70% Pasien Rehabilitasi Kembali Gunakan Narkoba
A
A
A
BANDUNG - Sekitar 70% pasien rehabilitasi diperkirakan kembali menggunakan narkoba. Perlu peran bersama semua kalangan agar pengguna narkoba tidak kembali menggunakan zat berbahaya.
Direktur Emeritus Addiction Studies Tay Bian How mengatakan, antara 60-70% pasien yang telah direhabilitasi, tercatat kembali menggunakan narkoba. Namun demikian, bukan berarti metode rehabilitasi tidak relevan. Tetapi banyak faktor pendorong agar pengguna tidak terjurus pada lobang yang sama.
"Indivudu yang terkena narkoba, biasanya hanya 3 bulan direhabilitasi. Sisanya, setelah proses rehabilitasi, bagaimana kemauan individu dan lingkungan, dalam hal ini keluarga," kata Tay di sela-sela menjadi pembicara acara program International Certified Addiction Recovery Associates (ICARA) di Bandung, Senin (23/4/2018).
Menurut dia, peran keluarga sangat penting mendukung langkah selanjutnya bagi mantan pengguna narkoba. Mantan pengguna perlu dibimbing agar beraktivitas positif dan memiliki kegiatan yang menunjukkan ekstistensinya.
Diakui dia, mereka yang pernah kecanduan narkoba memiliki gangguan syaraf. Gangguan itu yang menyebabkan pasien narkoba sulit kembali seperti sedia kala.
"Ini adalah masalah serius. Semua pihak harus saling bantu, tak hanya menjadi tugas panti rehabilitasi saja. Tetapi tugas pemerintah, LSM, lingkungan, dan individu. Begitupun dengan hukum, harus ditegakkan," kata dia.
Di Indonesia, kata dia, pengguna narkoba masih di bawah 2% dari total populasi. Data terakhir menunjukkan, 5,1 juta orang menjadi pengguna narkoba. Hal itu perlu peran serta semua kalangan agar narkoba tidak meluas dan menggerogoti generasi muda.
Sementara salah seorang trainer ICARA Zall Kepli M Rejab mengatakan, untuk mendapatkan hasil yang tepat, semua tempat rehabilitasi harus mempunyai standar minimum rehabilitasi. Standar itu yang akan menentukan kalifikasi rehanilitasi.
"Standar rehabilitasi akan menentukan tingkat keberhasilan rehabilitasi. Apalagi narkoba itu produknya terus berkembang. Metode rehabilitasi juga harus berkembang. Karena efek yang ditimbulkan berbeda-beda antara zat satu dengan lainnya," jelas dia.
Menurut dia, metode rehabilitasi yang tersetifikasi merupakan hasil riset. Sehingga tingkat keberhasilannya cukup baik. "Dengan acara seperti ini, banyak cara yang bisa dopakai. Karena perkembangan dari dampak narkoba," kata dia.
Diketahui, sebanyak 25 peserta dari tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura berkumpul di Bandung membahas penanganan terhadap pengguna zat aditif.
Mereka mengikuti program International Certified Addiction Recovery Associates (ICARA) selama lima hari ke depan. Mayoritas peserta adalah anggota International Consortium of Addiction Related Organizations (ICARO).
Dewan Pembina Yayasan Lingkaran Indonesia Peduli (YLIP) Steve Christoph mengatakan, program ini baru pertama kali digelar di Indonesia. Yaitu program sertifikasi universitas internasional untuk para pekerja dibidang adiksi (penanganan pengguna narkoba).
Direktur Emeritus Addiction Studies Tay Bian How mengatakan, antara 60-70% pasien yang telah direhabilitasi, tercatat kembali menggunakan narkoba. Namun demikian, bukan berarti metode rehabilitasi tidak relevan. Tetapi banyak faktor pendorong agar pengguna tidak terjurus pada lobang yang sama.
"Indivudu yang terkena narkoba, biasanya hanya 3 bulan direhabilitasi. Sisanya, setelah proses rehabilitasi, bagaimana kemauan individu dan lingkungan, dalam hal ini keluarga," kata Tay di sela-sela menjadi pembicara acara program International Certified Addiction Recovery Associates (ICARA) di Bandung, Senin (23/4/2018).
Menurut dia, peran keluarga sangat penting mendukung langkah selanjutnya bagi mantan pengguna narkoba. Mantan pengguna perlu dibimbing agar beraktivitas positif dan memiliki kegiatan yang menunjukkan ekstistensinya.
Diakui dia, mereka yang pernah kecanduan narkoba memiliki gangguan syaraf. Gangguan itu yang menyebabkan pasien narkoba sulit kembali seperti sedia kala.
"Ini adalah masalah serius. Semua pihak harus saling bantu, tak hanya menjadi tugas panti rehabilitasi saja. Tetapi tugas pemerintah, LSM, lingkungan, dan individu. Begitupun dengan hukum, harus ditegakkan," kata dia.
Di Indonesia, kata dia, pengguna narkoba masih di bawah 2% dari total populasi. Data terakhir menunjukkan, 5,1 juta orang menjadi pengguna narkoba. Hal itu perlu peran serta semua kalangan agar narkoba tidak meluas dan menggerogoti generasi muda.
Sementara salah seorang trainer ICARA Zall Kepli M Rejab mengatakan, untuk mendapatkan hasil yang tepat, semua tempat rehabilitasi harus mempunyai standar minimum rehabilitasi. Standar itu yang akan menentukan kalifikasi rehanilitasi.
"Standar rehabilitasi akan menentukan tingkat keberhasilan rehabilitasi. Apalagi narkoba itu produknya terus berkembang. Metode rehabilitasi juga harus berkembang. Karena efek yang ditimbulkan berbeda-beda antara zat satu dengan lainnya," jelas dia.
Menurut dia, metode rehabilitasi yang tersetifikasi merupakan hasil riset. Sehingga tingkat keberhasilannya cukup baik. "Dengan acara seperti ini, banyak cara yang bisa dopakai. Karena perkembangan dari dampak narkoba," kata dia.
Diketahui, sebanyak 25 peserta dari tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura berkumpul di Bandung membahas penanganan terhadap pengguna zat aditif.
Mereka mengikuti program International Certified Addiction Recovery Associates (ICARA) selama lima hari ke depan. Mayoritas peserta adalah anggota International Consortium of Addiction Related Organizations (ICARO).
Dewan Pembina Yayasan Lingkaran Indonesia Peduli (YLIP) Steve Christoph mengatakan, program ini baru pertama kali digelar di Indonesia. Yaitu program sertifikasi universitas internasional untuk para pekerja dibidang adiksi (penanganan pengguna narkoba).
(rhs)