Pulihkan Kejiwaan Anak Korban Bom, Psikolog Terapkan PFA
A
A
A
SURABAYA - Sejumlah psikolog saat ini melakukan trauma healing atau proses pemulihan tekanan psikologis akibat syok terhadap anak korban ledakan bom di Surabaya. Tahap awal yang dilakukan dalam proses ini adalah melakukan psychological first aid (PFA) atau pertolongan pertama pada gangguan psikologis.
Koordinator Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Jatim, Naftalia Kusumawardhani mengatakan, pihaknya sudah melakukan pendampingan sejak Minggu (13/5/2018) atau setelah terjadi ledakan bom di tiga gereja di Surabaya. Saat ini, ada setidaknya 12 anggota dari IPK Jatim yang sudah melakukan pendampingan. Pendampingan tersebut atas permintaan dari RS Bhayangkara Polda Jatim. “Tahap pertama yang kami lakukan ya PFA itu,” katanya, Kamis (17/5/2018)
Dalam metode PFA ini, sambungnya, psikolog tidak hanya mendampingi dan berperan sebagai pendengar yang baik. Psikolog tidak boleh mengarahkan atau menasehati. Tujuan dalam proses ini adalah agar korban melepaskan semua emosi dan kekesalan dalam jiwanya.
“Kalau teriak, silahkan teriak. Kalau mau mukul, silahkan mukul. Kalau mau mencaci maki teroris, silahkan mencaci maki. Itu saja tugas psikolog dalam tahap PFA,” ujarnya.
Terkait jangka waktu pemulihan, Naftalia tidak dapat memastikan. Pasalnya, kadar syok atau ketakutan yang dialami masing-masing korban berbeda-beda. Pendekatan atau metode yang dilakukan juga akan berbeda.
Namun, dalam tahap awal, pasti menggunakan PFA dan itu sudah merupakan standar internasional dalam pemulihan syok. “Untuk saat ini anak korban ledakan bom tidak mengalami trauma. Hanya syok saja. Disebut trauma ketika ketakutan itu berlangsung lebih dari dua bulan,” tandasnya.
Sebelumnya Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, anak-anak yang dilibatkan oleh pelaku bom bunuh diri memerlukan penanganan secara menyeluruh. Mulai dari seg medis, sosial, psikologis maupun pendekatan agama.
Selain pemulihan medis dan kejiwaan, anak-anak ini juga harus mendapatkan pengasuhan yang tepat. Ke depan, anak-anak ini tidak lagi mendapat doktrin terorisme. Namun mendapat pengajaran agama yang tepat. “Penanganan akan dilakukan. Yang terakhir ini penting. Agar anak memiliki pemahaman yang tepat tentang agama," ujarnya.
Koordinator Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Jatim, Naftalia Kusumawardhani mengatakan, pihaknya sudah melakukan pendampingan sejak Minggu (13/5/2018) atau setelah terjadi ledakan bom di tiga gereja di Surabaya. Saat ini, ada setidaknya 12 anggota dari IPK Jatim yang sudah melakukan pendampingan. Pendampingan tersebut atas permintaan dari RS Bhayangkara Polda Jatim. “Tahap pertama yang kami lakukan ya PFA itu,” katanya, Kamis (17/5/2018)
Dalam metode PFA ini, sambungnya, psikolog tidak hanya mendampingi dan berperan sebagai pendengar yang baik. Psikolog tidak boleh mengarahkan atau menasehati. Tujuan dalam proses ini adalah agar korban melepaskan semua emosi dan kekesalan dalam jiwanya.
“Kalau teriak, silahkan teriak. Kalau mau mukul, silahkan mukul. Kalau mau mencaci maki teroris, silahkan mencaci maki. Itu saja tugas psikolog dalam tahap PFA,” ujarnya.
Terkait jangka waktu pemulihan, Naftalia tidak dapat memastikan. Pasalnya, kadar syok atau ketakutan yang dialami masing-masing korban berbeda-beda. Pendekatan atau metode yang dilakukan juga akan berbeda.
Namun, dalam tahap awal, pasti menggunakan PFA dan itu sudah merupakan standar internasional dalam pemulihan syok. “Untuk saat ini anak korban ledakan bom tidak mengalami trauma. Hanya syok saja. Disebut trauma ketika ketakutan itu berlangsung lebih dari dua bulan,” tandasnya.
Sebelumnya Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, anak-anak yang dilibatkan oleh pelaku bom bunuh diri memerlukan penanganan secara menyeluruh. Mulai dari seg medis, sosial, psikologis maupun pendekatan agama.
Selain pemulihan medis dan kejiwaan, anak-anak ini juga harus mendapatkan pengasuhan yang tepat. Ke depan, anak-anak ini tidak lagi mendapat doktrin terorisme. Namun mendapat pengajaran agama yang tepat. “Penanganan akan dilakukan. Yang terakhir ini penting. Agar anak memiliki pemahaman yang tepat tentang agama," ujarnya.
(vhs)