Syarif Abdurrahman Al-Qadri dan Sejarah Berdirinya Kota Pontianak
A
A
A
KERAJAAN Pontianak adalah satu di antara kerajaan Melayu yang cukup berpengaruh di Indonesia. Kerajaan ini didirikan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri, seorang keturunan Arab-Melayu yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW.
Sultan Syarif Abdurrahman lahir 15 Rabiul Awal 1151 Hijriyah atau bertepatan 3 Juli 1738. Beliau adalah putera Al-Habib Husin, penyebar Agama Islam yang berasal Arab. Al Habib Husin A-Qadri dikenal sebagai seorang ulama besar. Bahkan ramai orang meriwayatkan Habib Husein adalah seorang ‘Wali Allah’ yang dibuktikan dengan banyak karomah.
Pengukuhannya sebagai Sultan Pontianak pertama dilantik oleh Raja Haji bin Upu Daeng Celak Yang Dipertuan Muda Riau. Perjalanan hidup Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang diawali dengan berpindah-pindah diabadikan dalam sebuah manakib. Kisah ini dipetik dari sebuah manuskrip yang ditulis ulang oleh Sayid Alwi bin Sayid Ahmad bin Sayid Ismail Al-Qadri pada Agustus 1935. Kemudian diterjemahkan oleh Ustaz Wan Mohd Shaghir Abdullah tahun 2000.
Dikisahkan, saat Syarif Abdurrahman berusia 16 tahun, beliau dibawa ayahnya hijrah dari negeri Matan ke negeri Mempawah. Setelah berumur 18 tahun, beliau dinikahkan dengan Utin Cenderamidi, anak Upu Daeng Menambon. Setelah berumur 22 tahun, Syarif Abdurrahman pergi ke Pulau Tambelan dan selanjutnya ke Siantan dan hijrah ke pusat pemerintahan Riau di Pulau Penyengat. Setelah tinggal di dua bulan di sana, Syaris Abdurrahman melanjutkan perjalanan ke negeri Palembang.
Setelah 11 bulan di Palembang, Syarif Abdurrahman kembali pulang ke negerinya di Mempawah. Setelah dua bulan di Mempawah, beliau belayar lagi ke negeri Banjar dan tinggal di sana selama empat bulan. Kemudian, belayar ke negeri Pasir dan berhenti di situ selama tiga bulan.
Setelah itu, kembali lagi ke negeri Banjar. Setelah dua bulan di Banjar, Syarif Abdurrahman menikah dengan puteri Sultan Sepuh, saudara pada Penembahan Batu yang bernama Ratu Syahbanun. Sebelum menikah, Syarif Abdurrahman telah dilantik oleh Panembahan Batu menjadi Pangeran dengan nama Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Allam.
Dua tahun kemudian, Syarif Abdur Rahman al-Qadri kembali ke negeri Mempawah. Setahun kemudian, kembali lagi ke negeri Banjar. Selama empat tahun di Banjar, beliau memperoleh dua orang putera, seorang laki-laki diberi nama Syarif Alwi diberi gelar Pangeran Kecil dan yang seorang perempuan bernama Syarifah Salmah diberi gelar Syarifah Puteri.
Pada tanggal 11 Rabiul Akhir 1185 atau 24 Juni 1771, Syarif Abdurrahman kembali ke negeri Mempawah. Ketika sampai di Mempawah, ayanya Habib Husein Al-Qadri kembali ke rahmatullah. Syarif Abdurrahman al-Qadri menetap di Mempawah selama tiga bulan dan berkumpul bersama saudara-saudaranya Syarif Ahmad, Syarif Abu Bakar, Syarif Alwi bin Habib Husein al-Qadri dan seorang kerabat mereka, Syarif Ahmad Ba’abud.
Mendirikan Kerajaan Pontianak
Dari pertemuan itu, Syarif Abdurrahman diputuskan untuk keluar dari negeri Mempawah. Tepatnya pada 14 Rajab 1185 (23 Oktober 1771), Syarif Abdurrahman berangkat dari negeri Mempawah dengan 14 buah perahu kecil bernama kakab. Kemudian, sampailah ia di Sungai Pontianak yang saat ini dikenal dengan masjid yang ada sekarang ini. Syarif Abdurrahman dan rombongan berhenti di tempat itu pada waktu malam.
Esoknya, Syarif Abdurrahman pun masuk ke Selat Pontianak dan berhenti di situ selama lima malam. Pada hari Rabu kira-kira pukul 04.00 pagi, Syarif Abdurrahman memberi perintah menyerang Pulau Pontianak. Masing-masing mereka mengisi meriamnya dan menembak pulau itu. Setelah itu Syarif Abdur Rahman berkata, “Berhenti perang kerana sekalian hantu dan syaiton yang berbuai pada malam hari di pulau itu telah lari. Janganlah tuan-tuan takut, marilah kita turun menebas pulau itu”.
Setelah habis ditebas, didirikanlah sebuah rumah dan sebuah balai. Setelah delapan hari dikerjakan, Syarif Abdurrahman kembali ke Mempawah mengambil sebuah kapal dan sebuah tiang sambung. Pada 4 Ramadhan 1185 (11 Desember 1771) Syarif Abdurrahman pindah ke pulau itu.
Tak berapa lama negeri itu berdiri, Syarif Abdurrahman mudik ke Sanggau dengan 40 buah perahu kecil hendak ke negeri Sekadau. Setelah sampai di Sanggau, rombongan Syarif Aburrahman ditahan oleh Penembahan Sanggau. Tetapi Syarif Abdurrahman, berkeras untuk tetap mudik.
Perang pun pecah antara kedua pihak. Setelah tujuh hari berperang, Syarif Abdurrahman kembali ke negeri Pontianak, untuk persiapan membuat perahu besar. Kira-kira 18 bulan sesudah itu, Syarif Abdurrahman berangkat ke negeri Sanggau dengan sebuah sekoci, dua buah kapal dan 28 buah penjajab.
Ketika sampai di Tayan, Syarif Abdurrahman dihadang angkatan Sanggau yang menanti kedatangannya dari Pontianak. Perang pun kembali berkobar. Angkatan Sanggau kalah dalam perang tersebut dan lari ke Sanggau.
Syarif Abdurrahman pun mudik ke Sanggau dan berhenti di situ selama 12 hari. Dia bersama Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau membuat benteng pertahanan di Pulau Simpang Labi dan menempatkan enam pucuk meriam di pintunya.
Pulau itu diberi nama Jambu-Jambu Taberah. Setelah selesai pekerjaan di Pulau Jambu-Jambu Taberah itu, Syarif Abdurrahman pulang ke Pontianak bersama-sama dengan Yang Dipertuan Muda Raja Haji.
Penabalan Sultan
Setelah sampai di Pontianak, Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau memanggil semua orang di negeri Pontianak. Pada hari Senin, 8 Syaban 1192 H (1 September 1778), tuan-tuan sayid, raja-raja dan rakyat negeri Pontianak berkumpul di Pontianak. Semua sepakat dan menyambut gembira pengangkatan Syarif Abdurrahman dengan nama Paduka Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang artinya raja di atas takhta kerajaan Negeri Pontianak.
Pada tahun 1194 H (1780), utusan Kompeni Belanda datang dari Betawi dengan satu sekuci dan dua buah pencalang. Utusan Belanda itu bernama Ardi William Palam Petter dari Rembang dan meminta Sultan Syarif Abdur Rahman mendiami Pontianak. Kemudian, utusan Sultan Banten dating hendak menyerahkan pemerintahan negeri Landak kepada Sultan Syarif Abdurrahman.
Pada tahun 1198 H (1784), Kompeni Belanda menyerang Yang Dipertuan Muda Raja Ali Riau di negeri Sukadana. Negeri Sukadana kalah dalam perang itu. Pada tahun 1200 H (1785), Sultan Syarif Abdurrahman bersengketa dengan saudara iparnya Raja Mempawah, Penembahan Adi Wijaya, karena perkara Sultan Sambas.
Singkat cerita, akhirnya Sultan Syarif Abdurrahman terpaksa memerangi Mempawah. Setelah berperang selama 8 bulan, negeri Mempawah kalah dalam peperangan itu. Setelah selesai perang, Sultan Syarif Abdurrahman mengangkat puteranya Pangeran Syarif Qasim berpangkat Penembahan Memerintah Diatas Takhta Kerajaan Negeri Mempawah.
Selanjutnya, terjadi perselisihan Pontianak dengan Sambas mulai 3 Rabiulakhir 1206 H (30 November 1791). Sultan Syarif Abdur Rahman bersama Yang Dipertuan Sayid Ali bin Utsman, Raja Siak memerangi negeri Sambas. Namun, perang yang terjadi selama lapan bulan itu berakhir tanpa ada pihak yang menang.
Syarif Abdurrahman Al-Qadri wafat pada malam Sabtu, pukul 11.00, 1 Muharram 1223 H (28 Februari 1808). Pada hari itu juga, Syarif Qasim yang berkedudukan di Mempawah ditabalkan menjadi Sultan Pontianak dengan nama Paduka Sultan Syarif Qasim Raja Duduk Diatas Takhta Kerajaan Negeri Pontianak.
Sejarah Berdirinya Kota Pontianak
Tiga bulan setelah ayahnya wafat pada tahun 1184 Hijriah di Kerajaan Mempawah, Syarif Abdurrahman bersama dengan saudara-saudaranya bermufakat untuk mencari kediaman baru. Mereka berangkat dengan 14 perahu Kakap menyusuri Sungai Peniti. Waktu Zuhur mereka sampai di sebuah tanjung, Syarif Abdurrahman bersama pengikutnya menetap di sana. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kelapa Tinggi Segedong.
Namun, Syarif Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk tempat tinggal dan ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu sungai. Tempat Syarif Abdurrahman dan rombongan salat zuhur itu kini dikenal sebagai Tanjung Dhohor.
Ketika menyusuri Sungai Kapuas, mereka menemukan sebuah pulau, yang kini dikenal dengan nama Batu Layang, di mana sekarang di tempat itulah Syarif Abdurrahman beserta keturunannya dimakamkan. Di pulau itu mereka mulai mendapat gangguan hantu Pontianak atau Kuntilanak. Syarif Abdurrahman lalu memerintahkan kepada seluruh pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu. Setelah itu, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas.
Menjelang subuh 14 Rajab 1184 Hijriah atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Setelah delapan hari menebas pohon di daratan itu, maka Syarif Abdurrahman lalu membangun sebuah rumah dan balai, dan kemudian tempat tersebut diberi nama Pontianak. Di tempat itu kini berdiri Masjid Jami dan Keraton Kadariah.
Akhirnya pada tanggal 8 bulan Sya'ban 1192 Hijriah,bertepatan dengan hari Senin dengan dihadiri oleh Raja Muda Riau, Raja Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Al-Qadri.
Syarif Abdurrahman Al-Qadri kembali ke rahmatullah pada tahun 1808. Di bawah kepemimpinannya kerajaan Pontianak berkembang sebagai kota pelabuhan dan perdagangan yang disegani.
Sumber:
[1] Pondokhabib.wordpress.com
[2] Wikipedia
Sultan Syarif Abdurrahman lahir 15 Rabiul Awal 1151 Hijriyah atau bertepatan 3 Juli 1738. Beliau adalah putera Al-Habib Husin, penyebar Agama Islam yang berasal Arab. Al Habib Husin A-Qadri dikenal sebagai seorang ulama besar. Bahkan ramai orang meriwayatkan Habib Husein adalah seorang ‘Wali Allah’ yang dibuktikan dengan banyak karomah.
Pengukuhannya sebagai Sultan Pontianak pertama dilantik oleh Raja Haji bin Upu Daeng Celak Yang Dipertuan Muda Riau. Perjalanan hidup Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang diawali dengan berpindah-pindah diabadikan dalam sebuah manakib. Kisah ini dipetik dari sebuah manuskrip yang ditulis ulang oleh Sayid Alwi bin Sayid Ahmad bin Sayid Ismail Al-Qadri pada Agustus 1935. Kemudian diterjemahkan oleh Ustaz Wan Mohd Shaghir Abdullah tahun 2000.
Dikisahkan, saat Syarif Abdurrahman berusia 16 tahun, beliau dibawa ayahnya hijrah dari negeri Matan ke negeri Mempawah. Setelah berumur 18 tahun, beliau dinikahkan dengan Utin Cenderamidi, anak Upu Daeng Menambon. Setelah berumur 22 tahun, Syarif Abdurrahman pergi ke Pulau Tambelan dan selanjutnya ke Siantan dan hijrah ke pusat pemerintahan Riau di Pulau Penyengat. Setelah tinggal di dua bulan di sana, Syaris Abdurrahman melanjutkan perjalanan ke negeri Palembang.
Setelah 11 bulan di Palembang, Syarif Abdurrahman kembali pulang ke negerinya di Mempawah. Setelah dua bulan di Mempawah, beliau belayar lagi ke negeri Banjar dan tinggal di sana selama empat bulan. Kemudian, belayar ke negeri Pasir dan berhenti di situ selama tiga bulan.
Setelah itu, kembali lagi ke negeri Banjar. Setelah dua bulan di Banjar, Syarif Abdurrahman menikah dengan puteri Sultan Sepuh, saudara pada Penembahan Batu yang bernama Ratu Syahbanun. Sebelum menikah, Syarif Abdurrahman telah dilantik oleh Panembahan Batu menjadi Pangeran dengan nama Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Allam.
Dua tahun kemudian, Syarif Abdur Rahman al-Qadri kembali ke negeri Mempawah. Setahun kemudian, kembali lagi ke negeri Banjar. Selama empat tahun di Banjar, beliau memperoleh dua orang putera, seorang laki-laki diberi nama Syarif Alwi diberi gelar Pangeran Kecil dan yang seorang perempuan bernama Syarifah Salmah diberi gelar Syarifah Puteri.
Pada tanggal 11 Rabiul Akhir 1185 atau 24 Juni 1771, Syarif Abdurrahman kembali ke negeri Mempawah. Ketika sampai di Mempawah, ayanya Habib Husein Al-Qadri kembali ke rahmatullah. Syarif Abdurrahman al-Qadri menetap di Mempawah selama tiga bulan dan berkumpul bersama saudara-saudaranya Syarif Ahmad, Syarif Abu Bakar, Syarif Alwi bin Habib Husein al-Qadri dan seorang kerabat mereka, Syarif Ahmad Ba’abud.
Mendirikan Kerajaan Pontianak
Dari pertemuan itu, Syarif Abdurrahman diputuskan untuk keluar dari negeri Mempawah. Tepatnya pada 14 Rajab 1185 (23 Oktober 1771), Syarif Abdurrahman berangkat dari negeri Mempawah dengan 14 buah perahu kecil bernama kakab. Kemudian, sampailah ia di Sungai Pontianak yang saat ini dikenal dengan masjid yang ada sekarang ini. Syarif Abdurrahman dan rombongan berhenti di tempat itu pada waktu malam.
Esoknya, Syarif Abdurrahman pun masuk ke Selat Pontianak dan berhenti di situ selama lima malam. Pada hari Rabu kira-kira pukul 04.00 pagi, Syarif Abdurrahman memberi perintah menyerang Pulau Pontianak. Masing-masing mereka mengisi meriamnya dan menembak pulau itu. Setelah itu Syarif Abdur Rahman berkata, “Berhenti perang kerana sekalian hantu dan syaiton yang berbuai pada malam hari di pulau itu telah lari. Janganlah tuan-tuan takut, marilah kita turun menebas pulau itu”.
Setelah habis ditebas, didirikanlah sebuah rumah dan sebuah balai. Setelah delapan hari dikerjakan, Syarif Abdurrahman kembali ke Mempawah mengambil sebuah kapal dan sebuah tiang sambung. Pada 4 Ramadhan 1185 (11 Desember 1771) Syarif Abdurrahman pindah ke pulau itu.
Tak berapa lama negeri itu berdiri, Syarif Abdurrahman mudik ke Sanggau dengan 40 buah perahu kecil hendak ke negeri Sekadau. Setelah sampai di Sanggau, rombongan Syarif Aburrahman ditahan oleh Penembahan Sanggau. Tetapi Syarif Abdurrahman, berkeras untuk tetap mudik.
Perang pun pecah antara kedua pihak. Setelah tujuh hari berperang, Syarif Abdurrahman kembali ke negeri Pontianak, untuk persiapan membuat perahu besar. Kira-kira 18 bulan sesudah itu, Syarif Abdurrahman berangkat ke negeri Sanggau dengan sebuah sekoci, dua buah kapal dan 28 buah penjajab.
Ketika sampai di Tayan, Syarif Abdurrahman dihadang angkatan Sanggau yang menanti kedatangannya dari Pontianak. Perang pun kembali berkobar. Angkatan Sanggau kalah dalam perang tersebut dan lari ke Sanggau.
Syarif Abdurrahman pun mudik ke Sanggau dan berhenti di situ selama 12 hari. Dia bersama Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau membuat benteng pertahanan di Pulau Simpang Labi dan menempatkan enam pucuk meriam di pintunya.
Pulau itu diberi nama Jambu-Jambu Taberah. Setelah selesai pekerjaan di Pulau Jambu-Jambu Taberah itu, Syarif Abdurrahman pulang ke Pontianak bersama-sama dengan Yang Dipertuan Muda Raja Haji.
Penabalan Sultan
Setelah sampai di Pontianak, Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau memanggil semua orang di negeri Pontianak. Pada hari Senin, 8 Syaban 1192 H (1 September 1778), tuan-tuan sayid, raja-raja dan rakyat negeri Pontianak berkumpul di Pontianak. Semua sepakat dan menyambut gembira pengangkatan Syarif Abdurrahman dengan nama Paduka Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang artinya raja di atas takhta kerajaan Negeri Pontianak.
Pada tahun 1194 H (1780), utusan Kompeni Belanda datang dari Betawi dengan satu sekuci dan dua buah pencalang. Utusan Belanda itu bernama Ardi William Palam Petter dari Rembang dan meminta Sultan Syarif Abdur Rahman mendiami Pontianak. Kemudian, utusan Sultan Banten dating hendak menyerahkan pemerintahan negeri Landak kepada Sultan Syarif Abdurrahman.
Pada tahun 1198 H (1784), Kompeni Belanda menyerang Yang Dipertuan Muda Raja Ali Riau di negeri Sukadana. Negeri Sukadana kalah dalam perang itu. Pada tahun 1200 H (1785), Sultan Syarif Abdurrahman bersengketa dengan saudara iparnya Raja Mempawah, Penembahan Adi Wijaya, karena perkara Sultan Sambas.
Singkat cerita, akhirnya Sultan Syarif Abdurrahman terpaksa memerangi Mempawah. Setelah berperang selama 8 bulan, negeri Mempawah kalah dalam peperangan itu. Setelah selesai perang, Sultan Syarif Abdurrahman mengangkat puteranya Pangeran Syarif Qasim berpangkat Penembahan Memerintah Diatas Takhta Kerajaan Negeri Mempawah.
Selanjutnya, terjadi perselisihan Pontianak dengan Sambas mulai 3 Rabiulakhir 1206 H (30 November 1791). Sultan Syarif Abdur Rahman bersama Yang Dipertuan Sayid Ali bin Utsman, Raja Siak memerangi negeri Sambas. Namun, perang yang terjadi selama lapan bulan itu berakhir tanpa ada pihak yang menang.
Syarif Abdurrahman Al-Qadri wafat pada malam Sabtu, pukul 11.00, 1 Muharram 1223 H (28 Februari 1808). Pada hari itu juga, Syarif Qasim yang berkedudukan di Mempawah ditabalkan menjadi Sultan Pontianak dengan nama Paduka Sultan Syarif Qasim Raja Duduk Diatas Takhta Kerajaan Negeri Pontianak.
Sejarah Berdirinya Kota Pontianak
Tiga bulan setelah ayahnya wafat pada tahun 1184 Hijriah di Kerajaan Mempawah, Syarif Abdurrahman bersama dengan saudara-saudaranya bermufakat untuk mencari kediaman baru. Mereka berangkat dengan 14 perahu Kakap menyusuri Sungai Peniti. Waktu Zuhur mereka sampai di sebuah tanjung, Syarif Abdurrahman bersama pengikutnya menetap di sana. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kelapa Tinggi Segedong.
Namun, Syarif Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk tempat tinggal dan ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu sungai. Tempat Syarif Abdurrahman dan rombongan salat zuhur itu kini dikenal sebagai Tanjung Dhohor.
Ketika menyusuri Sungai Kapuas, mereka menemukan sebuah pulau, yang kini dikenal dengan nama Batu Layang, di mana sekarang di tempat itulah Syarif Abdurrahman beserta keturunannya dimakamkan. Di pulau itu mereka mulai mendapat gangguan hantu Pontianak atau Kuntilanak. Syarif Abdurrahman lalu memerintahkan kepada seluruh pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu. Setelah itu, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas.
Menjelang subuh 14 Rajab 1184 Hijriah atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Setelah delapan hari menebas pohon di daratan itu, maka Syarif Abdurrahman lalu membangun sebuah rumah dan balai, dan kemudian tempat tersebut diberi nama Pontianak. Di tempat itu kini berdiri Masjid Jami dan Keraton Kadariah.
Akhirnya pada tanggal 8 bulan Sya'ban 1192 Hijriah,bertepatan dengan hari Senin dengan dihadiri oleh Raja Muda Riau, Raja Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Al-Qadri.
Syarif Abdurrahman Al-Qadri kembali ke rahmatullah pada tahun 1808. Di bawah kepemimpinannya kerajaan Pontianak berkembang sebagai kota pelabuhan dan perdagangan yang disegani.
Sumber:
[1] Pondokhabib.wordpress.com
[2] Wikipedia
(rhs)