Pemecatan Sejumlah Ketua DPD Golkar di Sumsel Disoal
A
A
A
PALEMBANG - Pemecatan Ketua DPD Golkar Ogan Ilir Mawardi Yahya, Ketua DPD Golkar Muaraenim Muzakir Sai Kohar dan pemberian sanksi terhadap Ketua DPD Golkar Prabumulih Ridho Yahya oleh Ketua DPD Golkar Sumsel Alex Noerdin menuai kritik. Karena membuat heboh dan menjadi sorotan nasional. Mereka yang dipecat dipersepsikan tidak loyal ke partai, karena tidak mendukung Dodi Reza Alex sebagai calon yang diusung Partai Golkar.
Ketua DPD Golkar Ogan Ilir (OI) Mawardi Yahya diberhentikan dikarenakan maju sebagai bakal calon wakil gubernur dalam Pilgub Sumsel. Padahal di Pilgub Sumsel, Golkar mengusung Dodi Reza Alex Noerdin.
Lalu pemberhentian Ketua DPD Golkar Muaraenim Muzakir Sai Sohar karena mendukung istrinya, Shinta Paramitha Sari - Syuryadi maju dalam Pilbup Muaraenim. Padahal DPP Golkar mengusung bakal paslon yang lain. Terakhir, sanksi terhadap Ketua DPD Prabumulih Ridho Yahya dilakukan karena dia memberikan kritik calon yang diusung Partai Golkar di Pilgub Sumsel dinilai tidak memiliki prestasi.
“Kami mendengar ada pemecatan, tetapi apa dampaknya secara elektoral?, apakah hal demikian membuat elektabilitas pasangan kami turun?. Sejauh informasi yang kami bisa akses, elektabilitas Herman Deru - Mawardi Yahya justru makin tinggi, sulit dikejar,” kata Sahrun Sobri dari tim Herman Deru, dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan ke SINDOnews, Jumat, (19/1/2018) .
Sahrun menambahkan, sikap panik dan takut kalah bisa dilihat dari tindakan politik model begitu. Apakah hal itu mendapat simpati kader, simpatisan dan masyarakat?. Apakah kader yang dipecat itu tidak punya keluarga besar, pendukung dan simpatisan?. Bukankah sebentar lagi akan pemilu partai, apakah tidak akan berkurang penumpang bus partai itu? Demikian beberapa pertanyaan retoris yang disampaikannya secara datar.
Sementara itu pengamat politik dari LSPI, Rachmayanti Kusumaningtyas menyatakan, lumrah saja para politisi berbeda saat proses pengusungan. Itu karena satu partai hanya bisa mengusung satu kader. Hanya saja soal tindakan politik terhadap mereka yang dipersepsi tidak loyal idealnya mempertimbangkan unsur-unsur rasional dan logis.
“Jangan emosi yang dikedepankan, kepala dingin saja. Pilkada itu kan kontes, bukan perang hidup mati. Kecuali memang benar-benar takut kehilangan kekuasaan, bisa saja tindakan politik menjadi garang, main ancam, main pecat,” ujarnya, Jumat, (19/1/2018).
Dia menambahkan, pilkada sebenarnya merupakan kontes individu calon bukan kontes partai. Partai hanya menjadi bendera atau kendaraan politik saja. Karenanya peran dan fungsi partai lebih banyak berada di fase pengusungan. Setelah memasuki fase penetapan peserta pilkada dan kampanye, tanggungjawab berada di pundak calon itu sendiri.
“Jadi perpecahan internal di satu partai yang terjadi karena pilkada sebenarnya menunjukan kurang dewasanya para pimpinan di situ. Seharusnya tidak ada yang tak bisa diselesaikan dalam politik, tapi semua berpulang pada mekanisme internal mereka, orang luar menonton saja,” pungkasnya.
Ketua DPD Golkar Ogan Ilir (OI) Mawardi Yahya diberhentikan dikarenakan maju sebagai bakal calon wakil gubernur dalam Pilgub Sumsel. Padahal di Pilgub Sumsel, Golkar mengusung Dodi Reza Alex Noerdin.
Lalu pemberhentian Ketua DPD Golkar Muaraenim Muzakir Sai Sohar karena mendukung istrinya, Shinta Paramitha Sari - Syuryadi maju dalam Pilbup Muaraenim. Padahal DPP Golkar mengusung bakal paslon yang lain. Terakhir, sanksi terhadap Ketua DPD Prabumulih Ridho Yahya dilakukan karena dia memberikan kritik calon yang diusung Partai Golkar di Pilgub Sumsel dinilai tidak memiliki prestasi.
“Kami mendengar ada pemecatan, tetapi apa dampaknya secara elektoral?, apakah hal demikian membuat elektabilitas pasangan kami turun?. Sejauh informasi yang kami bisa akses, elektabilitas Herman Deru - Mawardi Yahya justru makin tinggi, sulit dikejar,” kata Sahrun Sobri dari tim Herman Deru, dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan ke SINDOnews, Jumat, (19/1/2018) .
Sahrun menambahkan, sikap panik dan takut kalah bisa dilihat dari tindakan politik model begitu. Apakah hal itu mendapat simpati kader, simpatisan dan masyarakat?. Apakah kader yang dipecat itu tidak punya keluarga besar, pendukung dan simpatisan?. Bukankah sebentar lagi akan pemilu partai, apakah tidak akan berkurang penumpang bus partai itu? Demikian beberapa pertanyaan retoris yang disampaikannya secara datar.
Sementara itu pengamat politik dari LSPI, Rachmayanti Kusumaningtyas menyatakan, lumrah saja para politisi berbeda saat proses pengusungan. Itu karena satu partai hanya bisa mengusung satu kader. Hanya saja soal tindakan politik terhadap mereka yang dipersepsi tidak loyal idealnya mempertimbangkan unsur-unsur rasional dan logis.
“Jangan emosi yang dikedepankan, kepala dingin saja. Pilkada itu kan kontes, bukan perang hidup mati. Kecuali memang benar-benar takut kehilangan kekuasaan, bisa saja tindakan politik menjadi garang, main ancam, main pecat,” ujarnya, Jumat, (19/1/2018).
Dia menambahkan, pilkada sebenarnya merupakan kontes individu calon bukan kontes partai. Partai hanya menjadi bendera atau kendaraan politik saja. Karenanya peran dan fungsi partai lebih banyak berada di fase pengusungan. Setelah memasuki fase penetapan peserta pilkada dan kampanye, tanggungjawab berada di pundak calon itu sendiri.
“Jadi perpecahan internal di satu partai yang terjadi karena pilkada sebenarnya menunjukan kurang dewasanya para pimpinan di situ. Seharusnya tidak ada yang tak bisa diselesaikan dalam politik, tapi semua berpulang pada mekanisme internal mereka, orang luar menonton saja,” pungkasnya.
(sms)