Zainuddin Labay El-Yunusi, Sang Pendobrak dari Padang Panjang

Minggu, 04 Maret 2018 - 05:00 WIB
Zainuddin Labay El-Yunusi,...
Zainuddin Labay El-Yunusi, Sang Pendobrak dari Padang Panjang
A A A
DEMAM Sumatera Thawalib yang melanda Sumatera sejak 1918, merupakan bagian dari inovasi murid kesayangan Haji Rasul, yakni Zainuddin Labay El-Yunusi. Sejak ditunjuk sebagai guru Thawalib sampai wafatnya, Labay merupakan sosok paling dihormati murid-muridnya. Padahal, ia bukanlah jebolan Mekkah maupun Kairo, dan murni didikan Sumatera Barat.

Zainuddin Labay El-Yunusi lahir di sebuah rumah gadang di jalan menuju Lubuk Mata Kucing, Kenagarian Bukit Surungan, Padang Panjang pada tahun 1890 M atau bertepatan dengan tanggal 12 Rajab 1308 H. Zainuddin Labay merupakan anak dari pasangan Syekh Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafi'ah.

Menurut pemerhati sejarah Fikrul Hanif Sufyan, ayah Labay dikenal sebagai ulama tarekat Naqsyabandiyah dan memegang jabatan sebagai qadi atau hakim di Nagari Pandai Sikek.

Labay yang merupakan kakak kandung dari Rahmah el Yunusiah (1900-1969), memiliki kisah unik dalam masa pendidikannya. (Baca Juga: Perjuangan Rahmah El-Yunusiah Mengangkat Harkat Perempuan
Strata pendidikan Labay, tambah Fikrul yang juga penulis buku Menuju Lentera Merah, dimulai ketika menginjak usia 8 tahun. Labay disekolahkan ayahnya di sekolah Belanda untuk bumiputera, Holland Inlandsche School (HIS) Padang Panjang. Namun, Labay hanya bertahan hingga kelas 4. Penyebabnya, dia kerap bersilang pendapat dengan guru-gurunya karena ketiadaan pelajaran agama Islam di sekolah itu.

Labay pun kembali berguru pada ayahnya dan belajar autodidak. Namun, Labay hanya dua tahun belajar intensif dengan ayahnya, karena Syekh Muhammad Yunus wafat pada tahun 1904.

Kepergian sang ayah membuat Labay yang kala itu berusia 14 tahun sempat terguncang dan beralih menjadi parewa-sebutan bagi anak muda yang suka pergi hilir-mudik, suka berpetualang, dan biasanya punya kemampuan ilmu silat.

Enam tahun berselang, pada tahun 1910 Labay diizinkan oleh ibunya untuk mendalami Islam dengan Haji Abdullah Ahmad di Padang (Musri, 2008). (Baca Juga: Abdullah Ahmad dan Modernisasi Islam di Minangkabau
Selanjutnya, Labay kembali mengaji pada Syekh Abbas Abdullah di Darul Funun Padang Japang, Guguak, Lima Puluh Kota (1911-1913), kemudian mengaji pada Haji Abdul Karim Amrullah/Muhammad Rasul/Haji Rasul (1914) di Surau Jembatan Besi. Karena kemampuan intelegensia Labay tergolong tinggi, Haji Rasul meminta Labay menjadi guru bantu di Sumatera Thawalib. Sumatera Thawalib merupakan sekolah Islam modern pertama di Indonesia.

Setahun setelah menamatkan kajinya, pada 10 Oktober 1915 Labay merintis Al-Madrasatu Diniyah atau Diniyah School. Labay memang terinspirasi dengan sistem pendidikan Adabiah School, hingga ia membuat konsep sistem pendidikan sendiri, yang berbeda sama sekali dengan surau, yakni sistem klasikal memakai bangku, meja, dan guru mengajar di depan kelas dengan papan tulis.

Konsep ini, tambah Fikrul, kala itu terbilang baru. Haji Rasul sendiri belum menemukan metode pendidikan yang tepat untuk Surau Jembatan Besi.

Cara belajarnya yang autodidak, akhirnya membuktikan kualitas Labay. Pada tahun 1922, Labay sudah menyebarkan sistem klasikal untuk 15 sekolah berbasis modernis di Sumatera Barat. Selain itu, ia menambahkan ilmu umum yang belum pernah ada dalam kurikulum berbasis surau, seperti mata pelajaran sejarah, bahasa Inggris, matematika, ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan, ilmu tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain.

Ketika Diniyah School resmi berdiri untuk merekrut perempuan sebagai muridnya, mengundang cemoohan masyarakat. Mereka menganggap perempuan tidak perlu diberi pendidikan, karena hanya akan kembali ke siklus sumur, dapur, dan kasur.

Menurut Fikrul, posisi perempuan dalam adat Minangkabau pada masa itu diagungkan. Mereka disimbolkan sebagai limpapeh rumah nan gadang. Maksudnya, wanita Minang yang mendiami rumah gadang adalah wanita yang dihormati/ditinggikan. Karena, dalam sistem matrilineal, wanita atau kaum ibu yang akan mewariskan suku kepada keturunannya kelak.

Murid perempuan Diniyah termasuk adik Labay, Rahmah el-Yunusiah, tidak luput dari cemoohan (Edward, 1981). Di tengah perjalanan mereka sering disindir,"Mana pula ada perempuan akan mengajar, akan jadi guru, mengepit buku, tidak ke dapur? Daripada mengepit buku, membuang waktu, akhirnya akan ke dapur juga."

Meskipun suara nyinyir dan sindiran kerap terdengar, perempuan-perempuan Diniyah School itu tidak surut langkahnya.

Hamka atau H Abdul Malik Karim Amrullah merupakan murid Diniyah School pada tahun 1916. Menurut Fikrul, masa itu usia Hamka menginjak delapan tahun. Lokasi pertama yang dipakai Diniyah adalah Masjid Pasar Usang yang dibagi dalam dua kelas, sisi sebelah kiri untuk laki-laki, sedangkan perempuan berada di sisi sebelah kanan. Dan, guru yang pertama mengajarinya adalah Haji Saleh, sedangkan untuk perempuan diajar Labay (Boekoe Peringatan 15 Tahoen Dinijjah School Poetri Padang Pandjang. Padang Pandjang: Dinijah School Poeteri, 1938).

Meskipun Haji Rasul yang merupakan ayah Hamka adalah guru Labay, Hamka kecil segan dan takut bila bertemu Labay di jalan raya, di Surau Jembatan Besi, atau tatkala Labay menuju kantor redaksi Al-Moenir.

"Kami anak-anak sangat cinta kepada Beliau, tetapi sangat takut kalau bertemu di jalan raya, bila dia berjalan dari Jembatan Besi ke Kantor Al-Moenir, perjalanannya tetap, warna mukanya serupa orang marah saja," kenang Hamka dalam Boekoe Peringatan 15 Tahoen Dinijjah School Poetri Padang Pandjang.

Wajah Labay yang serius akan berubah ceria ketika sudah berkumpul dengan murid-murid atau kawannya yang menuntut ilmu agama. Sehingga, semua peserta yang berada dalam ruangan redaksi Al-Moenir Al-Manar pun berderai gelak tawanya, karena Labay memang pandai bercanda.

Ketika pemerintah Kolonial Belanda gencar memberi bantuan subsidi pendidikan untuk sekolah-sekolah partikelir Islam, seperti yang pernah diterima Adabiah School, pada tahun 1917 Labay diundang Asisten Residen Padang Panjang agar bersedia menerima bantuan subsidi. Asisten Residen berharap Diniyah School bersedia mengikuti aturan pemerintah. Namun, Labay dengan tegas menolaknya.

Kelebihan Labay lainnya adalah lancar berbahasa Arab dan Inggris. Sehingga, tidak mengherankan bila Labay sering menulis buku pelajaran yang nantinya dipakai guru dan murid-murid Diniyah School, termasuk tiap-tiap sekolah modernis untuk kelas rendahan.

Labay yang diharapkan menjadi penerus Kaum Muda itu, tambah Fikrul, wafat tahun 1924, ketika menginjak usia 34 tahun. Kabar wafatnya Labay memang memukul psikis Haji Rasul, sehingga berita duka itu disampaikan pada Hamka yang sedang berada di Sungai Batang Maninjau. Haji Rasul mengungkap kehilangannya atas orang yang berjasa besar dalam gerakan Islam reformis dan Sumatera Thawalib.

"Moga-moga kematiannya hendaklah sebagai sebatang pisang yang ditebang, setelah diambil buahnya yang lezat, di kiri kanannya akan tumbuh anak-anak pisang yang lain, menyiarkan buah yang lezat pula," tulis Haji Rasul dalam suratnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1194 seconds (0.1#10.140)