Ini Kata Psikologi Forensik soal Ibu Ajak Tiga Anaknya Bunuh Diri

Selasa, 16 Januari 2018 - 19:31 WIB
Ini Kata Psikologi Forensik...
Ini Kata Psikologi Forensik soal Ibu Ajak Tiga Anaknya Bunuh Diri
A A A
JAKARTA - Tewasnya tiga bocah yang diduga diberi racun oleh ibu kandungnya sendiri di Desa Karovelah, Mojoagung, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Selasa (16/1/2018) membuat gempar warga. Dari hasil penyelidikan sementara, polisi menduga Evi Suliastin Agustin nekat bunuh diri setelah meracuni tiga anaknya karena depresi ditinggal menikah lagi oleh suaminya.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga ini menurut Psikolog Forensik Reza Indragiri tak terlepas dari "segitiga maut" dimana perceraian, perebutan kuasa asuh, dan penutupan akses oleh salah satu orang tua sehingga anak tidak lagi bisa berinteraksi dengan orang tuanya yang lain. Seiring meningginya kasus perceraian, perebutan kuasa asuh yang diwarnai amarah antarorang tua juga niscaya semakin tinggi pula.

Perebutan kuasa asuh, kata Reza, meningkatkan potensi terjadinya filicide (pembunuhan terhadap anak oleh orang tuanya) yang didorong oleh dendam atau sakit hati terhadap (mantan) pasangan. Begitu hasil riset Myrna Dawson. Apalagi jika orang tua diketahui mengidap kelainan psikologis tertentu.

"Barangkali di situ pula benang merah pada kasus Jombang yang sangat memilukan ini. Amarah pada (mantan) pasangan membuat pelaku gelap mata. Tentu, butuh kerja polisi untuk menyelidikinya," kata Reza Indragiri dalam keterangan tertulis yang dikirimkan ke SINDOnews, Selasa (16/1/2018). (Baca: Ini Motif Ibu Ajak Tiga Anaknya Bunuh Diri di Jombang)

Pada sisi yang sama, ungkap dia, lembaga peradilan masih tergagap saat menangani kasus perebutan kuasa asuh.

"Ketika kuasa asuh jatuh ke salah satu orang tua, putusan tidak bisa dieksekusi. Anak tetap dikuasai orang tua tanpa kuasa asuh. Hakim laksana menjadi macan ompong yang aumannya tak menakutkan," timpal dia.

Sudah seharusnya putusan tentang kuasa asuh dipatuhi dan dieksekusi. Jika orang tua tanpa kuasa asuh melakukan pembangkangan, itu mesti dipandang sebagai contempt of court (penghinaan terhadap peradilan). Pelakunya kudu dipidana.

"Apalagi jika orang tua tersebut menutup akses anak, ini adalah child abuse (kekerasan terhadap anak). Polisi adalah andalan pamungkas untuk melindungi anak dari kejahatan atas nama kasih sayang itu," tandasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9730 seconds (0.1#10.140)