mataharipun tak dapat dilihat”.

“Namun cahaya matahari, bukanlah matahari– cahaya matahari adalah getaran transversal dan longitudinal dari matahari sendiri (Huygens),” jelas Prof Kadirun.

Prof Kadirun Yahya menyimpulkan, “Dan Rasulullah adalah satu-satunya manusia akhir zaman yang mendapat Nur Ilahi dalam dadanya. Mutlak jika hendak mendapatkan frekuensi Allah, ujung dari nur itu yang berada dalam dada Rasulullah harus dihubungi.”

“Bagaimana cara menghubungkannya, sementara Rasulullah sudah wafat sekian lama?” tanya Bung Karno.

Prof Kadirun Yahya menjawab, “Memperbanyak shalawat atas Nabi tentu akan mendapatkan frekuensi Beliau, yang otomatis mendapat frekuensi Allah. Tidak kukabulkan doa seseorang, tanpa shalawat atas Rasul-Ku. Doanya tergantung di awang-awang (HR. Abu Daud dan An-Nasay). Jika diterjemahkan secara akademis mungkin kurang lebih: “Tidak engkau mendapat frekuensi-Ku tanpa lebih dahulu mendapat frekuensi Rasul-Ku,” jelas Kadirun.

Mendengar itu, sontak Bung Karno berdiri. “You are wonderful” teriaknya. Pada akhir perbincangan tersebut, Bung Karno merangkul kedua tangan profesor sembari berkata: “Profesor, doakan saya supaya dapat mati dengan tersenyum di belakang hari nanti".
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3331 seconds (0.1#10.140)