Harus Diputus Pola Rekrutmen Anak di Lingkaran Terorisme
A
A
A
SURABAYA - Pascabom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo menyisahkan banyak kepedihan. Salah satunya pelibatan anak di lingkaran aksi terorisme. Anak-anak yang menjadi korban itu harus diselamatkan sejak dini. Caranya dengan memutus pola rekrutmen para jihadis terhadap anak.
Ketua Komisi Perlindungan Anak dan Ibu (KPAI) Susanto menuturkan, butuh kerja sama dari berbagai pihak untuk dapat memutus pola rekrutmen pada anak itu.
Makanya, kata dia, sejak dini semua pihak lebih mewaspadai pola rekrutmen pelaku teror setelah tragedi bom Surabaya dan Sidoarjo.
“Kalau dilihat memang terjadi pergeseran pola rekrutmen pelaku teror dari orang dewasa ke perempuan dan anak-anak, “ ujar Susanto, Kamis (17/5/2018).
Pola rekruitmen pelaku teror jika diikuti setiap tahunnya selalu berubah. Nah, pelibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi bom bunuh diri adalah pola terbaru.Semua itu dilakukan agar tak terdeteksi oleh aparat dan orang sekitarnya.
Di sisi lain, peran guru di sekolah sangat penting dan strategis untuk melakukan pencegahan sejak dini. Mereka bisa melakukan deteksi awal dengan pendekatan persuasif.“Jadi pastikan bahwa anak mendapatkan guru yang tepat, berpikir luas dan memiliki pemahaman keagamaan yang tepat,” bebernya.
Susanto juga membeberkan, pola-pola baru yang digunakan oleh jaringan pelaku teror dalam mentoring dan rekrutmen anggota adalah masuk pada wilayah-wilayah yang dipandang vital secara sosial.
Sehingga dalam banyak kasus jaringan teror mengincar guru sebagai mentor. Setelah itu, orang tua agar menjadi mentor bagi anaknya, sebagaimana kasus terbaru teror bom di Surabaya. “Karena orangtua merupakan sendi vital dan kehidupan bermasyarakat,” ucapnya.
Susanto pun mengingatkan tidak ada ajaran agama manapun juga yang mengajarkan terorisme. Semua agama mengajarkan kebaikan dan cinta kasih. Terorisme sendiri melanggar ajaran agama dan prinsip-prinsip nilai bernegara dan berkebangsaan.
Sosiolog Anak Universitas Airlangga Surabaya Bagong Suyanto mengatakan, anak-anak yang dilibatkan dalam aksi terorisme di Surabaya dan Sidoarjo, sejatinya mereka adalah korban. Mereka tidak paham tentang aksi kedua orang tuanya. Kesadaran mereka pun dibentuk oleh kedua orang tuanya sejak lama.
Pada fase anak, mereka harusnya bisa bermain dan bergembira. Ada teman sepermainan serta mampu membingkai cita-citanya di masa depan
Ketua Komisi Perlindungan Anak dan Ibu (KPAI) Susanto menuturkan, butuh kerja sama dari berbagai pihak untuk dapat memutus pola rekrutmen pada anak itu.
Makanya, kata dia, sejak dini semua pihak lebih mewaspadai pola rekrutmen pelaku teror setelah tragedi bom Surabaya dan Sidoarjo.
“Kalau dilihat memang terjadi pergeseran pola rekrutmen pelaku teror dari orang dewasa ke perempuan dan anak-anak, “ ujar Susanto, Kamis (17/5/2018).
Pola rekruitmen pelaku teror jika diikuti setiap tahunnya selalu berubah. Nah, pelibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi bom bunuh diri adalah pola terbaru.Semua itu dilakukan agar tak terdeteksi oleh aparat dan orang sekitarnya.
Di sisi lain, peran guru di sekolah sangat penting dan strategis untuk melakukan pencegahan sejak dini. Mereka bisa melakukan deteksi awal dengan pendekatan persuasif.“Jadi pastikan bahwa anak mendapatkan guru yang tepat, berpikir luas dan memiliki pemahaman keagamaan yang tepat,” bebernya.
Susanto juga membeberkan, pola-pola baru yang digunakan oleh jaringan pelaku teror dalam mentoring dan rekrutmen anggota adalah masuk pada wilayah-wilayah yang dipandang vital secara sosial.
Sehingga dalam banyak kasus jaringan teror mengincar guru sebagai mentor. Setelah itu, orang tua agar menjadi mentor bagi anaknya, sebagaimana kasus terbaru teror bom di Surabaya. “Karena orangtua merupakan sendi vital dan kehidupan bermasyarakat,” ucapnya.
Susanto pun mengingatkan tidak ada ajaran agama manapun juga yang mengajarkan terorisme. Semua agama mengajarkan kebaikan dan cinta kasih. Terorisme sendiri melanggar ajaran agama dan prinsip-prinsip nilai bernegara dan berkebangsaan.
Sosiolog Anak Universitas Airlangga Surabaya Bagong Suyanto mengatakan, anak-anak yang dilibatkan dalam aksi terorisme di Surabaya dan Sidoarjo, sejatinya mereka adalah korban. Mereka tidak paham tentang aksi kedua orang tuanya. Kesadaran mereka pun dibentuk oleh kedua orang tuanya sejak lama.
Pada fase anak, mereka harusnya bisa bermain dan bergembira. Ada teman sepermainan serta mampu membingkai cita-citanya di masa depan
(vhs)