Kisah 'Supit Urang', Strategi Soedirman Menangkan Pertempuran Ambarawa

Sabtu, 16 Desember 2017 - 05:00 WIB
Kisah Supit Urang, Strategi Soedirman Menangkan Pertempuran Ambarawa
Kisah 'Supit Urang', Strategi Soedirman Menangkan Pertempuran Ambarawa
A A A
Hari Juang Kartika pada Jumat 15 Desember 2017, kemarin diperingati oleh Prajurit TNI Angkatan Darat (AD) untuk mengenang kemenangan pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR-sekarang TNI) yang dipimpin Kolonel Soedirman dalam Pertempuran Ambarawa melawan Tentara Sekutu yang membonceng NICA.

Dalam pertempuran tersebut Kolonel Soedirman Komandan Divisi V menerapkan strategi Supit Urang atau Supit Udang dalam menghadapi Tentara Sekutu dengan peralatan canggih yang membonceng NICA.

Sebelum pertempuran pecah diawali dengan kedatangan tentara Sekutu pimpinan Brigjen Bethel di Semarang pada 20 Oktober 1945. Mereka datang untuk mengurus tawanan perang. Pihak Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan RI. Sehingga Indonesia memperkenankan mereka masuk ke wilayah RI untuk mengurus masalah tawanan perang bangsa Belanda yang berada di penjara Magelang dan Ambarawa.

Setelah mendapat persetujuan dari Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu yaitu Mr Wongsosonegoro, Tentara Sekutu kemudian bergerak masuk ke Magelang dan Ambarawa.

Namun ternyata Sekutu membonceng NICA yang malah mempersenjatai bekas para tawanan perang Belanda. Dimana pasukan Sekutu membebaskan para interniran Belanda di Magelang dan Ambarawa dan mempersenjatainya.

Pada 26 Oktober 1945, terjadi insiden di Kota Magelang yang berkembang menjadi pertempuran antara pasukan TKR dengan pasukan gabungan Sekutu Inggris dan NICA.

Insiden itu berhenti setelah Presiden Soekarno dan Brigadir Jendral Bethel datang ke Magelang pada 2 November 1945.

Mereka mengadakan gencatan senjata dan memperoleh kata sepakat yang dituangkan dalam 12 Pasal, naskah persetujuan itu diantaranya berisikan:

1. Pihak sekutu akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melindungi dan mengurus evakuasi APWI ( Allied Prisioners of War and Interneers) atau tawanan perang dan interniran sekutu).
2. Jalan Ambarawa-Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia-Sekutu.
3. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya.

Pihak Sekutu ternyata mengingkari janjinya. Kemudian pada 20 November 1945, terjadi pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto dengan tentara Sekutu di Ambarawa.

Pasukan TKR bersama-sama dengan pasukan dari Boyolali, Salatiga, dan Kartasura bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis medan sepanjang rel kereta api dan membelah Kota Ambarawa.

Sementara itu dari arah Magelang, pasukan TKR dan Divisi V Purwokerto di bawah pimpinan Imam Androngi melakukan serangan fajar pada 21 November 1945, dan berhasil menduduki Desa Pingit dan desa-desa di sekitarnya yang sebelumnya diduduki Sekutu.

Batalyon Imam Androngi meneruskan gerak pengejarannya disusul tiga batalyon dari Yogyakarta, yaitu Batalyon 10 divisi III dibawah pimpinan Mayor Soeharto, Batalyon 8 di bawah pimpinan Sardjono dan Batalyon Sugeng.

Akhirnya musuh terkepung. Walaupun demikian, pasukan Sekutu mencoba mematahkan pengepungan dengan mengancam kedudukan pasukan dari belakang dengan tank-tanknya.

Untuk menghindari jatuhnya korban, pasukan mundur ke Bedono. Dengan bantuan resimen kedua yang dipimpin M Sarbini dari Yogyakarta, gerakan musuh berhasil ditahan di Desa Jambu.

Kemudian para komandan pasukan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin Kolonel Holland Iskandar. Rapat itu menghasilkan pembentukan komando yang disebut markas pimpinan pertempuran dan bertempat di Magelang.

Sejak itu, Ambarawa dibagi menjadi empat sektor, yaitu sektor selatan, sektor utara, sektor barat, dan sektor timur.

Hingga suatu hari, tepatnya 25 November 1945, mendadak di langit Ambarawa terlihat tiga buah pesawat jenis Mustang (cocor merah) tengah bermanuver. Pesawat pesawat itu, tiba-tiba berpencar ke Kecamatan Tuntang, Bandungan dan Jambu. Di Bandungan, senapan mesin yang ada di pesawat melepaskan berondongan secara membabi buta sembari menjatuhkan sebuah bom.

Sementara dua pesawat sengaja melakukan provokasi di langit, satu pesawat yang berada di kawasan Kecamatan Jambu, pilotnya melihat ada sebuah mobil Jeep di depan SD Kelurahan.

Penumpangnya adalah Letkol Isdiman, perwira menengah kepercayaan Kolonel Soedirman. Dia tengah berada di dalam gedung sekolah untuk menggelar pertemuan dengan Mayor Imam Adrongi (Komandan Rayon TKR Banyumas).

Pilot Belanda segera memberitahu rekan-rekannya sesama pilot untuk merapat ke Jambu. Hasilnya, tiga pesawat Mustang bersenjata lengkap mengepung langit di atas sekolahan itu.

Tanpa dikomando, gedung SD Kelurahan dihujani peluru melalui senapan mesin. Letkol Isdiman yang terkena tembakan akhirnya gugur karena pendarahan yang terus menerus dalam perjalanan menuju Magelang setelah terkena tembakan pesawat Mustang Belanda.

Begitu mendengar Letkol Isdiman gugur, Kolonel Soedirman langsung mengumpulkan seluruh komandan TKR dari berbagai daerah guna menyusun strategi pada 11 Desember 1945. Kolonel Soedirman lalu menerapkan strategi Supit Urang atau Supit Udang.

Nama Supit Udang berasal dari bahasa pewayangan yang artinya kepungan. Jadi, strategi Supit Udang itu digunakan dengan maksud untuk mengepung Sekutu agar beranjak dari bumi Ambarawa.

Kelompok I sebagai “tubuh udang” merupakan induk pasukan dengan jumlah kekuatan terbesar. Mereka bertugas sebagai ujung tombak. Di dalam kekuatan itu, terdapat empat batalyon yang dipimpin Mayor Soeharto, Mayor Sardjono yang bergerak di kanan jalan, serta Mayor Adrongi dan Sugeng Tirtosewoyo di kiri jalan.

Kelompok II menempati posisi kaki udang. Pasukan di kaki kiri bergerak dari Jambu ke bandungan dan baran, sebagian lagi lewat brongkol terus ke Banyubiru yang nantinya menyerang Sekutu dan lambung pasukan di sektor tenggara. Mereka dipimpin Letkol Bambang Sugeng dari Resimen 14 Temanggung dan Letkol Kun Kamdani dari Resimen 14/divisi V Purworejo.

Kelompok III sebagai supit juga terbagi dua, menduduki posisi kanan dan kiri, kelompok IV yang menempati ekor udang kebanyakan terdiri atas laskar dan pasukan rakyat yang membantu induk pasukan bila terdesak. Sesuai rencana, penyerangan dilakukan serentak.

Pada 12 Desember 1945 jam 04.30 WIB, serangan mulai dilancarkan. Soedirman langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol Soedirman memberikan napas baru kepada pasukan-pasukan TKR.

Pembukaan serangan dimulai dari tembakan mitraliur terlebih dahulu, kemudian disusul oleh penembak-penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, Jalan Raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR.

Sehingga suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, akhirnya pada 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan TKR berhasil merebut Ambarawa. Selanjutnya Tentara Sekutu dengan peralatan canggih yang didukung pesawat tempur dan tank akhirnya dibuat mundur ke Semarang.

Atas keberhasilan tersebut Kolonel Soedirman pun diangkat sebagai Panglima Besar TKR pada 18 Desember 1945 oleh Presiden Soekarno dengan pangkat Jenderal.

Walaupun sebelumnya pada 12 November 1945, Kol Soedirman telah dipilih sebagai Panglima TKR dalam rapat pimpinan (perwira TKR berpangkat Letkol keatas dari unsur Peta dan KNIL) di Gondokusuman, Yogyakarta.

Kemudian TNI AD memperingati 15 Desember setiap tahun sebagai Hari Infanteri. Namun berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 163 Tahun 1999 dan Surat Keputusan KSAD Nomor Skep/662/XII/1999, Hari Infanteri ditetapkan Tanggal 15 Desember sebagai Hari Juang Kartika.

Sumber :
- portalambarawa
- sarisejarah
- wikipeda dan diolah dari berbagai sumber
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4030 seconds (0.1#10.140)