Penentuan Cawagub, Ridwan Kamil Dihadapkan Kenyataan Harus Transaksional
A
A
A
BANDUNG - Sosok calon wakil gubernur (cawagub) pendamping Ridwan Kamil di Pilgub Jawa Barat 2018 belum ditentukan. Bahkan, rencana mengumumkan cawagub pada Rabu (20/12/2017) ini juga ditunda karena pria yang akrab disapa Emil itu butuh waktu untuk berkomunikasi dengan partai pengusungnya.
Pakar politik dan pemerintahan dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan mengatakan, berlarut-larutnya penentuan cawagub itu sebagai masalah klasik dalam dunia politik. Sebab, partai menginginkan kadernya diusung sebagai kandidat.
Dalam kasus Emil, partai mengincar kursi cawagub sebagai kompensasi. Persoalannya, setiap partai ngotot ingin kadernya jadi cawagub. Hal itu yang belum didapat jalan keluarnya agar keputusan penentuan cawagub bisa diterima semua partai pengusung.
"Saya sepakat masalah klasik, dalam artian partai itu memang pragmatis. Jadi memang apa insentif kongkret yang didapat (dengan mengusung Emil jadi cagub), tentu kursi cawagub. Cuma persoalannya kan (kursi cawagub) cuma satu, partai banyak," ujar Firman.
Selain kengototan partai pengusung, apa yang membuat penentuan cawagub berlarut-larut? Menurutnya, itu tidak lain karena tipikal Emil. "Saya melihat Emil itu tipikal leadership-nya transformatif selama memimpin Kota Bandung, dia lebih kepada visioner, menginspirasi masyarakat, dan lain sebagainya," ungkapnya.
Dengan tipikal kepemimpinan seperti itu, Emil justru dibuat kebingungan dengan kondisi saat ini di mana partai pengusung sama-sama ngotot ingin kadernya jadi cawagub. Dalam kondisi itu, Emil dituntut agar bisa bertransaksi dengan partai pengusung agar keputusan akhir bisa diterima.
Transaksi itu bukan melulu persoalan uang. Tapi, transaksional itu adalah bagaimana mencari jalan keluar terbaik yang bisa membuat partai pengusung menerima keputusan penentuan cawagub. "Jarang saya melihat Kang Emil itu sebagai pemimpin yang transaksional. Hari ini dia dihadapkan pada kenyataan harus bertransaksi dengan partai-partai. Itu yang menurut dia jadi soal," jelasnya.
Persoalan lainnya, ketika bertransaksi dengan partai pengusung, posisi Emil memiliki daya tawar lemah. Sebab, Emil bukan kader partai. "Dia bukan orang partai, tapi harus bertransaksi dengan partai. Itu jadi soal kenapa kemudian (penentuan cawagub) seakam berlarut-larut," kata Firman.
Dia pun menyarankan agar partai pengusung Emil bisa berkompromi dengan baik. Sehingga, ada jalan keluar yang bisa diambil. Kalaun ada yang kadernya tidak jadi cawagub, partai tersebut bisa menerimanya. "Kalau hanya mengejar kursi cawagub, memang enggak selesai-selesai. Karena ada tiga partai, kursinya cuma satu, jadi akan ngotot-ngototan," tuturnya.
Solusinya, masing-masing partai harus bersepakat satu sama lain. Misalnya ketika kader PPP jadi cawagub, maka partai lain diberi kesempatan agar kadernya jadi calon kepala daerah di 16 kabupaten/kota di Jawa Barat yang akan menggelar pilkada serentak.
Pakar politik dan pemerintahan dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan mengatakan, berlarut-larutnya penentuan cawagub itu sebagai masalah klasik dalam dunia politik. Sebab, partai menginginkan kadernya diusung sebagai kandidat.
Dalam kasus Emil, partai mengincar kursi cawagub sebagai kompensasi. Persoalannya, setiap partai ngotot ingin kadernya jadi cawagub. Hal itu yang belum didapat jalan keluarnya agar keputusan penentuan cawagub bisa diterima semua partai pengusung.
"Saya sepakat masalah klasik, dalam artian partai itu memang pragmatis. Jadi memang apa insentif kongkret yang didapat (dengan mengusung Emil jadi cagub), tentu kursi cawagub. Cuma persoalannya kan (kursi cawagub) cuma satu, partai banyak," ujar Firman.
Selain kengototan partai pengusung, apa yang membuat penentuan cawagub berlarut-larut? Menurutnya, itu tidak lain karena tipikal Emil. "Saya melihat Emil itu tipikal leadership-nya transformatif selama memimpin Kota Bandung, dia lebih kepada visioner, menginspirasi masyarakat, dan lain sebagainya," ungkapnya.
Dengan tipikal kepemimpinan seperti itu, Emil justru dibuat kebingungan dengan kondisi saat ini di mana partai pengusung sama-sama ngotot ingin kadernya jadi cawagub. Dalam kondisi itu, Emil dituntut agar bisa bertransaksi dengan partai pengusung agar keputusan akhir bisa diterima.
Transaksi itu bukan melulu persoalan uang. Tapi, transaksional itu adalah bagaimana mencari jalan keluar terbaik yang bisa membuat partai pengusung menerima keputusan penentuan cawagub. "Jarang saya melihat Kang Emil itu sebagai pemimpin yang transaksional. Hari ini dia dihadapkan pada kenyataan harus bertransaksi dengan partai-partai. Itu yang menurut dia jadi soal," jelasnya.
Persoalan lainnya, ketika bertransaksi dengan partai pengusung, posisi Emil memiliki daya tawar lemah. Sebab, Emil bukan kader partai. "Dia bukan orang partai, tapi harus bertransaksi dengan partai. Itu jadi soal kenapa kemudian (penentuan cawagub) seakam berlarut-larut," kata Firman.
Dia pun menyarankan agar partai pengusung Emil bisa berkompromi dengan baik. Sehingga, ada jalan keluar yang bisa diambil. Kalaun ada yang kadernya tidak jadi cawagub, partai tersebut bisa menerimanya. "Kalau hanya mengejar kursi cawagub, memang enggak selesai-selesai. Karena ada tiga partai, kursinya cuma satu, jadi akan ngotot-ngototan," tuturnya.
Solusinya, masing-masing partai harus bersepakat satu sama lain. Misalnya ketika kader PPP jadi cawagub, maka partai lain diberi kesempatan agar kadernya jadi calon kepala daerah di 16 kabupaten/kota di Jawa Barat yang akan menggelar pilkada serentak.
(wib)