Tes Psikologi Bagi Pemohon SIM Bisa Kurangi Angka Kecelakaan
Rabu, 20 Juni 2018 - 03:29 WIB

Tes Psikologi Bagi Pemohon SIM Bisa Kurangi Angka Kecelakaan
A
A
A
JAKARTA - Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menilai, dibeberapa negara, psikotes untuk mendapatkan SIM sudah lama diterapkan. Biasanya tergolong medical-psychological assesment.
Jadi dalam proses pengajuan SIM harus ada kedua proses tersebut. "Termasuk juga assessment psikologis secara lebih mendalam pada pemilik SIM yang SIM-nya pernah dicabut karena masalah tertentu," katanya, Rabu (20/6/2018).
Menurutnya, langkah ini sangat baik dan jelas relevan dengan penurunan tingkat kecelakan maupun perilaku berkendara secara tertib dan beretiket di jalan raya.
Selama ini yang dites untuk mendapat SIM hanyalah hardskill baik tertulis maupun praktikum. Aspek psikologis memang belum pernah diujikan. Sayangnya, selama ini masyarakat Indonesia hanya mengenal Psikotes sebagai tes kecerdasan/inteligensi.
"Padahal sudah banyak instrumen psikologi yang dikembangkan untuk memeriksa aspek psikologis pengemudi. Apakah secara umum kepribadiannya mudah dipengaruhi emosi saat berkendara, kecepat lelahan (fatigue), kecepatan reaksi, kepatuhan pada aturan dan lain sebagainya," ucapnya.
Kendala utama adalah jika ingin mendapat gambaran yang menyeluruh tentu biayanya pasti mahal, karena psikotes memang tidak murah. Akhirnya belum tentu semua orang layak untuk mendapatkan SIM karena SIM adalah tanda bukti/sertifikasi kompetensi mengemudi baik hardskill maupun softskill.
Psikotes juga harus disusun dan diadministrasi dengan standar yang ketat agar tujuannya tercapai. Hal ini harus diwaspadai dengan baik, jangan sampai psikotes hanya juga menjadi ‘formalitas’ seperti yang selama ini terjadi dengan tes tes yang lain.
Dalam pemilihan vendor penyedia psikotes juga harus dikawal dengan baik, mengingat jumlah penyedia layanan psikologi di Indonesia tidak cukup banyak.
"Potensi kecurangan dari berbagai sumber menjadi hal yang harus diperhatikan mengingat saat ini memiliki SIM penting artinya bagi seluruh lapisan masyarakat terutama bagi pencari kerja," pungkasnya.
Jadi dalam proses pengajuan SIM harus ada kedua proses tersebut. "Termasuk juga assessment psikologis secara lebih mendalam pada pemilik SIM yang SIM-nya pernah dicabut karena masalah tertentu," katanya, Rabu (20/6/2018).
Menurutnya, langkah ini sangat baik dan jelas relevan dengan penurunan tingkat kecelakan maupun perilaku berkendara secara tertib dan beretiket di jalan raya.
Selama ini yang dites untuk mendapat SIM hanyalah hardskill baik tertulis maupun praktikum. Aspek psikologis memang belum pernah diujikan. Sayangnya, selama ini masyarakat Indonesia hanya mengenal Psikotes sebagai tes kecerdasan/inteligensi.
"Padahal sudah banyak instrumen psikologi yang dikembangkan untuk memeriksa aspek psikologis pengemudi. Apakah secara umum kepribadiannya mudah dipengaruhi emosi saat berkendara, kecepat lelahan (fatigue), kecepatan reaksi, kepatuhan pada aturan dan lain sebagainya," ucapnya.
Kendala utama adalah jika ingin mendapat gambaran yang menyeluruh tentu biayanya pasti mahal, karena psikotes memang tidak murah. Akhirnya belum tentu semua orang layak untuk mendapatkan SIM karena SIM adalah tanda bukti/sertifikasi kompetensi mengemudi baik hardskill maupun softskill.
Psikotes juga harus disusun dan diadministrasi dengan standar yang ketat agar tujuannya tercapai. Hal ini harus diwaspadai dengan baik, jangan sampai psikotes hanya juga menjadi ‘formalitas’ seperti yang selama ini terjadi dengan tes tes yang lain.
Dalam pemilihan vendor penyedia psikotes juga harus dikawal dengan baik, mengingat jumlah penyedia layanan psikologi di Indonesia tidak cukup banyak.
"Potensi kecurangan dari berbagai sumber menjadi hal yang harus diperhatikan mengingat saat ini memiliki SIM penting artinya bagi seluruh lapisan masyarakat terutama bagi pencari kerja," pungkasnya.
(ysw)